Mengapresiasi E.G. Singgih


Appresiasi alumni Fakultas Theologi UKDW
terhadap teman-teman yang mengapresiasi EGS dalam bentuk buku:

Gerrit Singgih, Sang Guru dari Labuang Baji, Seri Apresiasi Kritis Alumni Fakultas Teologi UKDW, Victorius Hamel (peny.), BPK-GM, Jakarta, 2010, pp.220.

Pendahuluan

Pertama-tama perlu saya sampikan bahwa sekalipun saya telah membaca sebagian besar tulisan EGS, sebagai seorang murid (atau mantan murid) selalu muncul apa yang menurut Besly rasa sungkan akdemis untuk dapat dengan terang-terangan mengkritik pemikirannya. Terutama bagi kita yang tidak secara harian melulu bergumul dengan perkembangan keilmuan teologi. Kesulitan memahami, kesulitan membandingkan dengan pemikiran dari tokoh yang lain terutama yang berskala internasional, dan kesulitan menyederhanakan untuk kepentingan jemaat, adalah kendala-kendala yang secara langsung berpengaruh terhadap tersebar luasnya pandangan EGS di tengah jemaat dan masyarakat. Demikianlah rasa sungkan itu bisa jadi merupakan penghormatan dalam kekaguman untuk terus menerus berusaha memahami keseluruhan buah-buah pemikiran EGS, namun bisa jadi juga merupakan tanda bahwa kita memiliki cara yang unik dalam berdiskusi dengan pemikiran-pemikiran orang lain, terutama orang yang kita hormati. Oleh karena itulah buku ini menjadi unik terutama karena fokus perhatian utamanya adalah proses berpikir bersama, berdiskusi bersama, beberapa bahkan sempat berbagi hidup bersama, dengan pemikiran seseorang yang bagi sebagian orang disenangi tapi juga disinisi. Dengan demikian buku ini adalah sebuah karya dimana dimensi akademik, sosial, cultural, bahkan dimensi personal seorang tokoh dipertemukan.

Yang kedua, sembari menikmati ketrampilan teman-teman para penulis buku mengembangkan ide-ide EGS, mewakili para alumni, saya merasa bahagia, bangga, dan sekaligus terharu. Mengapa demikian? Kami para alumni fakultas teologi duta wacana, baik yang pernah diajar beberapa mata kuliah oleh EGS maupun yang hanya membaca tulisan-tulisannya, pasti akan sangat tertolong dengan kehadiran buku ini dalam upaya memahami lebih jauh poin-poin penting pemikiran EGS dan bagaimana pemikiran itu telah menginspirasi banyak orang. Bahkan, mudah-mudahan buku ini juga bisa menolong para pembacanya untuk lebih memiliki keberanian untuk mengembangkan wacana-wacana baru yang dihadirkan oleh EGS. Demikianlah kebahagaiaan dan kebanggaan kami. Namun saya juga melihat dengan haru, karena saya melihat bahwa keberanian teman-teman untuk mengupas dan mengkritisi pemikiran EGS, sebenarnya adalah titik pijak baru bagi usaha berteologi lokal yang mulai berani menempatkan tokoh dari Indonesia sendiri sebagai rujukan terpentingnya.

Selanjutnya, sebagai alumni dan mantan murid EGS, saya melihat beberapa hal yang menarik dalam buku ini diantaranya adalah thema-tema tentang hermeneutika, persoalan identitas dalam berteologi, serta hubungan antara gereja-gereja di Indonesia dan konteksnya.

