DESIMBOLISASI NATAL
Dapatkah kita menikmati Natal tanpa sensasi simbolisme dan dramatisasi yang semakin lama semakin disadari justru mengaburkan pesan terpenting dari peristiwa kelahiran Yesus itu sendiri?
Karena kita sebagai masyarakat yang sudah terbiasa dengan simbolisasi, apalagi yang dikaitkan dengan pesan dan makna keagamaan, pastilah tidak bisa begitu saja menerima simbolisasi dari konteks masyarakat dan budaya yang berbeda. Namun tentu hal ini juga sekaligus menginsyaratkan bahwa kekayaan simbolisasi yang kita miliki dapat digunakan sebagai matra dan medium untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai keagamaan-moralitas-pengetahuan yang berasal dari manapun. Itulah yang patut disyukuri oleh masyarakat yang tidak gampang tercengang dan menjadi kebingungan ketika harus membaca pesan nilai dibalik simbolisasi-simbolisasi tertentu. Untuk itulah saya mengusulkan langkah-langkah dibawah ini untuk mengembalikan pesan Natal tanpa tekanan sensasi dramatisasi pada sesuatu yang sebenarnya disadari sebagai simbolisasi.
Jujur pada Narasi
Sejak dari sumber-sumber awal yang diabadikan tertulis dalam Alkitab, peristiwa kelahiran Yesus atau yang dirayakan sebagai Kisah Natal disadari terbangun dari imaginasi kreatif banyak orang yang memiliki memori baik tentang kebesaran Tuhan nenek moyang di masa lalu maupun kepercayaan kuat akan hadirnya sang mesias-penyelamat dimasa yang akan datang penuh dengan kuasa roh.
Kreatifitas mengkaitkan sebuah peristiwa kelahiran dengan sebuah kebesaran yang selalu dihormati dan dijunjung tinggi di masa lalu dan sebuah harapan di masa depan selalu merupakan gejala umum dalam banyak tradisi di dunia. Beraneka macam bentuknya, namun selalu bisa dibaca memberi pesan penting keterikatan sebuah generasi budaya tertentu pada budaya nenek moyangnya yang dicoba dikisahkan ulang dalam bentuk yang relevan dengan kebutuhan komunitas yang bersangkutan menghadapi jamannya.
Contoh paling sederhananya tentulah ketika pemberian nama dilakukan kepada seseorang. Semua orang tahu penyebutan “Putra Tegal” dengan penuh kesadaran bahwa Tegal bukanlah seorang perempuan yang bisa melahirkan. Dan seorang anak yang dilahirkan oleh sebuah kota, tentulah terlalu aneh kalau dipercaya sebagai data sejarah. Kisah kelahiran selalu unik dan memberikan, atau bisa menggabungkan banyak kisah yang dipusatkan pada peristiwa kelahiran itu. Peristiwa nyata kelahiran seorang anak manusia bisa menghadirkan kisah besar yang selalu bermakna bagi banyak orang. Sederhananya, peristiwa kelahirannya pastilah benar, namun segala kisah yang ditempelkan pada peristiwa tersebut tentu harus kita tafsirkan dengan cara pikir yang sehat. Paling tidak janganlah dilihat sebagai seolah-olah benar-benar historis terjadi persis seperti yang diceritakan.
Demikianlah yang terjadi pada peristiwa kelahiran Yesus. Benar memang ada peristiwa kelahiran seorang bayi yang bernama Yesus, dari seorang perempuan bernama Maria, didampingi seseorang lelaki (yang khabarnya adalah tunangan Maria – bernama Yusuf). Namun kisah-kisah lain yang menempel pada peristiwa kelahiran itu, yang kadang lebih menjadi perhatian ketika Natal tiba, tentu bisa, boleh dan bahkan perlu dipertanyakan. Setidaknya diteliti bagaimana kisah-kisah besar lainnya itu kok sekonyong-konyong melekat dan seolah-olah bersamaan, atau bahkan nyaris nampak menjadi bagian dari peristiwa kelahiran Yesus. Peristiwa kelahiran Yesus cukup jelas, namun drama besar yang menyertainya membutuhkan penjelasan dengan kejujuran narasinya. Ini penting, agar tiap tahun kita tidak terus menerus dipaksakan mengkonsumsi konstruksi drama natal yang itu-itu saja, sampai-sampai mengaburkan pentingnya peristiwa sederhana kehadiran sang anak manusia.
