nJOYO SEMPOL
Berdasar pengakuan resmi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki sumber pembuktian formal, aku dilahirkan di sebuah dusun bernama nJoyo Sempol, Merjosari, Malang, Jawa Timur. Sebuah dusun yang terlupakan masa kelamnya dengan segala butiran benih baru yang ditumpahkan dari tanahnya.
Tepat sebelum aku lahir, adalah masa depresi besar yang menasional. Perang Dunia kedua belum selesai, perihnya masih terasa disana-sini. Dan Indonesia yang sedang bergelora menemukan identitasnya didera kebrutalan pembunuhan, ancaman, intimidasi, ketakutan massa yang luar biasa.
Tepat sehari sebelum aku dilahirkan, di satu-satunya sumur dalam lingkungan warga, dimana Ibuku biasa menimba air untuk segala keperluan rumah tangga, seseorang menggantung leher dirinya. Khabarnya dia tak tahan dengan situasi yang terjadi.
Kelahiranku dipenuhi dengan haru, tanpa air bersih dari sumur. Karenanya, terpaksa para tetangga mencarikannya di sumber air di lereng sungai di bawah jembatan bambu penghubung desa. Ketakutan yang melanda kampung tak cukup mampu menekan pentingnya menyambut harapan baru, masa depan kehidupan yang baru, seorang orok tak berdaya dan tak tahu bakal tumbuh seperti apa.
Secara geografis, dusunku tinggal tak terlalu jauh dari pusat kota sekalipun. Tak terlalu jauh dari pusat peradaban yang infrastrukturnya masih benar-benar porak poranda baik secara fisik maupun dari mata-mata kerakusan siapa berhak memiliki apa. Sebagai seorang anak dari orang tua yang bekerja pada rumah sakit pemerintah, bukanlah menjadi alasan agar aku mendapatkan perlakuan khusus. Aku terlahir dari rahim Ibuku atas pertolongan Bapakku sendiri - dirumah.
Aku diberi nama Christanto Budiprabowo, ejaan yang di kemudian hari menjadi persoalan karena harus dirubah menyesuaikan ejaan yang disempurnakan. Bersyukur aku juga mendapat nama julukan Tatok. Semacam nama populer yang mudah disebutkan dan diingat para temanku dan semua tetanggaku.
Setelah penelitian dilakukan hampir sepanjang hari sebelum selapan, ditengarai bahwa ada kejanggalan dalam tubuhku. Lidahku belang. Tidak ada yang cukup berani menafsirkan kondisi aneh dalam tubuhku itu. Hal itu terbongkar karena tangisanku amatlah keras, nyaris mengeluarkan semua lidah ketika kehausan.
Si lidah belang dari nJoyo Sempol diperingati tidak terlalu tepat sesuai dengan tepatnya hari kelahiranku. Karena saking begitu mencekam ketakutan Ibuku disekitar peristiwa kelahiranku, Bulan kelahiranku diperkirakan saja sekitar September atau Oktober.
Sejak kelahiranku itu, sumur satu-satunya di lingkungan kampung kami terpaksa ditutup, terdengar khabar bahwa setelah itu, sumur itu digunakan juga untuk membuang jasad-jasad yang dituduh dan dianggap sebagai pengkhianat bangsa yang tak tahu apa-apa. Orang-orang, yang aku bisa bayangkan, yang bergembira atas kelahiranku, membantu orang tuaku dengan segala keperluan adat dan ritualnya. Orang-orang yang tidak lagi sempat aku kenal.
Akulah ganti mereka, dari sumur yang sama dan menuju sumur yang sama pula. Sekedar menghilangkan dahaga pun …. hidup tak ramah ….
Karena lidahku belang …., sumur tidak lagi digunakan, orang kembali mencuci di sumber air di lereng kali di bawah jembatan, yang celakanya kadang dijadikan tempat interogasi orang lewat yang bisa berakhir dengan pembunuhan dan pembuangan di sekitar sumber air itu. Dan tak hayal menjadikan orang saling curiga ... tiap hari saling curiga.
Orok bayi laki-laki, coklat tegas, dengan tangisan yang keras, lidahnya belang, rambutnya tebal sejak dari kandungan. Mengawali kisah hidupnya. Dikeliling ketakutan besar sebesar harapan yang tersisa. Menghadapi ancaman mengerikan, seberingas keinginanya untuk menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Tepatnya sebuah dusun kecil bernama nJoyo Sempol, nama yang sudah semakin dilupakan.
Karena aku tidak memilih, maka aku yakinkan diri bahwa aku dipilih untuk hadir disitu.
Komentar