TIGA ASUMSI BUDAYA (ATAU LEBIH) YANG MEMALUKAN

PERLAKUAN ORANG TERHADAP SESAMANYA
Perlakuan orang terhadap orang lain adalah cerminan paling nyata bagaimana seseorang memperlakukan dirinya sendiri. Seseorang disebut sebagai teman, atau bahkan diagungkan sebagai sahabat, atau bahkan diidolakan sebagai orang yang dihormati, hanya terjadi sejauh semuanya beres. Artinya semuanya harus memenuhi syarat asumsi yang dianggap layak, umum, dan bermoral. Tentu saja asumsi ini berasal dari anggapan umum, dari common-sense yang diterima bersama. Nah, sekali saja seseorang dianggap-diduga-didakwa sebagai orang yang tidak lagi memenuhi syarat asumsi itu, maka dengan spontan-mendadak-tergesa-gesa yang semula bernama teman menjadi musuh. Yang semula diagungkan sebagai sahabat ditempatkan di comberan dianggap sebagai makhluk yang layak dibunuh. Yang semula dihormati-dihargai-diidolakan serta-merta dijadikan barang menjijikkan yang najis-kafir-pengkhianat-penjahat.

Lantas apa artinya memiliki hubungan petemanan kalau kondisi psikologisnya lebih tergantung pada hal-hal yang diluar keutuhan diri teman itu sendiri? Apakah tergantung pada kata orang, terpengaruh oleh kitab yang disucikan, tunduk pada common-sense? Dan celakanya, berdasarkan budaya kita hal seperti ini dimaklumi, diakui-dengan mengeluh ... yah begitulah budaya disini, orang harus mengerti, harus bisa berpikir common-sense, harus beretika berdasar kitab suci, harus menuruti apa seleraku. Dan tidak ada yang pernah merasa malu bermain drama dengan plot budaya seperti ini. Hitung saja pertemanan kita di fasilitas yang namanya jejaring sosial. Bisa ribuan, malah ada yang puluhan ribu bagi yang rajin hunting menelusuri teman dari teman yang temannya seorang teman kujadikan temanku.

Ada asumsi budaya bahwa pertemanan itu kuantitas bukan kualitas. Kalau orang sekampung kenal berarti hidup cukup aman, namun harus terus waspada, karena satu saja berkata berbeda, dan itu dimaklumi oleh rasionalitas komunal, hidupmu bisa diujung tanduk. Jalinan pertemanan laksana jalinan sekumpulan ular berbisa yang nampak berakrab-ria bersentuhan dekat satu dengan yang lainnya, saling mengelus dan mengendus, terutama ketika mengerumuni mangsa dan makanan. Manakala ada yang sedikit saja meleset, tergelincir, salah langkah terhadap target, mangsa, tujuan bersama itu, maka yang terjadi adalah saling memangsa. Membela dan berpihak pada yang banyak lebih bernilai daripada membela dan berpihak pada yang benar atau yang harus dilindungi.

Demikian juga perlakuan orang terhadap dirinya sendiri. Diri dibangun dengan kesadaran akan menjadi sempurna jika dapat mengakomodasi semua asumsi umum tentang menjadi manusia. Diri juga diperlakukan sebagai obyek atau alat untuk ngobyek terhadap keinginan diakui ke-diri-annya oleh orang lain. Ada semacam sensasi luar biasa yang diakui dapat memberikan kepuasan bathin dan kecukupan moral jika orang bisa menundukkan dirinya, menguasai dirinya, mengendalikan dirinya untuk mengikuti-tunduk-takluk tanpa tanya, tanpa protes pada tuntutan-desakan-penindasan asumsi umum itu.

Perlakuan terhadap orang lain dan juga terhadap diri sendiri itu dengan sengaja dan sistematis ditanamkan sejak dini, di rumah, di sekolah, di ruang-ruang kursus, di tempat peribadatan, di mall, di toko, di warung, di semua jalinan relasi diri dan orang lain, sama saja. Menjadi berbeda adalah aib, memalukan, menarik perhatian, memprihatinkan, dan akan menjadi beban bagi harmoni sosial. Berpikiran, bersikap, dan bertindak progresif diluar mainstream adalah aneh, tidak etis, tak religius, dan dianggap mengganggu-mengancam ketentraman-keutuhan-harmoni sistem sosial yang sudah ada.

Ingin bukti? Coba saja menjadi dirimu sendiri, semerdeka dan sebebas yang mampu kamu pikirkan dan bayangkan. Kalau itu belum cukup menggambarkan betapa memalukannya budaya kita, mari kita lihat apa saja yang diakibatkan oleh cara budaya kita memperlakukan diri dan orang lain itu? Beberapa sub-culture yang berkembang dan dibanggakan sebagai jatidiri budaya negri ternyata memiliki bentuk jadian yang berasal dari sikap awal ini.

