Singhasari & Kultur Toleransi
Latar Belakang
Sejak Sri Erlangga (990-1049) raja Kahuripan tercerita menjadi panutan penting bagi kehidupan masyarakat, baik dalam hal spiritualitas, kearifan etis, dan kebesaran hatinya menerima dan mengakui perbedaan ekspresi religius, masyarakat Jawa membangun dirinya dengan cara yang sama sekali baru. Masa dimana kontekstualisasi epik klasik Asia bagian Selatan Mahabaratharajin dilakukan diberbagai wilayah. Dan bentuk paling dasyatnya terlacak rapi dalam Kitab Arjunawiwaha.
Hasilnya dalam konteks Jawa: Budak dianggap penistaan kemanusiaan. Pembagian strata sosial dan kasta terus menerus dipertanyakan dan tak jarang juga digugat keabsahan dan fungsi positifnya bagi masyarakat. Bahkan sistem kekuasaan dipergunjingkan dalam perbincangan di tengah sawah, di sela-sela perburuan, dan di pasar-pasar. Uniknya, hal ini bahkan didukung oleh keberadaan beragam pertapaan-pertapaan sebagai pusat-pusat intelektualitas-religius-kultural yang diakui, dilindungi, dan dijamin oleh sang penguasa sebagai tempat untuk menciptakan pemimpin masa depan yang semakin berwawasan holistik.
Dari segi ekonomi, pertanian digalakkan dan mendapat subsidi dari sang penguasa berupa pembebasan pajak, penyediaan saluran irigasi, bangunan bendungan dan kanal-kanal pencegah banjir, serta -tidak hanya penunjukan area-area tertentu sebagai suporting system nya seperti hutan lindung, jaminan air bersih, dan jalan-jalan raya – namun juga bentuk-bentuk sakralisasi atasnya. Pelabuhan disediakan untuk tujuan perdagangan lintas pulau bahkan manca negara. Keterbukaan wawasan memang membutuhkan prasarana untuk berjumpa dengan semakin banyak ragam manusia yang berbeda yang berasal dari tanah, ras, bahasa, tradisi, dan sistem kepercayaan yang berbeda.
Demikianlah yang tersimpan dalam ingatan masyarakat Singhasari ketika mereka hendak membangun diri menjadi sebuah kerajaan. Perlu adanya pemimpin yang berilmu dan berwawasan kearifan melampaui kelompok-kelompok, pemimpin yang berorientasi pada tujuan penting menyejahterakan keamanan dan ketentraman rakyatnya. Salah satu yang ada dalam impian itu adalah ide tentang toleransi atau lebih tepatnya ide tentang masyarakat multikultural-multireligius.
Konsep tentang Sistem Kepercayaan
Entah sejak kapan, perbedaan sistem dan praktek kepercayaan seseorang atau kelompok orang menjadi persoalan yang selalu merongrong dan mengganggu sebuah pemerintahan. Kebesaran nama Sri Erlangga pada jaman Singhasari nampaknya memberikan jejak-jejak pemahaman yang menarik untuk dikaji dan sekaligus inspirasi untuk meletakkan dasar-dasar kesadaran multikulturalisme dalam masyarakat.
Berkaitan dengan sistem dan cara sebuah kepercayaan itu, pada jaman Singhasari, bahkan rakyat biasapun bisa dengan sangat mudah melihat dan menandai bahwa praktek ritualistik dalam sebuah upaya pelanggengan sebuah sistem moral tertentu bisa beragam – beraneka warna dan cara – yang tidak saling mengancam dan mengklaim keabsahannya. Demikian juga, bahwa praktek yang beragam untuk memperlihatkan idealisme terhadap sistem moral, bisa berasal dari satu konsep tentang kepatuhan terhadap dewa tertentu.
Kemanunggalan adalah konsep penting yang dengan tegas menjabarkan penghormatan pada asal dan selera yang berbeda dari tiap manusia yang menemukan kebersamaan sikap; tak lain adalah sikap saling menghargai perbedaan itu sendiri. Sebagaimana kemanunggalan Arjuna dalam laku diri menemukan kebahagiaan pribadi, kemanunggalannya bersama para dewata mengakhiri angkara murka, dan bahkan kemanunggalannya bersama manusia lain – makhluk lain – binatang tumbuhan semesta – yang bersifat kosmik-etis.
