mengapa aku berhenti menulis
Aku bertanya
Pertanyaan ini yang sudah sekian lama aku pertanyakan pada diriku sendiri. Mula-mula aku mengira bahwa aku sudah berhenti berpikir, perkiraan yang sangat tidak masuk akalku. Tidak ada orang yang berhenti berpikir. Setiap kali membuka mata, mendengar, dan merasakan sesuatu pikiran kita selalu berfungsi dengan baik dan bahkan mampu menawarkan sensasi yang melampaui apa yang kita lihat, kita dengar dan kita rasakan. Maka berfikir bahwa orang tidak lagi berfikir adalah pikiran yang tidak dipikirkan dengan baik.
Apakah aku berhenti belajar? Selalu ada hal-hal baru yang meningkatkan kemampuanku untuk melakukan sesuatu. Akhir-akhir ini aku banyak bercocok tanam. Aku tidak hanya tahu namun juga mengerti bagaimana satu biji sayur sawi yang begitu kecil menghasilkan satu ranum sayuran yang cukup untuk satu porsi sup. Kalau dicampur dengan tanaman bayam yang bisa jadi liar, terong, tomat, kacang panjang, dan juga cabe rawit yang tidak pernah berhenti berbunga dan berbuah, semua ketrampilan yang aku dapatkan gratis dari kebaikan hati Pak Riyono. Membaca novel dan buku referensinya aku kombinasikan seolah-olah seperti sedang membuat penelitian. Gambaran imaginatif dan deskripsi dari ahlinya serentak aku peroleh. Membuka informasi baru dan mencoba mengerti bagaimana mengoperasikan sesuatu di dunia maya juga tiap hari menambah ketrampilanku.
Perkembangannya memang kadang memiliki kecepatan melampaui kecepatanku untuk mengerti, tapi itu tidaklah penting. Dunia ini terlalu luas dan banyak pilihan. Selalu ada yang perlu diprioritaskan.
Oh iya. Tentang prioritas. Apakah menulis bukan lagi menjadi prioritas dalam kehidupanku. Tentu tidak. Selalu aku hasilkan coretan disana-sini manual atau elektronik. Sekedar membuat tulisan pendek dan memberi komentar di media sosial yang kadang menghasilkan diskusi panjang lebar, aku jalani dengan serius dan tekun. Tidak pakai hehehe ... kalau memang serius. Dan tidak pakai wkwkwk kalau pandangan orang tidak terlalu berjalan sesuai dengan topik pembicaraan. Aku menulis tapi tidak menghasilkan apa yang dikatakan oleh para ahli sebagai karya tulis, artikel, naskah, paper, atau apapun segala prasyarat yang ditentukan oleh dunia akademik.
Menulis, prasyarat akademis, referensi-referensi, logika berpikir, sistematika tulisan, gaya, tujuan, sasaran, kepentingan, dan semua jenis kriteria yang selama ini dibicarakan akan mempengaruhi kualitas dan nilai jual, nampaknya sedikit mengganggu aku. Tentu tiap orang senang jika sebuah karya tulis menjadi penanda keampuhan akadamik, menghubungkannya dengan para ahli yang lain, menghadirkan pemikiran baru yang laku di pasar, membuat orang kagum dan bisa memanfaatkannya untuk memperbaharui hidupnya. Mengapa semua ini mengganggu?
Pendekatan
Bagiku tulisan apapun adalah penanda, simbol, seperti sebuah bel atau lonceng, atau seperti kumandang Adzan. Tulisan memberikan arti ketika berhubungan langsung dengan kemampuan seseorang melihat dunianya. Tak peduli tulisan itu pendek atau panjang, cengeng atau romantis, tragis atau bengis, indah atau menginspirasi, teknis atau teoretis, pragmatis atau paradigmatis. Segala bentuknya ditentukan maknanya ketika tulisan menghubungkan orang langsung pada realitas hidupnya. Tulisan bukanlah alat manipulasi dan permainan drama yang menghadirkan sensasi yang tidak manusiawi. Tulisan adalah penanda paling nyata hubungan seseorang dengan pikiran, imaginasi, dan praktek hidupnya.
