CERPEN

MENEMUKAN SEBUAH BATU

Sore hari. Di pos ronda tempat orang biasa berhenti untuk merokok sebelum sholat magrib. Di tempatku ini aku merasakan suasana yang hening. Tiap orang dengan rokoknya masing-masing dan aku duduk tenang mulai memecah kebekuan.
"Apakah tadi (sepulang) dari belik kang Wito menemukan sebuah batu?"

"Lha dia khan memang tukang batu" Widodo menyahut lincah bahkan tanpa melirikku sekalipun.
Aku terdiam antara ingin menjelaskan atau membuat guyonan.

Widodo menoleh tapi tidak kepadaku, tersenyum dan menimpali tanpa berpikir:
"Tukang batu pastilah sangat peka dan mudah menemukan batu"

Aku masih terdiam mencoba mengumpulkan data dan informasi apa saja yang penting untuk kusampaikan.

Belum kuucapkan, Widodo menambahi: "Apakah batu ajaib?"
"Hmm.." Aku jadi berpikir menyusun argumen atau masuk dalam dunia mistik.
"Batu mulia? Semacam akik? Atau sebongkah emas?" Widodo nampak tak sabar dan senyumnya makin lebar seperti raut muka orang yang sedang mengejek. Kali ini lirikannya ditujukan kepadaku.

Aku agak bimbang menghadapi cara berpikirnya dan hanya bisa heran begitu cepatnya dia mampu membangun logika dari sebuah batu pada hal-hal yang berharga. Berharga secara spiritual dan berharga secara material. Pasti dia sudah semakin banyak baca buku, sehingga semakin pintar.
Kujawab pendek saja: "Dari jauh yang kulihat kang Wito jongkok agak lama lalu memasukkan sesuatu dalam kantong celananya."

Kali ini senyuman Widodo nampak seperti orang yang mendapatkan kepuasan telah berhasil mengejek seorang pejabat. Aku sedikit bingung dengan kelincahannya memanfaatkan emosi dan logika secara serempak. Yang aku bingungkan, mengapa dia mengarahkan ekspresinya padaku?

Parji merengsek dan sedikit melotot tidak sabar bertanya bertubi: "dimana dia menemukannya?"
"Apakah kamu melihatnya sendiri?"
"Kamu lihat bercahaya apa tidak batu yang dia temukan?"
"Berapa banyak batu?"
Belum selesai aku memikirkan apa yang dibicarakan Widodo, Parji sudah menyorong dengan cara berpikir yang berbeda. Tentang detail-detail yang menurutku tidak penting.

Sekalipun bertanya berbondong kepadaku, malah Parji menoleh pada Widodo - Sapto yang terdiam dari tadi mendekatkan telinga. Samar kudengar ia mengurutkan sebuah cerita mengharukan tentang seorang pedagang kaya di Desa sebelah yang tadi malam dirampok segerombolan orang. Seorang pedagang malang yang hampir semua orang tahu memiliki koleksi barang-barang berharga. Mengharukan karena sang saudagar menggenggam erat sebuah bungkusan dengan sangat erat hingga gerombolan perampok itu harus menyeret tubuhnya hingga jalan menuju belik sebelum bungkusan itu robek dan menghamburkan isinya bersamaan dengan nyawanya. Cerita tragis yang pastilah aku lebih mengerti dari mereka bertiga. Bahkan dari semua orang yang sedang ada disini. Tak heran aku ketika beberapa memilihnya untuk acuh tak acuh.

Aku berpikir keras, apa hubungan antara cerita tragis itu dengan batu. Sejak awal sudah kubilang soal batu dan hanya sebuah saja. Dan itu statemenku, ceritaku, pengalaman nyata yang baru saja aku lalui. Mengapa mereka lantas sibuk menghubungkannya dengan kisah tragis? Dan mengapa Parji tidak kembali kepadaku, tapi malah sibuk mengumbar cerita yang seharian semua orang sudah membicarakannya di pasar, di sawah, di Balai Desa, di warung mbok Srani?

"Nanti aku tanya kang Wito. Kalau dia menemukan sesuatu yang berharga seharusnya dia akan cerita kepadaku."

Sapto bersahabat dengan Wito sejak mereka sama-sama membuka bisnis batu ... bla...bla ...bla... itu lagi yang pasti ditambahkan untuk meyakinkan orang bahwa dia bisa mengatur hidup Wito. Padahal dia tahu persis Wito tak pernah menyukainya dan hanya akan mengatakan hal-hal yang tidak ada artinya, sekalipun kelihatan intelek dan panjang-panjang omongannya.

Kenapa tidak ada seorangpun membantuku? Tidak dengan kepastian tentang sebuah batu. Sesuatu yang akan sangat menentukan nasibku, masa depanku, dan keseluruhan hidupku?

"Pasti dia menemukannya, setidaknya satu yang terlewat, karena oleh TKP tadi ramai sekali sampai Polisi kebingungan menghalau massa penonton." Widodo meyakinkan Sapto.

