TUKANG RAMAL

Jam sembilan pagi adalah waktu paling tepat untuk melakukan perjumpaan antara anak-anak yang belum sekolah seperti aku, bapak-bapak pensiunan, dan Kakek-Nenek yang masih senang menjaga kesegaran cara pikirnya.
Selesai membantu – tepatnya mengganggu pekerjaan rumah Ibuku sebelum dia bergegas pergi bekerja, dan ketika mBak Pat sudah datang kerumah; seorang pembantu – yang benar-benar pembantu, karena mendorong kesukarelaan dirinya dimasa gadis dewasanya yang belum laku kawin – untuk meringankan keluarga-keluarga yang kerepotan disesatkan slogan banyak anak, banyak rezeki, aku  sudah cukup rapi dan kenyang berkeliaran keluar rumah. Belum mandi.
Seseorang yang aku panggil paman, dan dua orang yang semuanya aku panggil kakek, sudah siap disebuah teras berjarak dua rumah dari rumahku. Mereka yakin kalau aku pasti datang menjumpai mereka dan berusaha mengumpulkan kata-kata baru dari obrolan mereka.
Seseorang yang aku panggil paman adalah seorang tentara yang pernah dikirim ke Timur Tengah menjadi tentara perdamaian. Dari dia aku belajar banyak tentang kata-kata bahasa Indonesia. Bahwa kata “merdeka” artinya terbebas dari belenggu dan perintah tidak senonoh dari siapapun. Dia menunjukkan bahwa kata itu berbahaya. Suatu hari dia menggunakan konsep itu hanya dikarenakan tidak tega untuk menyiksa tawanan perang, dan dia kehilangan pekerjaan bakunya. Sekarang dia dianugerahi kantor khusus di desa, mendapat posisi sama tinggi dengan kepala desa. Pangkatnya tidak pernah naik. Beberapa kawanku memanggilnya dengan pak Babinsa.
Yang aku kagumi adalah kakek yang paling tua. Dia adalah kakek dari bulik Parti. Berapa usianya tidak ada yang mengatakannya. Entah karena saking tuanya atau karena memang dijaman dia lahir dulu, belum terbiasa ada pencatatan sipil. Dia selalu terlihat bijak dalam tiap pembicaraan. Dia selalu tidak percaya bahwa lotre yang akan keluar berangka genap puluhan. “itu tidak mungkin!” Dan caranya meramu angka untuk menetapkan yang paling tepat mendekati kepastian ramalan nomer lotre yang akan datang bagiku adalah luar biasa.
Kakek yang terakhir, yang paling sering datang bersama seorang nenek-nenek yang selalu dibanggakan sebagai istri ke sembilannya, adalah yang paling humoris. Dia bisa memulai sebuah kalimat dengan satu kata seperti “kerikil” untuk memulai percakapan panjang penuh gelak tawa. Aku tertawa terbahak-bahak kalau dia sudah mulai cerita, sering karena aku tidak paham apa yang dia tertawakan, dan kadang – malah jarang sebenarnya – aku belajar kata baru yang jika aku gunakan di rumah membuat alis Bapak dan Ibuku diangkat, tersenyum, dan kemudian buru-buru menasehatiku untuk berhenti mengucapkannya.
Mereka suka memperhatikan dengan kagum ketika aku mulai menirukan kata-kata mereka dengan sambungan yang tidak lengkap dan gabungan dari kata bahasa Jawa dan bahasa yang sedang senang digunakan dengan gengsi tinggi yaitu bahasa Indonesia. Hanya para guru, pegawai negeri, orang-orang terpelajarlah yang fasih menyusunnya. Mereka selalu meniru-niru gaya penulis majalah dalam menyusun kalimat, atau gaya reporter radio menyampaikan berita dalam berbahasa Indonesia. Sesuatu yang jelas diluar jangkauan nalarku. Akupun lebih baik meniru mereka saja, kecuali mbah Kerikil yang pernah beristri hingga sembilan kali, sebelum menirunya aku harus berpikir, apakah kata itu perlu dicoba aku pakai di rumah atau tidak.