Kalau sebuah tulisan disusun dengan sistematika yang rapi agar orang dapat secara beruntun mengikuti rincian argumentasi dan data-data yang ditampilkannya, tulisan itu bermakna pada tempatnya sendiri. Apakah seseorang yang hendak belajar mengendari mobil tahu semua informasi tentang seluk-beluk yang berkaitan dengan ketrampilan mengendarai mobil? Apakah dia harus tahu segala perundangan mengenai transportasi, jalan, pajak, kendaraan bermotor? Peraturan lalu lintas paling dasarlah yang perlu di hafal, selebihnya bersifat referensi (begitu diistilahkan secara akademik). Apakah dengan begitu tulisan sistematis yang rinci dari segala bentuk perundangan tidak diperlukan oleh orang yang ingin nyaman mengendarai kendaraan bermotor? Bayangkanlah sebuah kitab yang amat tebal, dengan berjuta interpretasi yang telah tercipta, beribu metode memahaminya, dan entah berapa banyak penyalahgunaannya.
Membuat tulisan adalah sebuah cara mendekatkan apa yang ada dalam pikiran dengan imaginasi kita. Imaginasi dengan keseharian kita. Keseharian kita dengan hamburan penanda yang beterbangan di sekitar kita. Apapun yang dihasilkan, akademik non akademik, provokatif atau motivatif, ringan atau berat, panjang atau pendek, akan teruji dengan baik jika itu mendekatkan penulis dan pembacanya pada kenyataan bersatunya pikiran-imaginasi-praktek hidup keseharian. Sebuah tulisan adalah penanda yang menggerakkan atau membuat berhenti. Sebuah tulisan adalah alat paling sederhana namun efektif untuk merubah realitas.
Kepentingan
Selalu ada kepentingan yang tertuang langsung atau tidak langsung atau kombinasi dari itu dalam sebuah tulisan. Begitulah pikiranku diracuni agar membuatnya sebisa mungkin mendekati atau kalau bisa tepat sesuai dengan sasarannya. Semua tanda juga mempunyai kepentingan. Simbol diciptakan untuk kepentingan tertentu dengan tingkat ketepatan yang dinilai dari pengaruhnya terhadap perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Ancaman kepentingan ini seperti buah simalakama. Aku termasuk orang tidak percaya bahwa ada orang yang asal tulis. Seiseng apapun sebuah tulisan dibuat, itu menjadi presentasi entah pikiran, imaginasi, atau realitas hidup seseorang. Selalu ada sesuatu dinyatakan dalam sebuah tulisan apakah ia dapat dimengerti atau tidak.
Karena selalu memuat kepentingan maka sebuah tulisan terbebani oleh banyak sekali ukuran-ukuran yang secara tradisional diakui sebagai alat penting dan oleh sindikasi pembangun paradigma disaring sedemikian rupa. Melampauinya berarti melanggar kaidah, mencurangi dogma dan memanipulasi data. Kebebasan tiap orang untuk menghubungkan pikiran, imaginasi dan realitas kesehariannya terus menerus secara sistematis dipetakan dalam bingkai yang sulit berubah. Kepentingan politik, agama, budaya, dan norma-norma universal adalah contoh-contoh ekstrim bagaimana perjumpaan pencerahan seseorang menemukan sendiri secara kreatif garis pertemuan pikiran-imagi-realitas tidak sepenuhnya bebas.
Karena kepentingan seperti inilah sebuah tulisan menjumpai nasibnya. Apakah ia akan berakhir dengan sia-sia atau luar biasa. Kadang-kadangg jaman menentukan nasib sebuah tulisan. Namun bisa jadi muncul sebuah tulisan yang melampaui kepentingan yang menjadi amat berharga bagi seseorang. Begitu besarnya pengaruh kepentingan seperti ini, menjadikan bisnis sehubungan dengan tulis menulis terus tidak pernah melemah.
Apakah hal-hal diatas cukup bagiku untuk benar-benar menyadari mengapa aku berhenti menulis? Tidak. Aku tidak berhenti menulis, itu sudah aku jelaskan di atas. Tapi karena pendekatan yang aku sadari terlalu rumit untuk disepelekan dengan kerajinan dan ketekunan. Karena kepentingan yang aku jumpai terlalu menggoda untuk dimaklumi. Maka sekalipun aku sadar mengenai hal-hal seperti itu dan aku gunakan untuk memaknai semua yang pernah aku tuliskan, aku akan terus menulis sambil terus bertanya "mengapa aku berhenti menulis?"
[secepatnya aku tuliskan ini untuk aku lihat apakah ini merubah pola relasi pikiran-imagi-realitas dalam diriku]
Awal Agustus 2014.
Komentar