Hermeneutik Indonesia

Mendiskusikan hermeneutik di Indonesia, melalui buku ini nampak bahwa para mantan murid EGS menggunakan kesempatan yang unik ini untuk membaca dan mengutarakan pemahamannya tentang EGS dengan leluasa, penuh perasaan dan penuh kekaguman. Melalui ketulusan apresiasi teman-teman penulis Buku, pemikiran EGS laksana bola salju yang terus memberi inspirasi dalam berbagai bentuk, kepentingan, keinginan, dan tujuan. Dan begitulah nasib sebuah teks, sekarang teks yang dibaca adalah pemikiran EGS, ketika teks sampai kepada khalayak maka dia telah menjadi milik umum, yang bahkan si pencipta sendiri tak mampu untuk mengendalikan proses perkembangannya. Malah bisa jadi pemikiran tersebut berwujud sesuatu yang baru sama sekali, atau istilah populernya ditiru habis-habisan. Hal ini bisa saja terjadi, karena jika ada teman alumni mantan murid beliau menyatakan sikap yang cenderung sinis pada EGS, bukankah itu juga merupakan tanda bahwa pemikiran EGS berpengaruh bagi hidupnya. Jika ada teman alumnus Duta Wacana di pedalaman Bengkulu atau Kalimantan tengah terlibat dalam sebuah diskusi Pemahaman Alkitab dengan anggota jemaatnya dan menyampaikan “menurut pak Gerrit ……” siapakah yang bisa menjamin bahwa hal itu benar-benar pemikiran EGS yang disampaikannya?

Namun disitulah uniknya, terdapat sebuah proses yang khas bagaimana sebuah teks sampai pada pemahaman seseorang. Seperti diperlihatkan oleh para penulis, di tangan EGS hermeneutik bukan hanya persoalan bagaimana teks dipahami, melainkan juga bagaimana sebuah teks masuk dalam sebuah konteks yang selalu berupa proses perubahan dinamis. Perubahan dinamis itu bukan hanya pada diri pembacanya saja melainkan juga situasi sosial, politik dan budaya di sekitarnya. Bahkan lebih lanjut teks tersebut lantas menjadi bagian penting dalam konteks. Dalam banyak tulisannya EGS selalu memperlihatkan bagaimana proses yang unik itu seharusnya berpengaruh secara personal tidak hanya terhadap para pendeta dan mahasiswa teologia melainkan juga pada para warga gereja.

Selain pemahaman terhadap teks, pemetaan terhadap konteks dengan demikian menjadi langkah yang sangat penting. Dibutuhkan sensitifitas tertentu untuk mengenali konteks dengan tepat karena di Indonesia konteks itu adalah dunia hidup dalam keberagaman dan dengan dinamika perubahan yang kadang sulit diprediksi. EGS selalu menekankan bahwa metode-metode hermeneutik itu penting sebagai alat untuk melihat dan menguji posisi teks dan alam pikir pembacanya – sehingga dibutuhkan kerjasama dengan beragam ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam hal ini Wahyu S.W melihatnya dalam kerjasama dengan filsafat. Menurut Wahyu, filsafat secara metodologis membantu teologi tidak hanya kritis terhadap statemen-statemennya melainkan juga terbuka terhadap model berpikir baru yang berbeda. Sementara itu, Novelina Laheba memperlihatkan bagaimana EGS juga mengikuti diskusi ‘berat’ dengan pendekatan postmodernism. Namun bagi saya, memotret peta konteks dimana teks itu berada dan menjadi bagian dari kepercayaan sekelompok orang membutuhkan ‘seni’ tersendiri. Sebuah seni yang membutuhkan sensitifitas yang amat personal.

Membuat peta konteks sampai pada penemuan-penemuan baru tempat dimana teologi kontekstual mulai berpijak seperti yang telah dilakukan oleh EGS dengan cermat itulah sesuatu yang sulit untuk dipelajari dari EGS. Bicara tentang pastoral dalam konteks masyarakat Indonesia tahu-tahu EGS bicara soal rasa malu. Sulit untuk belajar bagaimana caranya kok EGS lalu menukik sampai disitu. Dan benar jika Joko Prasetyo melihat hal ini sebagai titik pijak berteologi kontekstual yang tepat. Kita bisa membayangkan jika sensitifitas menemukan titik pijak penting seperti ini diketahui tentu akan ada banyak tema besar yang menolong perkembangan teologi di Indonesia. Hermeneutik dengan demikian diawali dari memahami dengan tulus inti budaya yang menghidupi sebuah masyarakat. Nanti akan nampak bagaimana inti budaya itu dapat dilihat.