Menghargai penutur dengan tulus
Namun, pertama-tama patutlah dihargai usaha-usaha kreatif dari para penutur Injil yang dengan indah dan tawaran makna mendalam memberikan deskripsi dramatis atas kelahiran Yesus itu. Kita sebagai pembaca tentu tidaklah merendahkan usaha-usaha kreatif itu jika melihatnya secara terpisah dengan cara yang masuk akal. Tidak pula merendahkan Alkitab sebagai sumber khabar sukacita tentang kasih Allah atas seluruh manusia dan bahkan seluruh ciptaan.
Para penutur tentu adalah manusia biasa yang hidup dalam tradisi dan budaya yang mereka hidupi. Dalam sebuah sistem kepercayaan yang mereka imani, dan yang pasti dengan sistem simbol yang mempengaruhi cara mereka menuturkan. Mereka bukanlah ahli sejarah, bukan arkeolog, apalagi teolog seperti yang bisa kita temui di jaman sekarang. Jadi kreatifitas mereka perlu dihargai secara holitis dengan cara menghargai pula siapa mereka dalam jaman mereka hidup.
Kisah-kisah yang berasal dari kreatifitas para penutur itu diantaranya adalah tentang adanya “Bintang Timur” yang tepat bersinar dan menunjuk pada lokasi kelahiran Yesus. Adanya sensus penduduk pertama di dunia, termasuk rangkaian cerita yang menjelaskannya dan membuktikan adanya garis keturunan Yesus dengan Daud melalui jalur Yusuf (yang hanya seorang tunangan saja?). Adanya tiga Orang Bijak dari Timur yang digambarkan telah mengelana jauh agar berjumpa dan bersimpuh mempersembahkan keagungan pada sang bayi Yesus. Adanya paduan suara para malaikat yang membuat kaget para penjaga hewan di padang belantara. Termasuk kisah yang paling kreatif yang mencoba meyakinkan logika sejarah tentang adanya kelahiran seorang bayi dari seorang perawan.
Sekali lagi kisah-kisah indah ini perlu kita hargai sebagai kreatifitas yang sesungguhnya bertujuan hendak memperlihatkan betapa luar biasanya sosok bayi yang baru lahir ini. Dengan kata lain, bukan kisah-kisah kreatif itu semua yang luar biasa, tetapi kelahiran seorang anak manusia itulah yang luar biasa. Begitu luar biasanya hingga layak ditaburi dengan beragam kisah indah untuk menyambut dan mengiring kelahirannya. Itulah bayi Yesus yang perlu kita jumpai. Seorang anak manusia yang bahkan segala simbolisasi keagungan layak untuk disematkan pada dirinya.
Rekontekstualisasi
Cerita-cerita yang dilekatkan pada peristiwa historis kelahiran Yesus bukan hanya usaha kreatif untuk menegaskan bahwa seorang bayi yang lahir adalah anak manusia yang luar biasa, cerita-cerita itu juga merupakan usaha penting para sahabat (murid-murid) yang adalah orang-orang Yahudi untuk mengkontekstualisasi iman kepercayaannya dalam sebuah situasi baru dan terkini yang mereka jumpai (yaitu kelahiran Yesus).
Dalam Injil-injil sendiri hal itu sangat ditegaskan, terutama ketika melihat kalimat semisal “…supaya genaplah Firman yang disampaikan oleh Nabi …”. Jadi ketika para penutur Injil hendak menceritakan kembali bagaimana peristiwa kelahiran Yesus terjadi, ingatannya tentang iman percaya, tradisi dan budaya mereka berperan sangat besar. Dan karena mereka telah melihat bagaimana hidup Yesus, lantas dengan refleksi yang serius mereka menggambarkan peristiwa kelahiran itu dengan dramatis dalam satu semangat “supaya genaplah …“.
Inilah model kontekstualisasi awal yang sangat memberi pengaruh besar pada kekristenan. Jadi jika muncul penafsiran yang mempertentangkan Kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama seolah ada perbedaan besar, kita perlu berpikir ulang. Karena banyak konstruksi kisah dan pesan di dalam Perjanjian Baru sebenarnya adalah usaha rekontekstualisasi pesan dan ajaran dari perjanjian lama. Termasuk kisah-kisah di sekitar peristiwa kelahiran Yesus sebenarnya adalah usaha agar harapan besar para Nabi akan hadirnya anak manusia tetap hidup dan bahkan dihidupkan dalam diri Yesus sendiri.
