Gerakan Mahasiswa dan Kekerasan atas nama Agama

PMII - Unisma - Malang
Pertanyaan pengantar
Apakah terorisme selalu berkaitan dengan semangat keagamaan tertentu? Jawabnya tentu tidak. Tapi bagaimana menjelaskan bahwa praktek terorisme selalu memperlihatkan wajah manusia-manusia beragama, baik bagaimana hal itu dimulai maupun bagaimana kelompok lain bereaksi dan bersikap, baik yang menjadi pelaku maupun yang menjadi korba?
Terorisme nampaknya sudah menjadi semacam agama sendiri yang dalam sejarahnya menarik perhatian semua agama untuk mengakuinya sebagai bagian dari perjuangan besar dan paling penting dari agama itu. Jadi teroris itu tidak pernah beragama, tidak pernah mempromosikan agama, dan tidak pernah merupakan bagian dari ajaran agama. Namun sebaliknya, sepnjang sejarah konsep terorisme itulah yang memberi iming-iming kepada orang-orang beragama untuk menjadikannya alat agar agama tertentu lebih nampak dominan dan berperan penting dalam menyelamatkan dunia ini.
Kaitan rumit antara agama dan terorisme, lantas bagaimana gerakan mahasiswa (yang berbasis pada organisasi keagamaan tertentu) dapat memahami dan dapat dengan bijak membangun kesadaran baru, sedikit membutuhkan penelusuran tentang bagaimana agama-agama membangun sistemnya, dan kemudian membagikannya pada kerangka praktis yang diritualkan baik dalam kesadaran pemeluknya maupun dalam bentuk yang lebih fisik nyata dalam tradisi dan budayanya.
Perlu disadari bahwa ada banyak sisi yang dapat disoroti untuk melihat fenomena terorisme, terutama yang terjadi dengan menggunakan cara dan sistem yang begitu canggih dalam menghancurkan sendi-sendi dasar kemanusiaan. Saya hanya akan mengelompokkannya pada tiga persoalan mendasar dan menghubungkannya (atau tepatnya merefleksikannya) dengan praktek gerakan kemahasiswaan.
I. Ide Perang Suci
Sejauh yang bisa dilacak pada sejarah tentang munculnya ide tentang Perang Suci, ini berasal dari sebuah semangat untuk melakukan perubahan sosial, perubahan tata kehidupan agar menjadi seperti yang dikehendaki. Nah, karena perubahan itu berhadapan dengan kemandegan (semangat anti perubahan) maka secara relatif semangat perubahan menciptakan tindakan, sikap, perkataan, cerita yang menonjolkan kebenaran pada semangat perubahan dan kesalahan pada semangat anti perubahan. Dalam situasi seperti ini, entah semangat perubahan atau semangat anti perubahan yang memulainya mendesakkan idenya secara agresif, dan kemudian memancing reaksi pembelaan diri yang agresif pula, merupakan bibit awal munculnya Perang Suci.
Begitulah paradox yang terus menerus diulangi, Perang Suci selalu mengandung ingatan tentang kekejaman dan kebrutalan tapi sekaligus sebuah gagasan memperjuangkan prinsip. Selalu berjalan beriringan. Semangat perubahan itu bisa berupa pembebasan dari ketidakberdayaan dan penindasan yang keji dengan harapan terjadi situasi ideal yang dikehendaki. Ketika situasi yang ideal yang dikehendaki itu itu dimutlakkan, dianggap sebagai satu-satunya bentuk dan jalan keluar, dianggap superior dari yang sebelumnya, di mutlakkan, pada saat itulah sebenarnya Perang Suci dimulai.
Jadi ketika muncul ide tentang perubahan sosial, tentang pencapaian sebuah ideal, tentang sebuah visi pada gerakan mahasiswa misalnya, segera pada saat itulah kita perlu sensitif untuk bisa melihat getaran-getaran godaan semangat kekerasan dan bahkan perang yang lantas bisa kita legitimasi sebagai suci.
Dengan pemahaman seperti itu, dengan mudah orang akan menyetujui bahwa Revolusi besar berasal dari kemurtadan besar oleh karenanya menghasilkan semangat membabi buta membenarkan tindakan-tindakan kekerasan atas nama “kebaikan”, “kesucian”, “keselamatan”, dan lain-lain konsep konservatif keagamaan. hal ini semakin mematikan manakala ditopang dengan pemahaman bahwa sikap dan prinsip yang dimiliki adalah yang paling “asli”, murni, dan unggul. Sebuah ide sehebat apapun jika disampaikan dengan agresif akan menjadi tanah yang subur bagi munculnya sikap-sikap untuk melakukan kekerasan atas nama agama.
II. Karakter Dasar Manusia Beragama
Terdapat semacam karakteristik umum yang dimiliki masyarakat beragama yang dalam kisah pembentukannya penuh dengan kekerasan, sekalipun yang disuarakan adalah perdamaian dan cinta kasih yang penting untuk terus diinterpretasikan dengan kejujuran.
Yang pertama adalah ide tentang keselamatan. Ide dasar dari keselamatan selalu merupakan tindakan pemisahan. Karena sebuah situasi tertentu yang membuat semua manusia tidak selamat, dibutuhkanlah imaginasi tentang setidaknya ada orang-orang yang terhindar dan terlepas dari ketidakselamatan itu. Jadi ide keselamatan selalu mengandung arti adanya orang-orang yang selamat yang terpisah dari orang-orang yang tidak selamat.