Identitas Campuran

EGS sebagai pribadi adalah seorang pendeta, dosen, bagian dari sebuah keluarga, anggota RT tertentu di jalan Bener, dan teman-sahabat bagi banyak orang. Sejak dari awal buku ini disadari bahwa identitas EGS adalah multitafsir. Emannuel jelas adalah penanda Kristennya sehingga di cover buku bagian nama ini tidak dicantumkan. Kadang ada yang senang menyebut pak Gerrit karena sedikit berbau Eropa, apalagi beliau juga fasih berbahasa Belanda dan hidup amat disiplin yang kadang melebihi orang Eropa sendiri. Tapi juga ada yang lebih senang kalau sebutannya pak Singgih, yang lebih njawani dan sebenarnya lebih mudah diingat. Entah mengapa, panggilan yang terakhir ini akhir-akhir ini semakin tidak popular seiring dengan naiknya popularitas beliau. Dalam hati kadang saya bertanya, bukankah dengan menggunakan nama yang sangat lokal akan lebih menguntungkan beliau di dunia Internasional? Dan ternyata kita semua tahu bahwa EGS adalah Gerrit dan juga Singgih. Identitas memang perlu symbol tetapi tidak perlu dimutlakkan.

Dengan begitu, bagi saya wajar kalau beberapa penulis menangkap campuran ini nampak jelas ada dalam diri EGS dan bahkan memberi pengaruh dalam proses membangun pemikiran teologisnya. Karena nampaknya kenyataan sebagai campuran ini tidak hanya menjadi identitas personal, tetapi juga menjadi ruang pergulatan akademis dan teologis yang melampaui batas-batas yang biasanya dipertentangkan. Mempertimbangkan dan menggunakan cara orang lain itu sah-sah saja, namun pada akhirnya orang punya cara tersendiri yang dikenal orang sebagai cara otentik pribadinya. Daniel K. Listijabudi dengan teliti memperlihatkan hal ini. Dengan penasaran dia melihat terjadinya proses ‘campur aduk’ metode hermeneutik, eksegese, dan bahkan eisegese, diperkenalkan dan silih berganti dipergunakan dalam memahami teks. Menurut saya, justru hal ini memperlihatkan bahwa kenyataan berada dalam kondisi ‘campuran’ sejak dari awalnya seperti itu penting untuk disadari dalam usaha mengembangkan teologi di Indonesia. Jangan-jangan nanti EGS menafsir Kejadian 1-11 dengan epistemology Jawa, siapa tahu, pasti akan sangat menarik.

Namun demikian, penting pula dicatat bahwa orang tidak perlu terus terlena dengan identitas campurannya dan hanya sibuk membicarakan komposisi ramuannya. Di tengah masyarakat yang mengisyaratkan bahwa identitas bisa menjadi alat politik yang mengakibatkan munculnya korban, Vicktorius Hamel memperlihatkan bahwa EGS justru memperkenalkan sebuah teologi publik. Ini memang merupakan sebuah proses yang berlangsung berlawanan dengan arus berteologi di kalangan gereja-gereja. Bagi EGS, terlibat dalam praksis konkret di tengah pergumulan masyarakat itulah yang justru harus menjadi identitas gereja di Indonesia. Dan teologi dibangun untuk secara terus menerus mencerahkan tidak hanya anggota gereja tetapi juga dunia dimana gereja itu ada. Dengan demikian, identitas bukan lagi menamai dan membedakan, melainkan ada otentik bersama dengan yang lain. Hal ini bisa terwujud, dan salah satu langkah penting yang ditegaskan oleh Joseph H.N. Hehanusa adalah dengan meninggalkan pola-pola formalistik. Sudah barang tentu Gereja berurusan dengan hal-hal yang formal sebagai bagian dari identitasnya, namun bukan itu tujuan akhirnya. Bukan itu kenikmatan puncaknya. Identitas gereja menjadi lengkap jika menyadari diri menjadi bagian dari yang lain. Dengan identitas ini diharapkan gereja memiliki keberanian untuk melihat hal-hal yang berbeda dari apa yang sudah akrab dan biasa dikenalinya. Maka nyatalah bahwa kondisi saat formalitas dijadikan identitas gereja itulah yang sebenarnya justru membuat gereja semakin membatasi dirinya. Dengan kata lain, semakin formalitas ditegaskan sebagai identitas, semakin gereja kehilangan identitas.