Pagi itu fokus pembicaraan tertuju pada angka delapan. Menurut paman yang dipanggil pak Babinsa oleh anak-anak yang sudah besar:
“ini angka sulit. Karena kalau dimistik menjadi lima dan kalau dikecilkan bisa menjadi tiga atau enam.”
Mengenal angka memang sulit. kadang kakakku yang sudah kelas TK mencoba menjelaskan padaku agar urutan penyebutan angka itu tidak terbalik. Aku pernah dibentak agar setelah mengucapkan angka tiga aku harus langsung mengingat angka empat.
Karena ini sulit, pastilah ini pembicaraan serius pikirku. Jadi aku harus benar-benar memperhatikan.
Yang aku kenal dengan angka seperti kakak-kakakku mencoba menghafalkannya itu biasanya disebutkan untuk ditambah atau dikurangi. Jelas sekarang saya belajar lebih maju dari kakak-kakakku. Aku harus segera bisa memistikan angka.
“Lima kalau dipasangkan dengan tiga nampak lebih mendekati keakuratan angka delapan dibanding dipasangkan dengan enam. Bisa jeblok.” Kakek humoris kali ini tidak lagi membuat kalimat dengan tersenyum. Dia malah nampak tegang dan mengeluarkan secarik kertas dari kantong safarinya. Paman memandanginya dengan tatapan yang nampak tidak percaya. Aku dibiarkan saja mencicipi kopi kakek Parti yang jelas larut masuk dalam analisa mendalam.
“Itu masih mending, coba kalau kita ketemukan dengan angka tujuh, selisihnya dari angka delapan terlalu kecil tapi hasilnya terlalu besar. Pasti bukanlah spekulasi yang baik.” Paman Babinsa menjelaskan dengan mulai membuat lingkaran yang dibagi empat dan diisi dengan angka-angka mistik.
Aku memandangi semut-semut yang berjejer barbaris di lantai, yang tidak boleh dibunuh, kata kakek bijak. “Kalau dia tidak mengganggumu jangan diganggu, dia juga makhluk hidup.” Begitu selalu aku ingat kata-kata kakek bijak. Padahal saat itu sebenarnya aku sedang berusaha mengingat-ingat angka yang sedari tadi mereka perbincangkan. Aku tersenyum. Entah karena mendapat ilmu baru atau karena aku berhasil mengingat nasihat kakek bijak.
Mereka masih nampak sibuk dengan angka. Kali ini kertas-kertas sudah berserakan di meja, diantara gelas-gelas kopi dan singkong rebus. Sesekali saja kakek bijak nampak menunjuk pada salah satu kertas. “Itu pengalaman yang hampir merubah hidupku.” Begitu beberapa kali dia menyebutkan. “Kalau saja angka dua yang kutulis, aku pastikan menjadi angka tujuh yang adalah angka mistik dari dua, hari itu pastilah sudah menjadi hari besar.” Dia menegaskan pentingnya berhati-hati menggunakan angka mistik. Karena bisa menolong tapi bisa juga menjebak. Dan aku menjadi paham, bahwa mereka rupanya sedang menyusun kombinasi empat angka. Empat angka yang tepat, yang bisa membuat seseorang memenangkan lotre dan hidupnya menjadi lebih baik.
Hari sudah semakin siang mendekati waktu kakak-kakakku pulang sekolah bersama kawan-kawannya. Waktu yang sangat menyenangkan untuk mendengar mereka bercerita dan lalu mandi di kali sebelum Bapak pulang dari kerja. Aku masih kebingungan melafalkan angka apa saja yang aku pelajari dan mampu aku ingat. Sambil bergumam, mencurahkan ingatan, aku sebutkan “delapan” (bukankah itu angka pertama?), “enam” (entah kenapa angka ini mudah aku ingat), lalu “tujuh” (angka yang paling sering diperdebatkan), dan “tiga” (angka yang sudah sangat aku hafal karena kakak-kakakku sudah sering menyebutkannya).
