“Agama-agama Kitab”

Mempertimbangkan Pemikiran Cannon tentang 6 cara Beragama
Dalam Dialog Islam-Kristen
  1. Pendahuluan
cannonDiantara berbagai macam unsur penting keagamaan modern, peranan kitab suci sehubungan dengan praktek dan penghayatan beragama masih sangat besar. Terkadang malah dilihat sebagai sentralitas simbolis sarana pemahaman manusia mengenai yang Mutlak. Memang diakui bahwa ultimate reality lebih besar, lebih luas daripada deskripsi kitab suci yang terbatas dan relatif memiliki kekeliruan. Namun karena pentingnya kitab suci, tidak heran jika kadangkala orang membedakan agama berkitab dan tidak. Atau maksudnya tidak berkitab adalah tidak terikat oleh sebuah teks tradisional yang diperlakukan kekal. Tingkat intensitas simbolis terhadap kitab sangat beragam. Intensitas simbolis itu berkaitan dengan sejarah agama itu sendiri, proses terjadinya, dan metode penjelasan yang dipergunakan oleh orang-orang yang memiliki wibawa dan kredibilitas menentukan hal itu. Oleh karenanya, persoalan hermeneutik menjadi hal yang penting jika melakukan dialog antar agama kitab. Dalam prakteknya, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian teks dalam alkitab juga mengalami perlakuan yang berbeda. Dari yang melihatnya dengan cara yang sangat radikal berdasarkan kategorisasi objektif, hingga praktek perdukunan yang menjadikannya alat paling penting dalam prakteknya.
Tipologi yang ditawarkan Cannon begitu luas dalam melihat seluruh aspek dalam cara beragama. Tipologi sebanyak dan seluas itu menjadi sangat sulit untuk dijadikan alat ukur (indikator) dalam mendiskripsikan cara beragama tertentu. Apalagi diungkapkan bahwa praktek agama yang ada diharapkan tidak dilihat sebagai tunggal melainkan berada dalam seluruh tipe. Hal-hal ini menyulitkan saya untuk melihat dengan jernih pada bagian manakah kecenderungan keagamaan saya. Karena dengan melihat praktek khusus agama melalui sebuah abstraksi akan dengan mudah menimbulkan kemungkinan kesalahan tujuan.
Dalam kenyataannya ada banyak aspek yang bisa dikelompokkan sebagai praktek agama. Untuk itu saya membatasi diri pertama-tama pada bagaimana praktek saya dalam hal memposisikan Alkitab sebagai salah satu unsur yang memiliki peranan penting dalam praktek keagamaan saya. Tentu hal ini akan sedikit meluas, namun konsekwensi itu akan dibatasi pada epistemologi dibalik posisi yang saya ambil dan kondisi ideal psikologi seseorang atau kedewasaan seseorang. Dan untuk itu mitra dialog yang akan menemani saya adalah teman muslim yang dengan terbuka mau menilai atau terbuka terhadap praktek-praktek agamanya. Pilihan ini agak sulit mengingat posisi Kristen – Islam dalam hal Kitab agak sedikit bertolak belakang secara praktis. Misalnya tentang penggunaan bahasa, cara pembacaan, cara perlakuan praktis, posisinya dalam hubungan antara manusia dengan ultimate reality dan sebagainya. Oleh karenanya jika dalam evaluasi penulisan ini nampak tanda-tanda yang tidak netral, hal itu semata-mata karena penulis memiliki perspektif yang tidak dipungkiri berbeda dengan mitra dialog.
  1. Enam cara Cannon dalam praktek.
Jika hanya melihat pada kecenderungan apa yang saya miliki dalam mempraktekkan agama, maka akan muncul pertanyaan besar. Dalam hal apakah kecenderungan itu nampak secara praktis? Seumpama saya ungkapkan bahwa kecenderungan saya dalam hal beragama adalah cara pencarian mistik, apakah praktek yang saya lakukan yang mengindikasikan hal itu? Toh pada akhirnya mendekati, mendeskripsikan, memahami dan mengalami perjuampaan ultimate reality menggunakan bentuk tertentu dan sekaligus berada dalam wahana tertentu pula. Karena kebaikan yang khas dan keunggulan praktek dalam cara pencarian mistik pada dasarnya tetap berangkat dari sebuah tradisi tertentu. Untuk itulah saya mencoba untuk melihat betuk praktek beragama dalam wahana yang praktis, utuh dan spesifik baru kemudian memeriksanya dengan tipologi Cannon untuk sampai pada kesadaran cara manakah yang sebenarnya dominan dalam cara beragama saya.