Aku yang tahu pasti apa saja yang sudah dikumpulkan oleh Polisi-Polisi yang mereka maksud. Aku yang terus berada disini tempat Polisi-polisi itu membuat pos darurat. Dalam hal seperti itu jelas aku harus mengakui ketelitian dan kejelian Polisi, mana yang perlu dicatat untuk dilaporkan dan mana yang tidakpun aku tahu.

Maka dengan keberanian yang masih aku miliki, aku kembali bertanya. Dan agar pertanyaanku dapat dipahami dengan mudah tanpa maksud-maksud tertentu, aku bertanya tepat seperti yang tadi aku tanyakan:
"Apakah tadi (sepulang) dari belik kang Wito menemukan sebuah batu?"

"Halah orang telat mikir." Widodo menggerutu. Cukup sopan kali ini karena tanpa wajah menghina.

Parji melanjutkan kengerian pikirannya: "Tadi ada yang bilang bahwa ada satu cincin emas yang cukup besar ditemukan di dalam genggaman tangan ....."
"Nah, apa kubilang. Pasti berhamburan dengan kacau. Di tanah lembek pinggir sawah begitu, di malam hari yang lembab, pasti ada barang berharga masih berserakan terselip daun kering atau masuk rekahan tanah." Widodo menimpali.

Sapto memandangku curiga, menggaruk kepalanya, sepertinya berpikir. Dia menyimak dan masih dalam diskusi tapi pandangannya membuat aku tidak nyaman. Gawat pikirku. Apakah dia sudah tahu pembicaraanku dengan Wito? Semoga dia bertanya kepadaku. Dan benar.

"Ada apa dia menanyakan tentang Wito?" Sapto masih memandangku tapi jelas pertanyaannya ditujukan kepada orang-orang lain selain aku. "Jangan-jangan dia yang memberitahu Wito. Kalau dia yang memberitahu Wito, berarti dia tahu ada yang tercecer. Mungkin dia juga tahu yang lain."

Sepertinya dia samasekali tidak menyimak pertanyaanku. Sapto hanya bisa menghubungkan ada sesuatu antara aku dan Wito. Tapi tentu tidak perlu membuat tuduhan seperti itu. Tuduhan yang hanya akan membuat Wito semakin marah. Susah payah aku menyusun alur diskusi ini. Diskusi yang sebenarnya mencoba menjawab pertanyaanku dengan banyak pertanyaan ditujukan kepadaku. Tidak hanya itu, tuduhan ini benar-benar keliru. Aku harus bertindak sebelum mereka semakin jauh membangun khayalan mereka masing-masing.

Dengan sisa-sisa keberanian, sedikit agak kutegaskan suaraku, kuulangi lagi statemenku. Ini semata agar mereka tidak lagi keliru memahami apa yang sedang didiskusikan:
"Dari jauh yang kulihat kang Wito jongkok agak lama lalu memasukkan sesuatu dalam kantong celananya."

Grrrrr.... semua orang tertawa. Widodo terpingkal-pingkal dan memandangku dengan iba. Sapto menggumam dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Dan Parji menahan batuk yang hampir tertumpah karena tawa berkata: "Sudah jangan bikin dosa di petang hari begini, banyak setan sedang berkeliaran." Dan tawa mereka semakin menggelak.

Aku berpikir keras. Bagaimana menghubungkan statemenku dengan hal-hal yang lucu sehingga mereka begitu tergelak tawa? Bagaimana mungkin informasiku yang begitu sederhana berhubungan dengan dosa dan setan?

Beberapa orang masih dengan rintihan tawa, hampir secara bersamaan meninggalkan pos ini. Tempat paling strategis bagiku untuk berpikir, berefleksi, mengumpulkan semua informasi, dan lantas menyusun teori dan membangun pengertian baru.

Dari cara mereka diskusi sepertinya mereka tahu bahwa kang Wito menemukan batu. Memang agak aneh cara mereka menyusun informasi yang diperlukan. Tapi aku merasa, mereka terlalu cepat untuk membuat kesimpulan. Bahkan mereka terlalu berlebihan kalau tanpa data riil serta merta merasa telah memahami apa yang terjadi antara aku dan kang Wito.

Padahal hanya aku yang tahu persis, karena ini cerita yang panjang. Kang Wito sendiri yang mengatakannya dengan ancaman ke mukaku sambil memegang kerah bajuku siang tadi. Gara-gara berdesakan dan kakinya terinjak olehku dia mengatakan bahwa kalau dia menemukan batu, sudah hancur kepalaku. Makanya sekarang aku bersembunyi disini, di tempat yang tak mungkin diambah lagi oleh kang Wito sejak ungkapan cintanya tertolak di tempat ini.

Aku berhenti berpikir dan memasuki malam. Besok pasti ada cerita lagi. Karena aku tahu kang Wito orang yang welas asih, sama seperti semua penduduk desa. Mereka semua selalu mengancamku, tetapi selalu saja membiarkan aku hidup. Kadang malah ada yang memberiku makan, sekalipun dengan raut muka yang jijik memandangku.

Aku berdoa semoga kang Wito tidak menemukan batu, sehingga hiruk pikuk diskusi panjang tadi bisa aku simpulkan sebagai sebuah kegagalan logika saja. Aku hampir tertidur dengan senyum.

Komentar

Postingan Populer