Politik Bolo-Boloan

Pengamatan awal

Saya senang melihat bagaimana anak-anak di kampung saya bermain bersama kawan-kawannya. Selain hal itu mengingatkan pada kegembiraan masa kecil saya, ada banyak pelajaran penting yang didapat dikala memperhatikan dinamika relasional yang terbangun dalam permainan anak-anak kampung. Sebagai sebuah kebahagiaan awal, perlu disampaikan bahwa kesempatan bermain bersama dijalan-jalan kampung adalah golden age bagi anak-anak mengenali perbedaan, karena tanpa melihat identitas kultural sosial bahkan agama, mereka bermain dan bersahabat dengan sangat bersahaja; menjadi manusia. Disamping itu, dalam dinamika perjumpaan permainan jalanan di kampung, anak-anak juga entah sadar atau tidak belajar tentang managemen hidup bersama dengan perbedaan itu dalam keseluruhan perjumpaan mereka dan segala bentuk permainan yang mereka rayakan.

Tidak seperti permainan modern yang kebanyakan menampilkan satu atau sekelompok kecil anak yang bermain sementara kelompok besar lainnya menjadi penonton supporter penggembira, permainan tradisional kampung banyak menyediakan permainan yang bisa melibatkan semua anak, siapa saja, laki-laki perempuan, asalkan mereka mau bermain. Yang mau menonton saja juga boleh dan biasanya ada karena alasan tertentu seperti baru sembuh dari sakit, atau sedang harus istirahat tenang karena sudah mandi. 

Apapaun jenis permainannya, dari perspektif dinamika relasional yang terbangun saya menemukan pelajaran penting dan berharga, yaitu kecenderungan bolo-boloan. Ketika mereka pertama kali berkumpul dan menjumpai jumlah yang cukup banyak, dan saat mereka sudah memutuskan untuk bersama-sama melakukan sebuah permainan; misalnya petak umpet atau betengan, mereka secara alamiah akan membentuk kelompok yang dianggap berada dipihaknya sebagai sekutu (bolo), dan pihak lain sebagai bukan sekutu dalam permainan. Strategi bolo-boloan seperti ini sangat efektif untuk segera memudahkan melancarkan jalannya permainan. Bolo-boloan tidak selalu terpisah dalam dua sekutu, seringkali lebih, bahkan ada juga kesempatan bagi seseorang menjadi pihak yang tidak termasuk dalam sekutu siapapun, berdiri di pihaknya sendiri. Walau ada proses rayuan agar seorang anak menjadi bolonya, atau bahkan penolakan agar seorang anak tidak menjadi bolonya, permainan harus berjalan. 

Nampaknya anak-anak mengerti, sekalipun harus bolo-boloan, itu sifatnya sementara dalam permainan tertentu, dan jika permainannya berubah maka skema bolo-boloannya juga berubah.

Dalam permainan anak-anak di kampung, proses hingga akhirnya tidak melulu berakhir dengan baik, kadang mereka sembari pulang saling mengeluh dan menyesali baik permainan yang telah dilakukan maupun pilihan bolo-boloan yang mereka pilih. Kadang hingga muncul ancaman esok tak akan lagi bersekutu dengan seseorang jika permainan tertentu hendak dilakukan bersama. Nampaknya bagi mereka permainan dan bolo-boloan adalah keharusan, semacam ritual bersama di kampung yang akan setiap hari mereka jalani bersama. dan sejauh pengalaman saya, segala jenis permainan anak-anak yang pernah saya alami kala kecil dulu, saya sudah tidak ingat lagi pernah menjadi sekutu siapa saja dalam permainan. Ingatan yang tertanam adalah, kesadaran bahagia memiliki banyak kawan di kampung, dan perasaan penerimaan, selemah, seburuk, securang, semembosankannya diri saya dalam proses permainan itu.

Politik bolo-boloan dan demokrasi

Kesederhanaan dinamika relasional dalam permainan anak-anak kampung tentu tidaklah mengenal istilah demokrasi; sebuah istilah yang terlalu maju, seperti istilah-istilah yang suka dipakai anak-anak penggemar game online dalam strategi permainan bersama melawan musuh-musuh mayanya. Namun proses alamiah bermain bersama anak-anak di kampung memperlihatkan semangat - yang jika dibaca secara politis - bisa disebut sebagai sistem demokrasi liberal. Tiap-tiap anak memiliki hak sebesar-besarnya memilih permainan bagi dirinya sendiri, dan juga boleh membuat peraturan baru permainan berdasarkan idenya sendiri.