Dalam prakteknya cara keagamaan banyak berkaitan dengan kitab suci yang pengaruhnya nampak dalam cara beragama yang dapat dilihat melalui seluruh/keenam tipologi. Penggunaan Kitab suci melibatkan penelitian akal untuk dapat menemukan bentuk hubungan, deskripsi, definisi atau gambaran tentang ultimate reality. Dalam hal inilah permasalahan explanasi menjadi penting. Jadi benar bahwa yang diupayakan untuk dijelaskan adalah ultimate reality dalam bentuk cara penelitian akal, namun cara penelitian akal itu secara tradisional mau-tidak-mau akan melibatkan atau melalui wahana kitab suci. Namun, bukan berarti Kitab suci hanya bagian dari penelitian akal, ia juga menempati posisi yang penting dalam ritus suci. Segala inspirasi, model dan kerangka acuan praktek ritus suci tidak dengan sembarangan muncul. Ia berasal dari sebuah tradisi dan di dalamnya keterlibatan kitab suci cukup besar. Demikianlah Kitab Suci juga menginspirasikan cara Perbuatan Benar, menolong untuk menemukan contoh-­contoh ketaatan, memberi kredibilitas pada cara mediasi samanik dan berfungsi sebagai petunjuk bagi pencarian mistik.
Sebagaimana diskripsi dasar bahwa ada usaha rasional untuk mendapatkan bagian pengetahuan mutlak dengan pengandaian adanya akal mutlak dan dalam tujuannya untuk mencapai ultimate reality, Kitab suci akhirnya juga cenderung berfungsi sebagai teks/buku mutlak. Hal ini menimbulkan problemexegese yang cukup rumit dan berkepanjangan. Dalam prakteknya kitab suci lebih sering digunakan tidak dalam pengertian sebagai ultimate text, misalnya dalam kotbah, karena bersamaan dalam acara itu diakui adanya ultimate tex dibalik kitab suci.
Mitra dialog saya juga mengutarakan bahwa dalam Islam juga sering dijumpai persoalan yang sama. Di satu sisi ada kesadaran bahwa ultimate reality tidak memadai untuk hanya didiskripsikan oleh sebuah tex, namun di sisi yang lain tex adalah sarana utamanya. Tex dan orang yang membaca tex terlibat secara bersama untuk menemukan ultimate text. Jadi kitab suci disebut mengandung unsur transenden karena bentuknya adalah ultimate text.
Dan contoh ini kami (saya dan teman dialog saya) menyadari bahwa posisi penting kitab suci adalah wahana yang tidak hanya mempengaruhi cara beragama namun kadangkala juga menentukannya. Saya menjadi kristen lebih banyak ditentukan dari identifikasi saya pada kohesi organisasional saya dan kitab yang saya baca. Saya tidak menjadi kristen karena membaca Al’Quran. Sungguhpun begitu kami juga melihat bahwa enam cara tetap bisa ditempuh dengan atau tanpa kitab suci untuk mencapai ultimate reality.
  1. Kecenderungan Dominan cara beragama
Ada pepatah jawa yang berbunyi “agama ageming ati” yang agak umum dipakai sebagai ungkapan tentang status keberagamaan seseorang. Artinya, beragama adalah kondisi lengkap, sempurna, dan tidak memalukan. Lengkap dapat dipahami sebagai kedewasaan seseorang. Sempurna mengandung arti tujuan yang tercapai. Tidak memalukan dalam arti kontrol terhadap kecenderungan tidak terbatas manusia. Sebagai seorang Jawa, pepatah ini memiliki arti yang besar dalam kehidupan saya.
Kalau dipertanyakan mengenai kecenderungan apakah yang paling dominan dalam praktek beragama saya, maka secara spontan saya lebih senang dengan cara pencarian mistik. Namun dalam prakteknya cara pencarian mistik yang saya jalani sulit untuk dikategorikan dalam tipe yang diungkapkan Cannon. Atau mungkin perlu dipertanyakan dulu kategorisasi mistik apakah yang digunakan oleh Cannon. Ekstase religius yang meditatif misalnya, dalam bahasa Jawa “tapa” tidak melulu dikategorikan sebagai cara mengambil jarak dari keramaian untuk hidup sepi sendiri di tengah hutan. Ada istilah “tapa ngrame“. Meditasi justru dilakukan ditengah hiruk pikuk keramaian. Meskipun perlu diakui bahwa ada banyak bentuk praktek mistik Jawa masuk dalam kategori Cannon, perlu pula dipahami bahwa wujud akhir dari mistik jawa adalah kesatuan antara pribadi seseorang dengan ultimate reality.