Mereka mengembangkan konsep tentang Agama,Igama, dan Ugama sebagai bagian-bagian atau tipologi dari sistem dan praktek beragama. Dengan konsepsi ini masyarakat sangat tertolong untuk menyadari bahwa perbedaan dalam sistem dan cara dalam kepercayaan adalah hal yang lumrah. Hal yang lumrah ini bahkan dianggap baik untuk didiskusikan dan didialogkan, juga dijadikan semangat baru untuk menjaga dan memperkokoh kekuatan sebuah kerajaan.
Dalam Novelnya Arok Dedes, Pramoedya (1925-2006) menggambarkan dengan tegas bagaimana ketiga cara memahami sistem kepercayaan seseorang atau kelompok. “Agama, (adalah) peraturan timbal balik antara kawula dan raja, Igama (adalah) peraturan timbal balik antara para dewa dan manusia, dan Ugama (adalah) peraturan yang berlaku antar sesama manusia.” (Pramoedya, 2006). Dalam alur cerita dimana ketiga istilah itu digunakan seluruhnya berbicara seputar sistem dan cara sebuah kepercayaan yang ada pada sebuah kelompok masyarakat.
Agama sebagai sistem ritual (tipe pertama)
Dari apa yang coba dituturkan oleh Pramudya dalam novelnya, yang disebut sebagai Agama lebih merupakan praktek-praktek ritual yang dikembangkan oleh komunitas-komunitas religius. Mengapa hal ini berkaitan dengan hubungannya dengan seorang raja adalah karena raja dijunjung dan dihormati sebagai representasi paling nyata dari dewa.
Konsentrasi sebuah ritual tidak hanya tertuju pada spiritualitas namun juga bersifat politis. oleh karenanya penyelenggaraan ritual-ritual besar langsung berkaitan dengan daur hidup seorang raja, pangeran, kehadiran permaisuri, atau bahkan pesta tertentu yang berasal dari permintaan seorang raja.
Ritual menjadi perayaan bersama yang bisa dinikmati dan diapresiasi bersama, sekalipun bentuk ritual itu tidak dipraktekkan oleh seluruh anggota masyarakat. Demikianlah seringkali muncul perdebatan historiografis terhadap Agama yang dianut oleh seorang raja tertentu. Misalnya, apakah agama Sri Erlangga? Apakah dia Budhist, Sivaist, Hindhu, Budhist-Tantrist, atau Brahmaist? Jelas kita akan mengalami kesulitan untuk memastikannya hanya berdasar pada peninggalan-peninggalan prasasti yang ada.
Dalam satu upacara seorang raja bisa atau tepatnya menghargai dan menerima sebuah ritual tertentu diselenggarakan sekalipun hal itu bukanlah ritual yang biasa atau sehari-hari dia praktekkan. (Dalam hal ini bahkan kita kesulitan untuk menentukan identitas keagamaan seorang raja, terutama kalau hanya berdasar pada bentuk peninggalan candi dan inskripsi). Seorang raja bisa menguburkan pendahulunya dengan agama A sementara dia sendiri dikuburkan dengan ritual agama B. Demikianlah keragaman ritual tidaklah bisa dijadikan dasar untuk menentukan identitas agama. Pendek kata tipeagama atau lebih tepatnya disebut tipe ritual adalah yang paling nyata dipraktekkan oleh sebuah masyarakat, namun harus disadari bahwa itu bukanlah proklamasi langsung sebuah identitas Agama.
[Tentang sejak kapan istilah agama dipahami dan digunakan dalam kategori yang indikatornya adalah abstraksi keberadaan Tuhan yang tunggal, identitas jelas “pendiri” agama, dan adanya barang cetakan yang disakralkan, akan dibahas lain kali]
Yang menjadi fokus perhatian disini adalah istilah agamapada mulanya dimaknai sebagai bentuk-bentuk praktek ritual yang berasal dari sebuah sistem moral tertentu dan yang pada tahap lebih tinggi lagi berasal dari sebuah pemahaman teologis (pengetahuan tentang para dewa – tentang Tuhan) tertentu.