Gereja dan masyarakat

Sebagaimana kebanyakan dosen fakultas teologi UKDW yang harus memiliki keterikatan khusus dengan gereja tertentu, banyak orang tahu bagaimana keseriusan EGS bergumul dengan persoalan-persolan praktis gereja. Dengan sangat rinci Handy Hadiwitanto memperlihatkan keseriusan EGS menggumuli teologi praktis dalam era sekarang ini. Pertemuan paling konkret antara ide yang bersifat konseptual sistematis dengan praktek hidup dalam dinamika perubahan terjadi di dalam pergumulan gereja-gereja. Berteologi berangkat dari yang praktis terjadi di tengah jemaat dalam perjumpaan dengan konsep teologi akademik perlu dipikirkan secara sistematis. Disini nampak bahwa dalam situasi tertentu dibutuhkan teori yang tepat untuk menemukan inti budaya dari konteks dimana gereja itu ada. Disinilah pentingnya pendekatan pastoral. Bagi EGS persolan praksis pastoral ini selalu dikaitkan tidak hanya berorientasi pada usuran personal atau dalam kelompok gerejani saja, melainkan meluas harus bersinggungan dengan konteks yang sedang terjadi di masyarakat.

Besley mendiskusikan tentang pentingnya memperluas wawasan pelayanan pastoral gereja di Indonesia. Sembari menelusuri model-model pelayanan pastoral baik yang sedang jadi trend maupun yang secara klasik dijalankan oleh gereja-gereja di Indonesia dia memperlihatkan posisi khas EGS. Yaitu pelayanan pastoral “yang melampaui kepentingan intern gereja”. Yang intern tentu perlu dijalankan, melainkan itulah kesempatan untuk membuka wawasan kesadaran pelayanan gereja keluar dari wadah denominasinya. Besley dan juga Joko mensyaratkan istilah interpathy dalam proses pelayanan pastoral yang melampaui batas-batas tradisi dan budaya yang ada dengan cara berani memeriksa asumsi-asumsi terdalam yang ada dalam budaya lokal. Hal ini memperlihatkan bahwa posisi khas EGS dalam melihat persoalan gereja dan masyarakat di Indonesia tidak terbatas hanya pada analisis terhadap model-model pendekatan, atau peninjauan kritis reflektif pada nilai-nilai yang dikembangkannya. Lebih jauh, melalui analisisnya tentang rasa malu nampak bahwa teologi harus berani memeriksa bahkan pada asumsi-asumsi dasar yang dimilikinya. Hal ini perlu, karena setiap tradisi membangun susunan teologinya dengan asumsi-asumsi dasar yang berbeda. Menurut saya, perbedaan asumsi dasar seperti yang terjadi antara “rasa malu” dan “rasa salah” tidak perlu dipertentangkan melainkan disadari bersama. Justru keterbukaan terhadap asumsi dasar seperti inilah yang membuat dialog budaya menjadi semakin berkualitas.

Selanjutnya, bukan berarti sekedar mengikuti trend jaman belaka jika EGS juga berbicara serius dengan isu ketidakadilan terutama ketidakadilan gender. Seperti banyak feminis, Asnath N. Natar disana-sini mengkritik tingkat ketulusan laki-laki yang bicara tentang perempuan dan seolah menegaskan bahwa kalau urusan perempuan biar perempuan yang bicara. Kita tentu masih teringat situasi ketika Megawati menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden. Banyak kalangan bertanya, apakah dengan pemimpin seorang perempuan yang disusul dengan kebijakan kuota perempuan dalam kursi DPR, secara otomatis ketidakadilan gender berkurang dengan drastis di masyarakat. Sayangnya jawabannya tidak. Sikap laki-laki memang sering tidak menyenangkan perempuan dalam banyak hal, demikian juga sebaliknya. Persoalannya adalah jika sebuah sikap entah itu dari laki-laki atau dari perempuan mengakibatkan ketidakadilan, kekerasan, dan menciptakan sistem yang selalu meminta korban. Itulah perjuangan bersama laki-laki dan perempuan, suka atau tidak suka. Gereja-gereja tentu perlu segera menggumuli isu ini dengan serius, punya atau tidak punya teolog feminis, dan laki-laki atau perempuan teolog feminis itu.