Karena cara mistik amat populer di Indonesia, dengan cara yang sedikit berbeda mitra
dialog saya mengungkapkan bahwa kecenderungan dominannya juga cara pencarian mistik. Dia melihat bahwa usaha manusia datang bersamaan dengan takdirnya. Pengalaman bersatu dengan yang illahi itulah yang berada di balik segala prakteknya menjalani semua aturan agamanya. Bentuk praktis seperti shalat, zakat, haji adalah wahana (sekali lagi) untuk bersatu dengan yang illahi. Pada akhirnya kesatuan dengan yang illahi itu nampak dalam praktek yang lebih sempurna, seperti nampak dalam diri para pemimpin agama yang telah berhasil mengekang hawa nafsu, hidup sempurna dan seimbang dalam berpikir.
Perlu disadari bahwa praktek dan pengalaman menyatu dengan yang illahi tidak muncul begitu saja. Ada proses yang cukup panjang yang dalam kategori Cannon mungkin akan nampak berbentuk hirarkis. Tipologi Cannon secara keseluruhan berurutan secara hirarkhis dan yang satu merupakan prasyarat dari yang lain hingga sampai pada puncaknya.
Cara ritus suci adalah yang paling awal dan menjadi prasyarat pertama, karena sebelum lahirpun seseorang sudah diperhadapkan pada cara ini. Hal ini nampak misalnya dalam upacara-upacara permohonan berkah bagi bayi yang belum lahir. Cara ritus suci juga adalah yang paling mudah dijalani oleh semua orang. Orang tidak usah sungguh-sungguh punya kesadaran beragamapun dapat terlibat dalam cara ini. Cara yang lebih melengkapi cara ritus suci adalah jika orang sudah mulai mau belajar tentang seluk beluk agama secara lebih serius, keterikatannya dengan kelompok sudah semakin kuat. Inilah carapenelitian akal. Selanjutnya cara perbuatan benar bisa dilakukan jika seseorang telah cukup memiliki episteme yang memadahi. Oleh karenanya orang yang berbuat salah mula-mula dianggap orang yang tidak tahu atau kurang pengetahuannya. Orang yang tahu dengan memadai pasti menjaga epistemenya itu tetap berada dalam kesadaran dan praktek perbuatannya, dalam langkah inilah diperlukan cara ketaatan. Orang yang taat juga akan belajar menjadi orang yang memiliki harmoni dengan alam. Jika harmoni itu dilatih dan dikembangkan dengan kreatif ia akan menjadi kekuatan supranatural bagi seseorang untuk dapat mempraktekkan perdukunan. Dalam beberapa upacara ada pengujian terhadap hal ini. Praktek perdukunan masih berada dalam keadaan yang rawan karena bisa berupa praktek negatif. Oleh karena itu harmoni yang paling sempurna adalah dalam pencarian mistik.
Hal-hal di atas adalah upaya singkat saya menjelaskan bahwa tipology Cannon dalam cara tertentu bisa bersifat hirarkhis. Mungkin dalam tradisi yang berbeda bentuknya tidak tepat seperti itu, tapi cukuplah hal ini menunjukkan bahwa cara beragama selalu berada dalam jalinan kompleksitas cara-cara. Bahkan bisa dilihat bahwa cara-cara seringkali tidak bersesuaian dengan motivasi yang mendasarinya. Motifasi mistik tidak selalu terwujud dalam praktek esketik. Dalam praktek yang saya jalani, motifasi mistik mendorong saya untuk melihat keseluruhan hakikat realitas dengan cara akal.
  1. Penutup
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa kecenderungan dominan sadar atau tidak sadar adalah refleksi dari idealisme seseorang terhadap cara beragamanya. Kecenderungan dominan saya pada cara pencarian mistik adalah refleksi ideal saya yang operatif bagi kepribadian saya. Jadi sejauh ini model abstraksi yang ditawarkan Cannon menolong untuk memberikan batasan dan identifikasi terhadap fenomena agama yang paradoxal. Di awal tulisan ini saya sebutkan mengenai pentingnya posisi kitab suci. Dengan melihat bahwa kecenderungan dominan seseorang adalah refleksi idealnya maka selain kitab suci ada banyak unsur lain yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi pemikiran Cannon mengenai enam cara beragama. Seandainya saya berdoa di makam nenek moyang saya dengan doa yang saya kenal yaitu doa Bapa Kami, saya tentu akan bertanya-tanya cara apakah yang sedang saya praktekkan ini. Ritus suci? Tentu tidak, tapi iya juga.

Komentar

Postingan Populer