Beragama (ngagama) adalah melakukan praktek ritual tertentu, pastilah dengan tata-cara (liturgi), aturan (etiket), dan simbolisasi yang berada dalam disiplin yang tidak bisa diremehkan. Dalam ritual inilah sistem moral dikhabarkan. Jika kita lihat bahwa sebuah ritual berkaitan dengan penghormatan terhadap raja, praktek yang meyenandungkan dan mengabarkan sistem moral tentulah merupakan dialog publik antara kebijakan raja dengan para pelaksana ritual itu. Seorang raja tentu tidak akan gegabah mempertaruhkan wibawanya untuk bersikap lalim sekalipun dalam ritual yang diselenggarakan di depannya menyampaikan kritikan padanya.
Igama sebagai sistem berteologi – (Tipe kedua)
Sebagai “peraturan timbal balik antara para dewa dan manusia” igamamenginsyaratkan adanya studi yang efektif, yang dilakukan oleh kelompok tertentu (biasanya disebut para Brahmana-Pendeta) yang diterima dan atau dipertanyakan oleh masyarakat awam. Konsepsi paling penting dalam religiusitas ini sejak dari mulanya disadari sebagai hasil dari proses pencarian yang panjang dalam laku kehidupan nyata yang dialami langsung oleh seseorang. Sekalipun konsep semacam ini tidak serta merta melulu bersifat sufistik-mistis, hal ini bisa kita bandingkan dengan pentingnya kisah Dewa Ruci dalam tiap diskusi paling penting tentang igama.
Jika Kitab Arjunawiwaha disepakati sebagai bentuk kontekstualisasi dari bagian ke III dari mahakitab Mahabaratha, maka penemuan wujud yang illahi yang bersemayam di sebuah tempat yang dikenal secara lokal adalah pertanda bahwa kontekstualisasi yang dilakukan sangatlah efektif. Tidaklah sama persis seperti ide-ide dasar keilahian dari kitab asalinya, kisah-kisah yang berkembang dikalangan setempat bahkan terbuka untuk semakin dilokalisasi konteksnya pada daerah-daerah tertentu. Demikianlah pusat Gunung Mahameru bisa bergeser ke Penanggungan dan bahkan menjadi Merapi atau Merbabu, bahkan mungkin juga Gunung Agung di Bali. (Lihat hasil penelusuran sastra I. Kuntara Wiryamartana, 1990).
Igama tidak mengatur, melainkan menawarkan cara-cara yang bisa dijalani oleh seseorang dalam menjumpai yang illahi. Bahkan dia juga membuka diri bagi manusia untuk menemukan sendiri caranya. Begitulah Igamasesungguhnya adalah semangat dialog dari tiap-tiap refleksi personal mengalami sendiri apa yang dikonsepsikan sebagai Dewa, Tuhan, atau yang illahi.
Disebut sebagai “timbal balik” karena konsep teologis melampaui kemampuan tawar menawar dalam hal berpikir dan merasa. Dialog teologis bukanlah tawar menawar untuk menentukan “harga” sebuah konsep tertentu. Refleksi teologis personal, apapun juga itu adalah karya-karsa-cipta-wening manusia yang penting dan berguna bagi orang yang bersangkutan dan kemudian memancar ke lingkungannya. Demikianlah pancaran budhi adalah laksana relasi manusia dengan Tuhan dan sekaligus gambaran kosmologis baik yang bersifat makro maupun mikro.
Ugama adalah Etika – (Tipe Ketiga)
Adanya “Peraturan yang berlaku antar sesama manusia”menandai bahwa semangat religiusitas itu menawarkan bentuk-bentuk moralitas, model-model relasi interpersonal, dan seperangkat kesepakatan bersama berhubungan dengan lingkungan alam, cara berdagang, cara menempuh ilmu, dan tata susila yang bisa ditoleransi.