Penutup

Bagi mahasiswa atau pembaca pemula karya-karya EGS, buku ini bisa menjadi pengantar singkat masuk dalam pemikiran EGS. Karena dalam buku ini, banyak diberi suplemen yang mencoba menjelaskan dan mengklarifikasi karakter EGS yang dapat menolong mahasiswa untuk tidak lagi cepat-cepat tergoda langsung memandang beliau sebagai dosen killer. Melalui tulisan Firman Panjaitan dalam buku ini, pembaca akan melihat bagaimana sebuah proses berhubungan intim dengan EGS dapat terjadi. Sekalipun ada prasyarat-prasyarat tertentu yang sekarang tidak memungkinkan lagi untuk terjadi, usaha yang diceritakan oleh Firman memperlihatkan bahwa EGS tetaplah seorang manusia yang butuh dicintai dan mencintai. Bahkan dalam buku ini juga disisipi dengan “sepuluh perintah EGS” berdasarkan penuturan Jan Calvin Pindo, agar mahasiswa dapat mencapai cita-citanya. Tentu “hukum” itu tidak mutlak, karena semua mahasiswa dan dosen tahu bahwa semakin keras sebuah peraturan diciptakan dosen, maka semakin giat pula mahasiswa melanggarnya.

Buku ini juga perlu dibaca siapa saja, anggota gereja atau bukan, terutama para pendengar kotbah-kotbah EGS. Dengan membaca buku ini orang tentu menjadi tertarik membaca buku-buku EGS dan selanjutnya mereka semakin mudah memahami isi kotbahnya dan tidak lagi mendengar dan baru mulai mengerti seminggu berikutnya, seperti dikeluhkan oleh banyak orang. Sekalipun beberapa penulis melihat bahwa tulisan-tulisan EGS berbobot sekaligus enak dibaca, perlu diakui bahwa banyak pembaca awam yang melihat tulisan EGS terlalu rumit dan terlalu akademik. Karena para penulis buku ini adalah para pengagum EGS, sepertinya disana-sini penulis berusaha menulis dengan bergaya seperti EGS menulis yang memang berbobot dan enak dibaca oleh kalangan tertentu saja. Yang pasti semua alumni fakultas teologi UKDW tentu akan menyambut buku ini dengan sukacita karena untuk merekalah buku ini terutama diterbitkan

Akhirnya, seperti kita ketahui bersama bahwa diam-diam EGS juga adalah seorang kurator dan kritikus karya seni, dari lukisan, foto, wayang, dan tentu koleksi musik klasik dan film-film, tentu akan menarik kalau suatu saat nanti buku ini diterbitkan ulang, buku ini juga diisi dengan lukisan atau setidaknya satu puisi karya beliau. Untuk mengisi kekosongan itu ijinkanlah saya, sekalipun saya bukanlah puitikus yang terlatih, membacakan sepenggal puisi buatan saya sendiri:

Guru Berkata apa tentang ada

Guru berkata: “tidak apa-apa”
Hanya kalau orang sudah berusaha
Dan hasilnya tidak sempurna

Guru berkata: “ada apa-apa”
Supaya orang kembali ke nurani
Dan berani melihat dengan akal budi dan mata hati

Guru berkata: “apa-apa tidak”
Saat hasrat menguasai dan membenci menyusun kerjasama
Dan orang memandang keselamatan diri sendiri

akhirnya …
Guru berkata: “apa-apa ada”
Manakala sentuhan sederhana hadir berbagi sukacita
untuk memaknai dan mencintai dunia


Tatok mewakili alumni
24 September 2010

Komentar

Postingan Populer