Yang kedua, tradisi atau budaya selalu dikaitkan dengan superioritas. Orang yang tidak berbudaya jelas berkonotasi dianggap sebagai yang lebih rendah dari orang yang berbudaya. Peradaban diartikan sebagai keluar dari situasi kebiadaban. Dalam banyak agama narasi tentang hal ini sangat banyak dan bahkan menjadi ide bagi para peneliti untuk mengembangkan teori tentang kebudayaan. Celakanya, kadang saking superiornya sebuah kebudayaan, maka dianggap lazim orang yang tidak mau berbudaya itu dikonotasikan sebagai makhluk yang setara atau setidaknya bersekutu dengan setan.
Yang ketiga,  yang dalam cara yang sama seperti mengartikan kebudayaan dan merupakan pengembangan atas ide keselamatan adalah adanya ide tentangkesucian yang bentuknya tak lain adalah eksploitasi atas orang lain untuk tunduk pada satu kepentingan. Kesucian selalu sifatnya memaksa dan mengatur, membatasi dan mengkategori, dan tujuannya yang tidak seragam selalu dianggap sebagai ideal dari sebuah tata cara hidup beragama. Munculnya tempat suci, barang suci, dan cara-cara suci itulah yang kemudian menghasilkan tindakan-tindakan yang dilegitimasi sebagai suci.
Yang keempat, pemaknaan tentang damai yang bersifat tunggal. Artinya sebagai satu(satunya) solusi. Agama menyuarakan damai sebagai yang tunggal dan dengan begitu dengan cepat melihat bahwa tidak ada solusi lain selain yang dimiliki atau ditawarkan oleh agama tersebut. Demikianlah kata damai itu kemudian disalahartikan sebagai sebuah situasi yang satu saja bagi semuanya, sebuah keseragaman sikap, bahkan pikiran, pun termasuk pemahaman tentang yang ketunggalan yang illahi.
Berdasarkan karakter umum seperti itu, narasi agama menjelaskan tentang peran penting “manusia utama” yang harus terlibat dalam peperangan kosmik melawan si Iblis. “Aku melakukan kekerasan ini demi kebaikanmu, agar Iblis tidak berkuasa di Bumi”, begitulah kira-kira dalihnya. Melakukan kekerasan dengan konsep ini dianggap sebagai melakukan “kebaikan”, bahkan sebuah tindakan suci.
Konsep keagamaan paling rahasia sekalipun perlu terus dipertanyakan sangkut pautnya dengan kenyataan hidup manusia dan alam semesta berdasarkan akal sehat yang mampu disepakati bersama.
III. Refleksi bagi gerakan mahasiswa
Kekerasan atas nama agama sebenarnya bukan hal baru. Bagaimana kita memahaminya dan kemudian merefleksikannya itulah yang selalu relevan untuk didialogkan dan didiskusikan bersama. Oleh karena itu saya tidak menawarkan solusi-solusi, hanya ajakan untuk memikirkan lebih dalam, berkaca, dan kemudian membangun pemahaman baru agar bisa melihat dan kalau perlu memperlihatkan wajah asali agama yang tanpa kekerasan.
Setidaknya ada tiga bentuk gerakan mahasiswa yang selalu bersaing untuk memperlihatkan usaha keterlibatan mereka dalam persoalan-persoalan sosial yang dihadapi masyarakat.
Yang pertama adalah yang bersifat visioner-progresif (baik yang berbasis pada idiologi tertentu, maupun yang berbasis pada agama tertentu). Gerakan ini selalu melihat bahwa ada sistem kekuasaan (duniawi atau yang secara politis dianggap salah) yang menyengsarakan dan menghasilkan ketidakadilan, penindasan, keserakahan-kecurangan – yang dalam bahasa agama disebut sebagai situasi dosa – yang perlu dirubah dan digantikan oleh sistem yang baru yang lebih memberi pengharapan baik.
Yang kedua adalah yang berbasis pada minat, hobi, kesenangan, dan aksi-aksi konkret nyata yang memperlihatkan secara langsung perhatian mereka pada kehidupan lebih baik diri mereka sendiri atau masyarakat yang dilibatkannya pada saat itu juga. Gerakan dalam bentuk seperti ini memperlihatkan ketekunan, konsistensi, bahkan kadang totalitas pada bentuk-bentuk kegiatan tertentu yang paling mereka sukai, nyaris semacam ritual yang semakin hari semakin disempurnakan bentukanya melainkan tidak pernah berubah semangatnya.
Yang ketiga, yang sering nampak tidak jelas bentuknya adalah kategori gerakan mahasiswa yang berbasis pada nilai-nilai. Bentuk aksinya sangat fleksibel, tergantung pada saat apa dan bagaimana agar nilai-nilai yang mereka hayati dan perjuangkan tersebar dan menular kepada banyak orang. Seringkali mereka malah tidak berorganisasi sama sekali. Dari kategori gerakan mahasiswa seperti ini, semangat penting yang bisa dilihat adalah adanya orang-orang yang semata membangun diri dengan nilai-nilai tertentu, yang terbuka bergerak bersama siapa saja yang memperjuangkan nilai yang sama, dan terus menerus menguji nilai-nilai itu bagi dirinya sendiri.
Penggunaan secara bersama-sama kombinasi dari ketiga bentuk gerakan ini akan memberikan kekuatan perubahan yang luar biasa baik pada mahasiswa sendiri maupun pada masyarakat. Nah, jika kita tahu bahwa apa yang selama ini terjadi dalam kehidupan mahasiswa melalui gerakan-gerakannya bisa memberi pengaruh yang luar biasa, maka tinggal kita bayangkan sekarang bagaimana agar ketiga bentuk itu bersinergi bersama.
Karena gerakan revolusioner-progresif akan kehilangan penggemarnya ketika tidak didukung oleh tindakan nyata yang relevan dan menjadi berbahaya jika tidak didasari pada nilai-nilai keutamaan hidup manusia bersama alam dan bersama Tuhan.

Komentar

Postingan Populer