Kebebasan anak-anak memilih permainan, menentukan sekutunya, dan bahkan cara personal bermainnya, terjadi sedemikian rupa sebagai bagian integral dari keseruan permainan. Bahkan ditengah permainan, jika seorang anak ngambek lantas ingin ganti pihak sekutunya, atau memilih keluar dari permainan, hal itu dimungkinkan dengan sebebas-bebasnya. Memang kadang nampak bahwa otoritas penentu terdapat pada anak yang lebih tua, atau yang badannya lebih besar atau lebih tinggi dari yang lain, namun ketika ada satu saja orang tua melakukan intervensi, maka tidak ada yang berani protes. Permainan yang paling seru dan menyenangkan semua anak yang terlibat adalah ketika tidak ada intervensi dari pihak manapun, bahkan kalau perlu mereka kadang pura-pura tidak mendengarkan adzan maghrib tanda petang telah tiba atau dengan sengaja bersembunyi dari pencarian orang tua. 

Kebebasan, kenyamanan, kegembiraan, dan kelegaan bersama adalah kunci keberhasilan permainan.

Ketika perbedaan pendapat terlalu mengerucut, dan sangat membutuhkan tindakan pengambilan keputusan yang bisa diterima semua, anak-anak memiliki mekanisme ping-sut atau hompimpa. Sebuah penyesesaian konflik yang sebenarnya wujudnya adalah permainan juga. Jadi disamping ada permainan inti, permainan besar bersama, ada sub-sub permainan kecil-kecil yang perlu dilalui bilamana dibutuhkan konsensus bersama. Begitulah sehingga permainan anak-anak di jalanan kampung selalu membutuhkan waktu yang lama dan keterlibatan semua anak adalah harapan besar yang akan menjamin keberhasilan permainan.

Memang tidak semua permainan membutuhkan mekanisme bolo-boloan, namun jika hal itu harus dilalui agar permainan menemukan hasilnya, jalan yang ditempuh tetaplah meletakkan kebebasan sebagai syarat utamanya. Demokrasi ala permainan anak-anak kampung memperlihatkan sebuah proses pembelajaran bagaimana setiap anak dan sekutu bolonya adalah entitas yang sama-sama perlu dihormati dan bahkan dipertimbangkan. Disitu ada kebebasan mutlak, sebuah demokrasi liberal yang nantinya akan mulai terganggu ketika diterpa intervensi-intervensi yang tidak hanya mengganggu dan merusak permainan, namun bisa menjadi penanda tak terlupa bagi anak dalam mengenali siapa dirinya dan siapa orang lain disekitarnya; teman-teman bermainnya itu.

Bolo-Boloan dan identitas

Dalam permainan anak-anak, yang paling membawa petaka adalah ketika identitas dibawa-bawa. Ancaman utamanya biasanya berupa keterlibatan pihak lain yang akan mampu memaksa atau bahkan memberi hukuman jika ada pihak yang tidak mau menuruti pihak tertentu. "Kakakku petinju lho, kalau kamu nggak mau nurut, tak bilangno kakakku lho" Atau "bapakku polisi, dia punya pistol", "ibuku dokter, biar kalau kamu sakit kamu nggak dirawat dan nggak dapat obat" Adalah beberapa contoh terbangunnya bolo-boloan yang mulai tidak sehat lagi. Yaitu ketika memanfaatkan identitas, apalagi kalau sudah identitas yang memiliki massa banyak, semacam identitas suku dan agama, bolo-boloan yang awalnya berasal dari kebebasan individu dan pilihan paling personal, menjadi permainan yang begitu sarat ancaman dan bahkan bahaya. 