Pada tipe ini pertanyaan paling penting adalah bagaimana memperlihatkan penghargaan dan penghormatan pada orang lain (tepa sarira – tepa selira). Setiap orang mempertimbangkan eksistensi dirinya berdasarkan besar kecilnya penghargaan terhadap orang lain. Demikianlah dalam tipe ini relasi yang tidak adil mudah muncul menjadi diskusi dan perdebatan yang berkepanjangan. Bahkan seorang rajapun tidak terhindar dari kesepakatan untuk memperlihatkan penghargaan dan penghormatannya pada orang lain.
Dalam konteks politik tertentu, ugama inilah yang seringkali disalahgunakan oleh kekuasaan untuk baik melegitimasi tindakannya yang imoral maupun menangkal segala kritik dari masyarakat. Ketika sudah terjadi kebobrokanugama dalam sebuah pemerintahan, rakyat dengan sendirinya akan mempersiapkan diri dengan cara mencari pemimpin baru yang bisa mengembalikan harmoni – tentrem kerta raharjo.
Ugama selain sebagai sistem yang mengatur relasi, dalam situasi tertentu bisa menjadi sistem perubah – pendobrak – pembebas. Membicarkaan ugamaadalah membicarakan etika namun dalam bentuk yang konkrit berkaitan dengan hajad hidup orang banyak. Menyatakan diri mempraktekan ugamatertentu berarti menjalani sebuah sistem nilai.
Ketiga tipologi diatas menggambarkan kepada kita bahwa sistem dan cara kepercayaan adalah kompleksitas yang membutuhkan kearifan yang holistik, keterbukaan yang progresif, dan refleksi diri yang intensif. Ketika orang mempraktekkan ugama tertentu, dia sebenarnya tidaklah terikat dan terbatasi hanya pada satu bentuk ritual saja. Dia juga tidak terbatasi oleh sistem berteologi tertentu. Ugama mementingkan nilai-nilai keutamaan untuk menjadi manusia sempurna.
Demikian juga ketika seseorang mengambil posisi teologis tertentu dan misalnya memandang bahwa Siva adalah Dewa tertinggi, bukan berarti dia terkungkung dalam sistem nilai yang hanya menopang konsep teologisnya. Bahkan dia juga tidak terikat untuk hanya memiliki satu cara ritual. Demikian seterusnya berlangsung pada ketiga tipe tersebut. Keberagaman itu bersifat atomik, tak akan pernah teridentifikasi batasan jelasnya. Maka tidak bisa hanya dilihat dari satu permukaan saja.
Refleksi akhir
Tipologi agama yang cukup dikenal di era Singhasari dan yang ditegaskan oleh Pramoedya dengan tipologi agama-igama-ugama memperlihatkan bahwa sesungguhnya kesadaran keagamaan masyarakat Jawa jauh lebih beradab dari cara pemerintah kita saat ini mengkategorikan agama. Pun mungkin cara agama-agama yang ada saat ini menjelaskan dirinya.
Semua orang tahu bahwa perbedaan-perbedaan yang terjadi pada tiga tipe itu sangatlah banyak, ada perbedaan yang tipis-tipis saja dan ada perbedaan yang jaraknya amatlah tebal. Perbedaan selalu menjadi pertanda bahwa kehidupan dalam proses berpikir dan merasa manusia itu masih ada. Kristen dan Katolik yang perbedaannya mungkin setara dengan perbedaan antara NU dan Muhamadiyah, namun nyatanya dikategorikan sebagai agama yang berbeda. Ini adalah sekedar contoh sederhana bahwa dalam membangun dan mengembangkan konsepsi tentang agama, kita yang hidup di jaman modern ini, belumlah mampu menandingi pemikiran seluas konsepsi nenek moyang kita dan untuk itu kita perlu terus belajar pada mereka.
Semakin kita melihat bahwa perbedaan ritual dianggap ancaman, perbedaan teologis dianggap pelecehan, dan perbedaan etika-religius dianggap jarak pembatas, semakin kita perlu tunduk takjub betapa nenek moyang kita dulu mampu mengelolanya dengan bijak. Begitulah lamat-lamat dan akan terus bergema: “Sebarkanlah damai sejak dari Singhasari”. Karena tidak hanya keragaman agama saja yang perlu terus kita rayakan, bahkan keragaman dalam agama-igama-ugama pun perlu terus kita syukuri.
Komentar