AGAMA NEGARA

Beragama menjadi sebuah gengsi rohani yang ditentukan oleh cara pakaian, tingkat ekonomi, dan aktifitas-aktifitas pengikat kohesi kelompok yang eksklusif. Tak heran kalau mulai dari Bank, Sekolah-Universitas, tempat ibadah, hotel, tempat seminar-seminar, bahkan kampung-kampung mulai tertarik untuk memberi label-label agama sebagai identitas, atau tepatnya sebagai garis-garis batas lingkaran asumsi komunal yang tidak boleh diganggu dan steril dari yang berbeda dengan asusmsinya.

Agama menjadi sebuah organisasi pengendali dan kontrol mula-mula terhadap diri, orang di sekitar, komunitas, dan akhirnya jangan heran kalau ada yang menghendaki sensasinya hingga seluas bangsa atau bahkan dunia dan akhirat. Dan disisi yang berbeda dengan pendekatan yang sama, negara juga memiliki kepentingan bermain dalam sistem pengendali dan kontrol itu. Problematik agama-negara, kerukunan-perdamaian antar agama, beragam cara beragama, dan organisasi-organisasinya berada disini, berada dalam sebuah asumsi budaya bahwa agama adalah pengendali dan kontrol. Sejajar dengan asumsi bahwa relasi antar manusia berjalan dengan baik selama mekanisme pengendalian dan kontrol itu tetap dipertahankan.

Beragama diakui umum sebagai urusan pribadi, tapi ... yah ... selalu ada TETAPI ... urusan pribadi itu harus setidaknya bersesuaian dengan asumsi umum tentang apa, mengapa, dan bagaimananya. Agama sebagai urusan pribadi tidak pernah benar-benar menjadi urusan pribadi. Pemakluman terhadap sikap dan tindakan memata-matai, gosip, kecurigaan, dan lantas penghakiman atas nama agama dalam asumsi umum  - telah banyak menjatuhkan korban jiwa dan selalu meninggalkan jahitan-jahitan yang tidak pernah sempat mengering. Jadi ini jelas bukan agama masalahnya, namun memperlihatkan pada kita dengan tegas tentang bagaimana cara kita memperlakukan diri dan sesama kita. Agama, dimanapun bisa dijadikan alat untuk melegitimasi secara goib kecenderungan sikap dan perilaku orang-orangnya terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain.

BEKERJA DAN BERORGANISASI

Lapisan lain dari identitas kita ditandai oleh aktifitas kerja dan berorganisasi. Disinilah bentuk relasi antar manusia diperhadapkan pada tentangan terberatnya. Namun coba kita lihat bagaimana mentalitas budaya kerja kita. Kalau ada yang bilang bahwa tidak ada lagi perbudakan di tanah Indonesia merdeka ini, dia tentu belum pernah melihat bagaimana relasi majikan-pembantu, bos-anak buah, pimpinan-bawahan, senior-yunior. Semua sistem management dan peraturan ketenagakerjaan tentu berkata ideal dan memberi ruang interpretasi yang kontekstual. Kalau jadi atasan bersikaplah seperti seorang atasan, demikian sebaliknya. Batas tegas kadang memang tidak nampak, tidak secara vulgar diperlihatkan. Tapi coba lihat bagaimana bahasa dan tanda digunakan agar mekanisme perbudakan terus dilakukan.

Pertama: lihatlah di kantor-kantor pemerintah; orang yang semakin sedikit bekerja, kadang dipercantik dengan terlalu banyak bicara dan terlalu sibuk diluar urusan kantor, pastilah orang-orang yang jabatannya lebih tinggi. Nggak peduli pegawai sipil, militer, politisi, wartawan, bisnis, ilmuan, agamawan, bahkan pekerja LSM, semua sama, gaya hidupnya sama, cara kerjanya sama, dan perlakuannya pada bawahan juga sama. Ada asumsi budaya yang dianggap layak bahwa petinggi telah terbebani dengan tanggungjawab dan pekerjaan pikiran yang berat, jadi semakin sedikit dia benar-benar bekerja itu semakin cocok dengan posisinya. Sebagai penanda jabatannya. Orang-orang semacam ini, membawa tas dan mengambil minuman sendiripun sering perlu seorang ajudan, pembantu, bawahan, atau anak buah. Semua maklum, inilah mekanisme budaya, setiap bawahan juga mengimpikan akan sampai pada posisi itu.

Kedua: cobalah jalan-jalan ke Mall atau ruang meeting di hotel, club, atau privat area yang hanya bisa didatangi oleh segelintir orang super dalam hal jabatan, kedudukan, posisi dan uangnya. Tidak terlalu berlebihan kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di kebanyakan rumah yang memiliki pembantu. Tidak terjadi pembedaan yang disengaja dengan mencolok, melainkan jelas masing-masing posisi dimaklumi oleh semua pihak. Adegan seperti di teater ketoprak atau ludruk atau lawakan Srimulat yang mengkontraskan majikan-pembantu selalu diterima dengan senyuman banyolan kelakar seolah sudah sewajarnya. Asumsi budaya yang dibangun jelas, perbudakan bukanlah sebuah tindakan memperbudak, tetapi membangun mental yang meyakinkan orang dalam posisinya masing-masing.

