KOTBAH UNTUK ACARA WISUDA


Renungan Wisuda Sarjana dan Paska Sarjana
Universitas Kristen Duta Wacana 2011


KEBANGGAAN

Sekarang semua bisa dan boleh merasa bangga. Para dosen, staf dan para karyawan bangga dengan pelayanan terbaik yang telah diberikan dalam rangka mendampingi, memotivasi, dan menolong mahasiswa yang sekarang menjadi winisuda masuk dalam kalangan trampil dan berpengetahuan di tengah masyarakat. Para winisuda bangga, karena segala jerih juang belajar, perkawanan, dan pengabdiannya melalui pemikiran kritis dan inovatif bagi terciptanya dunia yang lebih baik telah sampai pada momen terpentingnya yaitu menerima sebuah tanda penghargaan. Para orang tua, kakak-adik, istri-suami, dan orang-orang terkasih para winisuda juga merasa bangga karena menjadi bagian dari sebuah proses investasi sumber daya manusia jangka panjang bagi keluarga, komunitas, bahkan bangsa dan negara.

Apa artinya kebanggaan itu? Saya pernah mendengar bahwa ada sebuah sekolah entrepreneurship yang pada saat upacara wisuda seperti ini ditengah panggung disediakan tong dengan api menyala di dalamnya. Tiap winisuda setelah menerima ijazahnya ditantang untuk membakar ijazah tersebut. Karena dipercaya oleh sekolah itu bahwa entrepreneur sejati tidak membutuhkan ijazah. Saya juga mengenal beberapa teman yang berpandangan bahwa mengikuti acara wisuda hanyalah sebuah bentuk arogansi akademis dari elit para penyandang gelar untuk bersiap-siap masuk dalam sebuah mafia yang melanggengkan struktur piramida manusia yang tidak adil. Lantas, apa artinya jika kita saat ini merasa bangga? Dan apa gunanya kebanggaan ini nantinya di kemudian hari?

II Korintus 11:21b-30
Tetapi jika orang lain berani membanggakan sesuatu, maka aku pun – aku berkata dalam kebodohan – berani juga! (21b)
Apakah mereka pelayan Kristus? – aku berkata seperti orang gila – aku lebih lagi! (23a)
Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegas atas kelemahanku. (30)


Umumnya istilah kebanggaan di dalam Alkitab dimaknai secara kontras antara yang bersifat duniawi dan rohani.  Dalam surat Paulus, secara bergantian istilah kebanggaan digunakan bersama dengan istilah bermegah yang kadang nyaris bermakna kesombongan. Saat orang bangga pada sesuatu, saat itu orang membuat pernyataan bahwa dirinya telah menjalani banyak hal entah baik atau buruk untuk sampai pada sebuah perasaan lega, nyaman, tenang-tetap. Bangga adalah sikap mental yang membuat orang memahami dunia dan orang lain dengan cara yang berbeda. Karena bangga berhubungan dengan masa lalu, tidak jarang moment-moment terpenting dalam diri seseorang dijadikan referensi utama dalam rangka menyusun cara pandang dan sikap mentalnya terhadap sekelilingnnya. Jadi, jika secara duniawi bangga berkaitan dengan sesuatu yang memperlihatkan bahwa seseorang atau sebuah komnitas lebih hebat karya dan pendirian spiritualnya, bagaimakah kebanggaan yang rohani yang dimaksud oleh Paulus?

Dalam penggalan suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus tadi, Paulus menantang pemahaman jemaat tentang apa yang seharusnya patut mereka banggakan. Dan nampaklah bahwa memperbincangkan hal itu bisa menimbulkan kebodohan dan bahkan kegilaan kecil. Ironi semacam ini nyata. Rasa bangga yang umumnya dianggap positif ternyata memiliki sisi negatif juga. Kita melihat kenyataan ini tiap saat. Disamping banyak orang baik-baik membanggakan kebaikannya, bersamaan dengan itu banyak juga orang jahat membanggakan kejahatannya. Bahkan kadang ada orang yang membanggakan kejahatannya untuk membuktikan kebaikannya. Kebanggaan terhadap sesuatu tidak lagi menjadi khabar sukacita melainkan berubah menjadi ajang memupuk egoism, arogansi, dan kepercayaan yang berlebihan terhadap kemampuan diri sendiri. Oleh karena itulah Paulus memperkenalkan ide yang sulit dimengerti akal sehat yaitu “bermegah atas kelemahan”.

Sekeluarnya nanti menjadi sarjana, master, doctor, para wisudawan akan memandang kehidupan sebagai mahasiswa, menganggap dosen, teman, dan bahkan kampung halaman dengan cara yang berbeda.  Dalam situasi seperti itu, saya kira bagaimana kita memilih dan mempraktekan cara pandang kita itulah yang akan membedakan apakah kebanggaan kita bersifat duniawi dan rohani. Lantas bagaimanakah yang layak disebut “bermegah atas kelemahan“ dalam situasi kita saat ini? Tidak ada resep jadi, tidak ada rumus pasti, tidak ada dogma yang tetap. Ini sebuah usaha seumur hidup yang jika terpeleset sedikit saja kita akan jatuh di sisi yang lainnya. Untungnya, Paulus menasehati dengan contoh-contoh. Baginya, melakukan segala tindakan yang mencontoh pengorbanan Yesus sampai yang paling ekstrim sekalipun bisa jadi merupakan tindakan yang muncul dari kebodohan dan kemarahan belaka. Apalagi kalau itu ditujukan untuk membangun persaingan kotor, perselisihan, dan kebanggaan diri. Dari kritik tajam atas kebanggaan ini nampaklah bahwa ada inti yang lebih bermakna dari kebanggaan, yaitu ketika kebanggaan ditujukan dan berdampak bagi keselamatan banyak orang. Dengan demikian, kebanggaan justru adalah saat kita menjadi semakin rendah hati di tengah usaha kita melakukan segala karya-karya besar yang berdampak bagi kesejahteraan dan keselamatan banyak orang.

Saat ini kita semua bangga dan layak bermegah karena di depan kita terbentang peluang untuk membuktikan dan mempraktekkannya pada dunia. Saat ini dunia membutuhkan teolog-teolog handal yang menghasilkan karya-karya besar yang reflektif, visioner, dan dikenal seantero jagad yang berani bermegah atas kelemahan berupa kerendahhatian, keterbukaan, dan penerimaan pada perbedaan. Dunia saat ini membutuhkan para manager-ekonom hebat yang kritis terhadap system ekonomi global yang tidak adil terhadap masa depan manusia dan alam semesta yang berani bermegah atas kelemahan untuk mendahulukan yang lemah dan tak berdaya. Dunia yang benar-benar butuh para pakar informatika yang berani bermegah atas kelemahan yaitu menghasilkan kehidupan yang manusiawi daripada semata kecanggihan teknologi. Dunia yang butuh para analis lingkungan dan arsitek yang dapat memelihara dan mempercantik dunia bagi kemegahan atas kelemahan yang tertuju pada hidup nyaman dan damai. Dunia yang butuh para dokter, maaf, belum ada lulusan kedokteran rupanya. Mumpung belum ada, setidaknya, semoga mulai dipikirkan kebanggaan seperti apa yang sedang dibangun dalam memiliki fakulas kedokteran di tengah dunia dimana semakin banyak orang miskin ketika sakit lebih memilih cepat mati karena tidak mampu bayar dokter dan biaya pengobatan.

Saudaraku, jadilah orang yang memang benar-benar membanggakan, karena kita bisa dan Tuhan pasti memberkati kita. Amin.

Komentar

Postingan Populer