Ketika menuliskan peristiwa kelahiran, terjadi rekonstruksi dan pengembangan yang amat penting dalam iman orang-orang yang berjumpa dengan Yesus mula-mula, sebuah pendewasaan diri, yang mampu dengan arif terus meluaskan pemahaman dan penjelasan iman keYahudian mereka dalam memberi kesaksian tentang identitas Yesus. Dengan kata lain, kelahiran seorang anak manusia bernama Yesus itu dimanfaatkan untuk terus memelihara pesan-pesan para Nabi dalam sebuah sistem eksplanasi yang baru, mungkin agar tidak lagi berpusat pada sebuah suku bangsa melainkan berpusat pada sosok seorang manusia, mungkin agar pesan itu tidak lagi dikuasai oleh para penguasa agama Yahudi melainkan menjadi milik orang kebanyakan sebagaimana Yesus yang juga adalah orang kebanyakan.
Para penulis kitab Perjanjian Baru, tak terkecuali Paulus yang berlatarbelakang Yunani-Romawi nampaknya sudah hafal benar bahwa ketika muncul orang yang bisa mereka identifikasi sebagai sosok seperti yang digambarkan oleh tradisi kepercayaan Yahudi, tentu ada peristiwa-peristiwa besar seperti yang digambarkan oleh para Nabi. Bahkan – dalam kasus Yohanes dan Paulus – tradisi kepercayaan itu dapat didialogkan dengan sistem filsafat yang tidak berasal dari kalangan masyarakat Yahudi dengan tetap menempatkan Yesus sebagai tokoh sentralnya.
Jadi sama seperti tradisi kepercayaan kuno yang dimiliki oleh bangsa Israel itu sepanjang perjalanan sejarah hidup bangsa tersebut terus dikontekstualisasikan, demikianlah untuk mengagungkan peristiwa kelahiran Yesus, ajaran kepercayaan yang sudah terbentuk itu direkontekstualisasikan kembali dengan cara yang khas. Nampaklah bahwa keterbukaan semangat kontekstualisasi tidak terbatasi pada bentuk penyesuaian dan apalagi penggunaan alat-alat budaya yang cocok saja, melainkan sebuah usaha utuh mengembangkan wawasan beriman yang tetap menghormati tradisi melainkan juga mengembangkannya sesuai dengan konteks hidup masyarakat pada jamannya.
Simbolisasi pada keagungan dan apalagi dapat diwujudkan dalam drama yang indah tentu sangatlah membantu romantisme dan pembangunan emosi tertentu. Namun semua orang tentu tahu bahwa bukanlah simbol-simbol itulah intinya yang lantas perlu dipercaya dan di teologisasi sedemikian rupa. Pesan dasarnyalah yang penting, karena pesan dasar itulah yang menghasilkan atau mengingatkan orang pada simbol-simbol indah tersebut.
Fokus pada Pesan
Maka jika kita fokus pada pesan inti dari peristiwa kelahiran seseorang yang dialami oleh banyak saksi sebagai orang yang luar biasa baik dalam tindakan maupun perkataannya, maka simbolisasi dan dramatisasi yang dituturkan menjadi pesan tersendiri. Yaitu sebuah pertanyaan, orang macam apakah Yesus itu sehingga seluruh narasi kepercayaan nenek moyang yang begitu panjang itu tidak hanya direkontekstualisasi namun juga bisa direformasi hingga menghasilkan sebuah “perjumpaan” yang akrab antara Tuhan dan manusia?
Pengalaman para saksi yang terus dikisahkan, dikhabarkan, dan lantas dituturkan dalam bahasa tulisan adalah sebuah proses panjang dalam mengidentifikasi tidak hanya seorang tokoh yang mereka kagumi melainkan juga seorang manusia yang perbuatan dan karya hidupnya begitu berpengaruh dalam hidup mereka. Jejak panjang yang perlu dilihat sebagai keterkaitan semangat, semacam gairah hidup yang baru, dalam suasana yang baru, dalam pemahaman tentang agama dan budaya yang baru, bahkan dalam cara pandang terhadap dunia semesta manusia dan Tuhan yang baru. Kuatnya semangat itulah pesan terpenting kehadiran Yesus di dunia ini.