Sekalipun nampak lucu bahkan konyol mengenaskan bagi kesadaran orang dewasa, manakala seorang anak kalah dalam permainan bersama temannya atau menghendaki agar maksudnya dalam permainan dimaklumi lantas ekspresi amuknya diteriakkan dengan menyebut nama Tuhan, atau bahasa-bahasa khas ekspresi religius tertentu, sekarang semakin mudah dijumpai dan memprihatinkan bahkan mengkhawatirkan. Entah penanaman model beragama yang sekedar simbolik individualistik di rumah dan disekolah, entah terlalu masifnya kampanye identitas keagamaan dalam hidup bermasyarakat yang nampak disetiap kilasan tayangan televisi dan bahkan media sosial, yang menancapkan begitu kuatnya emosi identitas religius pada seorang anak, kenyataan bahwa terbentuknya mekanisme bolo-boloan memanfaatkan hal ini adalah cara yang efektif dan sekaligus membahayakan. 

Berjumpa dengan kawan-kawan sekampung dengan tujuan dapat bermain bersama dalam kegembiraan, yang lantas terintervensi oleh kuatnya mentalitas mengutamakan identitas melebihi tujuan perjumpaan permaian gembira bersama seperti itu tidak hanya menjadi bibit-bibit teracuninya demokrasi, melainkan juga menghancurkan mekanisme alamiah bolo-boloan sebagai bagian dari permainan. Mengapa begitu? Karena dengan mentalitas mengutamakan identitas anak-anak kehilangan kesempatan melihat dunia dan sesamanya sebagai bagian tak terpisahkan bagi kehidupan gembiranya, dan juga menjadi terbebani dan bahkan terhalang untuk menjadi pribadi yang dewasa dalam berfikir dan bersikap, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kawan sepermainannya. Jalan demokrasi mungkin saja masih bisa berlangsung, namun tak lagi liberal melainkan iliberal, karena terutama anak yang terbebani mentalitas mengutamakan identitas itu, menjadi kehilangan kebebasannya menjadi manusia apa adanya.

Orangtuaisme

Politik model bapakisme/ibuisme yang akhir-akhir ini menjadi semacam candu bagi banyak orang, melenakan memanjakan membuat tak memijak tanah yang dipraktekkan dan dipertontonkan entah para politisi yang haus kedudukan kekuasaan, para broker politik pencari keuntungan sosial dan finansial, maupun rakyat jelata yang entah tulus entah tidak mencoba memperlihatkan penghormatan membabi-buta pada pemimpinnya, sebenarnya berasal dari mentalitas intervensi orangtua pada anak-anak yang sedang bermain. Mereka tahu, dengan memposisikan diri sebagai otoritas orangtua, seheboh, sebahagia, sesenang, senyaman apapun permainan anak-anak yang sedang berlangsung, adalah hak orangtua untuk menghentikannya. Posisi orangtua; bapak atau ibu adalah posisi yang tak boleh dibantah, tak boleh ditentang, dan berbahaya bagi kelangsungan hidup jika diabaikan dan ditanggapi acuh tak acuh.

Karena otoritas orangtua yang tak terbantahkan maka seolah bolo-boloan tidak berlaku lagi, padahal sangat pasti bahwa orangtua tersebut berada di pihak si anak, urusan anak lain masih belum menyelesaikan permainan atau sedang dalam gilirannya bermain, pastilah bukan menjadi perhatian orangtua. Orangtuaisme semacam ini sangat merusak mekanisme bolo-boloan dalam permainan gembira anak-anak. Dengan pongahnya dia meletakkan otoritas diri melampaui semuanya. Tidak hanya kepentingan anak lain, melainkan juga keseluruhan proses permainan yang sedang berlangsung.

Beginilah penampakan otorianisme model baru. Orangtua bisa diwakilkan oleh anak yang lebih besar, oleh pembantu, oleh tetangga, dan siapa saja - yang dalam bahasa politik disebut kroni-kroni itu - yang bisa meneruskan kehendak orangtua jika orangtua tidak memungkinkan untuk hadir langsung. Wibawa orangtua yang melekat menjadi kesadaran anak-anak pasti lebih baik, lebih bijak, lebih menguntungkan, lebih memberi mudharat, terjadi sejak dari peristiwa permainan anak-anak kampung dan terlanjur atau tepatnya dengan tanpa rasa malu, diteruspraktekkan oleh bupati, walikota, gubernur, hingga presiden. 