“Ulangi!” Agak sedikit berteriak kakek bijak menoleh ke mataku diikuti dengan pandangan heran dua orang yang lain. “Berapa yang kamu sebutkan tadi? Angka berapa saja?” Paman Babinsa memastikan agar aku mengulanginya. “Delapan – enam – tujuh – tiga” dengan tersenyum kegirangan aku mampu menyusun deretan angka yang sangat besar nilainya, terlampau besar untuk bisa aku mengerti.
“Kakek, aku pulang ya.” Aku langsung berlari melihat kakak-kakakku sudah pulang sekolah. Mereka tersenyum melihatku. Sekalipun sering merepotkan mereka akibat kebebalanku menghafalkan angka, senyum mereka kali ini aku sambut dengan gembira. Aku akan bisa menyebutkan angka berurutan dari satu sampai delapan. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan menceritakan kepada mereka tentang rahasia memistik angka. Aku kasihan pada mereka, karena mereka masih harus belajar menghafal penambahan dan pengurangan angka. Padahal sekarang, itu sudah harus dilakukan untuk bilangan belasan. Mereka memang kakak-kakakku yang sangat pandai dan membuatku bangga.
Dua hari kemudian, di sebuah sore yang mendung, pak Babinsa datang ke rumah. Berbicara sebentar dengan Bapak dan meminta ijin pada Ibu untuk membawaku ke kota.
Sepenggal kalimat yang sempat aku dengar: “Saya hanya dapat sedikit. Salah saya sendiri karena memasang sedikit. Saya belum terlalu percaya sekalipun sering diyakinkan kakek bijak bahwa anak anda lidahnya belang.” Bapak hanya tersenyum dan menggeleng tidak setuju, tapi tetap membiarkan aku diajak ke kota. “Ini atas perintah kakek bijak, katanya dia mendapatkan penglihatan agar anak Bapak dapat menggunakan seragam tentara”. Dengan kalimat itu kami pergi, dan kota selalu menawarkan kekaguman buatku. Memang banyak angka dan kata-kata, tapi aku paling bahagia jika menjumpai gambar-gambar dan sorot lampu yang berwarna-warni seringkali dengan suara musik yang iramanya selalu menawarkan semangat baru.
Aku pulang dengan seragam tentara lengkap dengan pangkat dan topi komandan. Baunya masih segar langsung dari toko. Bau yang tidak aku sukai. Tapi bagiku yang terpenting adalah bungkusan besar roti goreng paling enak yang hanya bisa dibeli di dekat perempatan Rajabali.
Dua puluh lima biji dalam satu bungkusan khusus dibawakan ke aku untuk aku bawa pulang. Setidaknya aku boleh makan dua pikirku, tapi urusan membagi-bagi jelas adalah urusan Bapak dan Ibu, merekalah yang tahu bagaimana sebuah bilangan bisa dibagi. Apalagi ini berkaitan dengan urusan roti goreng besar-besar yang manis dan lezat.
Malam itu aku sangat bersemangat. Ada angka-angka baru bisa aku sebutkan, diantaranya adalah angka duapuluh lima. Besok pagi jam sembilan aku akan pergi ke teras tetangga lagi. Memandangi semut berbaris, mendengar kata-kata dan angka-angka baru, menghafalkannya dan membuat para tetangga bahagia.
Sebelum tertidur, lamat-lamat aku dengar Ibuku berbisik kepada Bapak:
“Aku tidak mau anak kita menjadi tukang ramal. Buntutan dan lotre sudah terlalu banyak menjadi masalah …..”

Komentar

Postingan Populer