Surat seorang sahabat (Menjadi Diri Sendiri part.2)

[Ini surat asli yang dikirim oleh seorang sahabat baik saya yang telah menghadap Tuhan beberapa tahun lalu. Saya publikasikan disini dengan penuh hormat padanya. Dan sebagai pengingat bagi saya dan semua teman-teman yang dia cintai]

Kepada Yth.
Sdr. Kristanto Budoprabowo S.Th.
Di Yogyakarta
(Dan teman teman lain juga)

Saya beribadah mencari saya


Sudah lama saya berpikir tentang bagaimana saya bisa bertemu dengan Tuhan. Kalau tidak terpersonafikasi, minimal saya bisa berdialog secara imaginer.

Apakah yang saya dapat dari pengembaraan itu?
hanya sebuh pengertian bahwa perjumpaan dengan Tuhan selalu merupakan pengalaman individual, bersifat konkrit-mutlak tapi hampir tidak mungkin di-sharing-kan. Jika dalam dialog imajiner itu Tuhan berbicara lewat tanda-tanda, maka oleh masing-masing pribadi tanda-tanda itu ditangkap tidak sama satu dengan yang lain.

Kemudian saya berpikir bahwa perjumpaan dengan Tuhan itu hanya bisa dilakukan oleh masing-masing individu dengan daya pencerahan yang bahasa komunikasinya selalu memakai bahasa Ibu. Artinya, saya bisa mencapai satu pencerahan imani yang tidak destruktif (poleksosbudiptekab), jika saya melakukan pengembaraan berdasar atas aura budaya saya.

Segala sesuatu yang merupakan pengetahuan tambahan seperti baik-buruk, dosa-pahala, sorga-neraka, dan apalagi klaimisasi jalan kebenaran menuju keabadian, hanya merupakan rambu-rambu dalam saya memahami akan arti suatu yang azasi, yang maha misterius atau yang biasa disebut Tuhan.

Dalam pengembaraan itu kepada saya telah diajarkan bagaimana menjadi Protestan, bagaimana menjadi Katholik, bagaimana menjadi Islam dan sebagainya. Tapi selama pengembaraan itu saya hanya diajarkan cara-cara yang mereka telah miliki dengan perangkat budaya yang mengalirkannya. Tidak pernah saya dikenalkan dengan diri saya dengan budaya saya. Setelah itu saya memang menemukan diri saya, tapi entah diri saya yang mana dan siapa.

Sekarang ada lagi cara yang lain untuk menemukan diri saya. Cara itu sudah pernah dijumpai oleh teman-teman saya. Sekarang teman-teman saya mengajak untuk mencari diri dengan cara yang baru itu.

Dalam kebingungan mencari tahu itu saya berpikir, kok tidak jera-jeranya saya mengekor dan dibina. Seperti konsumen parfum, sepatu, pembalut wanita, atau yang lain.

Pikiran saya lebih melayang, di jaman dimana saya, ketika sudah banyak doktor, profesor dan theolog macam-macam, mengapa saya tidak mengenalkan diri saya untuk dinilai? Mengapa saya masih saja terkagum-kagum dengan sesuatu yang diluar diri saya?

Ah, saya lelah berpikir. Maaf, saya akan masuk dalam ibadah dengan cara saya untuk semakin mengenal diri saya sendiri.

Selamat malam.

Yogyakarta, 14 Februari 1996


Kaca Budi Nugroho



Komentar

Postingan Populer