Jika kita semua (terutama para politisi) menganggap, bahwa praktek orangtuaisme dalam politik itu biasa, wajar dan konstitusional, mungkin kita perlu mencoba berada dalam dinamika permainan anak-anak kampung di jalan-jalan itu, bahwa sesungguhnya praktek orangtuaisme adalah njembeki (bikin kesal) belaka.

Semangat awal kebebasan dalam bermain bersama, dengan mentalitas orangtuaisme ini direnggut dengan semena-mena dari akar-akarnya. Kalaupun terjadi dialog negosiasi, posisi tawar yang dimiliki masing-masing pihak jelas sudah tidak setara dan tidak adil lagi. Dan permainan gembira demokrasi dengan begitu kehilangan naluri alamiahnya; penghargaan pada kebebasan dan hak-hak dasar.

Bolo-boloan ekonomis

Pada saat permainan monopoli menjadi sangat populer dulu ketika saya kanak-kanak, seorang anak yang memiliki set lengkap permainan monopoli keluaran terbaru pasti dengan cepat mendapat peluang menjadi orang penting dalam proses bolo-boloan. Demikian juga ketika permainan-permainan baru bermunculan. Para pemilik permainan baru adalah primadona anak-anak kampung. Rumahnya menjadi jujugan anak untuk datang bermain, dan untuk itu diperlukan sikap khusus agar setidaknya diterima baik oleh si pemilik permainan. Sangat menguntungkan jika juga disenangi oleh orangtua mereka. Kalau dalam permainan kita menyenangkan si pemilik, maka peluang kita untuk menjadi bolo dan untuk bisa terus bermain lagi menjadi terbuka lebar. namun sebaliknya, jika kita bermain merdeka tanpa merendahkan diri pada sang pemilik, apalagi hingga mengalahkan si pemilik dalam permainan, maka hilanglah kesempatan kita untuk bisa bermain lagi.

Bolo-boloan yang sudah menyangkut aset ekonomi, apalagi yang menjadi alat utama permainan, atau bahkan yang bisa menentukan siapa bisa bermain dan siapa tidak, adalah bentuk dinamika permainan anak-anak kampung yang sangat kekanak-kanakan, egoistis, dan penuh dengan intrik kesombongan dan pamer kekayaan. Sama sekali tidak ada demokrasi dalam model bolo-boloan ekonomis ini. Semangat membangun permainan gembira, kebebasan menentukan pilihan bolo, dan bahkan bermain sesuai selera dan kemampuan, telah hilang sejak dari seorang anak memutuskan untuk bermain dengan si empunya alat permainan, sang pemilik.

Maka anak-anakpun tak akan heran, kagum, apalagi kaget menyaksikan bagaimana para pemilik kapital yang menjadi si empunya itu mendadak bisa menentukan permainan apa yang harus terjadi dalam dinamika perjumpaan relasional permainan anak-anak kampung. Dan mau dipoles dan di make-up apalagi di mark-up model apa saja, bolo-boloan ekonomis itu nyata terjadi dan dipraktekkan oleh para empunya dalam setiap permainan sosial politik.

Banyak orangtua dan bahkan anak-anak yang tahu serta sadar diri bahwa bolo-boloan ekonomis tidaklah baik bagi kepribadian dan kembangtumbuh seorang anak. Dan jika itu dilakukan akan merusak serta menumbuhkan semangat persaingan tidak sehat bagi komunitas permainan anak-anak kampung.

Maka jika kita melihat praktek bolo-boloan ekonomis terjadi, bolo-boloan berdasar identitas mulai dipertontonkan, dan orangtuaisme makin sering terjadi, sebaiknya segera dan sebisa mungkin menghindar, menjauhi, kalau perlu diam-diam bersembunyi. Yakinlah, bahwa hal-hal itu njembeki (bikin kesal) dan berpotensi menghancurkan dinamika perjumpaan gembira permainan anak-anak kampung. Jika tidak, pada akhirnya kita tidak bisa lagi bolo-boloan dengan merdeka, dan dengan begitu habislah sudah dinamika relasional permainan gembira kampung kita.

Komentar

Unknown mengatakan…
Jadi apakah pembentukan karakter lewat permainan anak, "bolo boloan ", bisa memicu pola hidup untuk selalu membolo karena perbedaan?

Postingan Populer