Gambaran teologi dari atas, ide teisme – dalam konstruksi primitif yang mengatasi ketidakberdayaan dan keterbatasan pikir manusia atas segala gejala alam semesta, bahkan idiologi keberpihakan Tuhan yang terbatas hanya pada satu jenis kaum, melalui penuturan simbolis dan dramatis yang ditempatkan pada peristiwa kelahiran Yesus memperlihatkan adanya kesadaran besar dalam model beragama. Sekarang hal itu disingkapkan tidak melalui peristiwa yang sepenuhnya rekayasa dan intervensi dari yang illahi namun dengan penuh kesadaran berasal dari kesadaran dan semangat hidup baru manusia. Manusia menjadi ciptaan baru adalah juga termasuk ketika ia memahami perubahan semangat baru dalam relasinya dengan Tuhan. Begitulah pesan besar yang juga ditawarkan oleh peristiwa kelahiran Yesus.
Yang terakhir tentu yang berkaitan dengan terpenuhinya apa yang selama turun temurun menjadi kerinduan bangsa-bangsa, yaitu hadirnya sang mesias penyelamat bumi. menghubungkan peristiwa kelahiran Yesus dengan harapan seperti ini memberi pesan agar harapan itu diwujudkan, dijalani, dijadikan laku hidup dan tidak lagi hanya dijadikan sekedar utopia apalagi kalau dengan gambaran muram gelap menjadi distopia.
Dalam konteks lokal di Indonesia tentulah kita patut bersyukur telah dikaruniai sistem simbol yang begitu lengkap dan kaya. Tentu tidak hanya bagaimana simbolisme kelahiran dalam perspektif lokal saja yang bisa kita manfaatkan untuk menjumpakan dua tradisi yang berbeda, namun yang terutama adalah bagaimana agar pesan penting Natal itu dapat bersuara dan makin bermakna melalui simbolisme dan dramatisasi yang pemaknaannya lekat dengan konteks kita sendiri.
Nilai-nilai terpenting narasi Natal atau bahkan keseluruhan Alkitab memang merupakan hadiah sejarah terhadap identitas kekristenan. Melaluinyalah iman kepercayaan orang kristen dibangun dan dikembangkan. Begitulah kiranya kita dapat terus tetap berpegang dan fokus pada nilai-nilai sebagai pesan penting jika kita memiliki keberanian sebagaimana orang-orang yang memiliki pengalaman hidup bersama Yesus untuk merekontekstualisasi, merekonstruksi, bahkan dengan terbuka memanfaatkan segala bentuk perjumpaan kita dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan keragaman budaya dan bahasa yang ada untuk menjadi saksi-saksi baru bagi kelahiran Yesus.
Menawarkannya untuk dirayakan bersama
Dalam perkembangan agama-agama hingga melampuai masa pasca modern ini, nampak bahwa – sekalipun selalu menjadi polemik – ide theisme masih cukup disukai oleh banyak orang. Sekalipun bersusah payah menghubungkannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ide theisme juga menemukan bentuk penafsirannya yang paling luas dan holistik. Ini tentu adalah peluang yang menjanjikan bagi simbolisme Natal untuk tidak lagi dijadikan dogmatisasi identitas kekristenan.
Dengan semakin canggihnya manajemen kapitalisasi dan komersialisasi identitas diri seseorang, terutama yang memanfaatkan sentimen keagamaan, memperlihatkan bahwa sudah waktunya simbolisme dan dramatisasi Natal disederhanakan lagi kembali kepada semangat awalnya yaitu agar yang mendengar dan menyaksikannya menemukan kesempatan menjadi manusia baru yang tidak lagi tunduk pada sentimen egoistik penguasaan, kepemilikan, dan peniruan gengsi semata.
Pluralisme semakin disadari oleh generasi baru bangsa ini, sekalipun kondisi alamiah seperti ini masih membuat beberapa kelompok tergagap-gagap untuk menghubungkannya dengan sistem keagamaan yang dibangunnya di dalam gereja. Oleh karena itu, jika Natal ingin bisa benar-benar menjadi perayaan bersama yang terbuka bagi semua orang, tentu ada kesempatan baik yaitu dengan cara melepaskan beban simbolisme dan dramatisasinya, lantas dengan terbuka memberikan kesempatan bagi siapapun untuk menginterpretasi peristiwa kelahiran macam apakah yang terbaik yang bisa dikisahkan bagi seseorang yang praksis hidupnya telah mampu merubah kehidupan banyak orang disekelilingnya dengan nilai-nilai baru kehidupan yang utuh menjadi manusia.
[Sambil membayangkan menikmati Tari Golek dan Tari topeng Sabrang yang ditarikan oleh tiga orang – di malam yang penuh bintang sehabis hujan bersama para sahabat].
Komentar