Ketiga: Dalam hal organisasi kemasyarakatan, idealisme gotong-royong sebenarnya berbasis pada inisiatif pribadi-pribadi untuk kesejahteraan bersama. Ide ini menjadi kompleks ketika dijadikan asumsi budaya tentang sebuah pranata bagaimana seseorang bersumbangsih pada komunitasnya. Menjadi sebuah keharusan, yang melibatkan mekanisme rasa malu dan rasa bersalah sedemikian rupa yang dengan mudah dimanipulasi seolah menjadi sebuah nilai penting kebersamaan.

Penghargaan terhadap minat terpenting secara personal tidak dikembangkan sebagai bagian dari upaya pribadi terlibat dalam kesejahteraan bersama. Keterlibatan berarti keseragaman, kebersamaan berarti ikut-ikutan, gotong royong berarti ancaman terhadap inisiatif pribadi. Namun anehnya, pemakluman sangat terbuka jika orang mampu merasionalkan alasan juga dengan beban alasan yang bersifat sosial seperti itu. Ada pemakluman besar untuk tidak menghadiri pertemuan jika alasannya adalah gotong-royong orang punya hajad, kesusahan, hujan, dan jalanan macet. Demikian saling terkait antara usaha memperkokoh kohesi sosial dengan beragam pemakluman yang berujung pada pembiasaan pada rasionalitas semu.

SEGREGASI JENIS KELAMIN, USIA, DAN LAINNYA

Mungkin saking terbiasanya, spontan tiap orang akan mencari kelompoknya dalam kerumunan berdasar jenis kelamin. Di pasar, di rumah ibadah apa saja, di sekolah, di bis (malah harus dibuatkan gerbong sendiri di Jakarta), segregasi jenis kelamin diharuskan dan kalau perlu terus dijaga oleh petugas khusus supaya tertanam di bawah sadar tiap orang bahwa itulah nilai budaya. Bertamu di rumah, di kantor, di warung bahkan di tempat-tempat umum, segregasi berdasar jenis kelamin dilestarikan juga dengan guyonan gak bermutu dan sindiran menyakitkan yang orang harus menganggapnya sebagai kebenaran. Ada asumsi budaya yang menekankan orang untuk menghindari interaksi secara terbuka lintas jenis kelamin. Persoalan praktek seperti ini menyuburkan stereotiping yang tidak sehat, melemahkan usaha orang menyadari kesetaraan gender, dan menyuburkan ketidakadilan gender, itu persoalan akademik dari orang-orang cerdik pandai yang hidup pemberontakannya terhadap hal itu terjadi karena tidak pernah mengalami dan berani bersuara pada situasi yang riil.

Segregasi yang paling tidak adil adalah dalam hal usia. Sejak dini seorang anak kecil ditekankan pada pentingnya menyadari posisinya berdasarkan usia. Sebagai adik dari seorang adik yang berbeda dengan kakak dari seorang kakak. Hal ini diperumit dengan keharusan penyebutan berdasarkan garis keturunan dalam sebuah klan. Seorang bayi terpaksa dipanggil om oleh seorang pemuda karena garis keturunan klan menyebutkan seperti itu.

Di sekolah ada adik kelas-kakak kelas, kerumunan orang selalu memperlihatkan sebuah pertemuan antar orang yang usianya relatif sama. Maka lebel-lebel diciptakan, menjadi asumsi budaya, bahwa yang keluyuran di malam minggu adalah anak muda dan orang tua selayaknya berdiam diri dirumah menghabiskan hidupnya dengan sopan. Pertemuan berdasar minat - sekali lagi karena hal ini melawan asumsi budaya gotongroyong - sangat langka dijumpai, kecuali ditempat-tempat yang dilebelkan sebagai tak berbudaya, tak sopan, tak beretika. Dengan kesadaran penuh, jika sebuah pertemuan dihadiri oleh kebanyakan orang muda, maka yang tua harus tahu diri dan mundur, demikian juga sebaliknya.

Nantilah bicara contoh-contoh lebih detail, sementara hal-hal ini dulu yang paling kasat mata terjadi dilingkungan kita. Apakah semua ini membanggakan? Mungkin memang terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa asumsi budaya yang sedang kita hidupi dan membentuk perilaku kita itu memalukan kalau tidak mau dikatakan membodohi dan menghambat kemajuan. Mungkin diperlukan contoh-contoh riil yang dengan jelas memperlihatkan aspek apakah yang menyebabkan munculnya asumsi budaya itu. Apakah memang agama yang paling berpengaruh, apakah mentalitas kolonialis, atau memang jangan-jangan itulah yang membuat kita nyaman, aman, dan merasa cukup membangun masyarakat kita. Yaitu sehari-hari menciptakan drama besar dengan permaian yang tidak pernah fair dan memanipulasi common-sense sebagai senjata untuk saling menekan, menerkam, dan menjatuhkan. 

Komentar

Postingan Populer