Menjadi diri sendiri (Part.1)

Ini serius tentang pilihanku "menjadi diri sendiri"


Harus diakui bahwa pilihan yang aku miliki membawaku pada perbedaan ekstrim untuk "mengikuti kata hati, dengan referensi naluri, dan kehendak terbaik bagi diri dan lalu orang lain" atau "menuruti apa kata orang (terutama yang dianggap punya otoritas lebih dari diri), memaklumi dan menganggap bahwa kemauan opini publik pasti selalu etis, dan menjalani hidup semata agar harmonisasi sosial terpelihara". Aku memilih yang pertama, dan ternyata hal itu tidaklah mudah.

Kenapa tidak mudah? Begini ceritanya.

Aku dibesarkan ditengah masyarakat yang menghargai nilai-nilai komunalitas. Segala bentuk reward dan punishment biasa dibangun berdasarkan kepatutan dan kewajaran sejauh yang bisa ditanggung oleh komunitas. Namun bukan berarti bahwa orang tidak bisa berbeda dan serta merta dihukum ketika keliru atau salah menurut komunitas. Orang boleh berbeda tapi harus tersembunyi, terselubung rapi, dan hanya boleh dibicarakan sejauh itu dalam kerangka kesadaran bersama untuk menjaga kerahasiaannya.

Aku suka musik rock sejak remaja. Jelas ini tidak membahagiakan orang tuaku yang memilih keroncong sebagai musik favoritnya, atau adik-adikku yang cenderung suka yang pop melankolis. Aku tetap suka musik rock sekalipun para artisnya diidentikan dengan berandalan, tattoannya seperti preman, rambut gondrongnya seperti pemberontak. Bayangkan betapa banyak rocker yang tetap berani menjadi dirinya sendiri ketika ada program "Petrus" diluncurkan pemerintah dengan dalih mengurangi kriminalitas.  http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius
Beberapa yang aku kenal hingga ada yang nekad menyetrika tatto yang terlanjur terpatri di lengannya. Semua orang tahu kebiadaban waktu itu, tapi dianggap lumrah. Jelas alasan umum adalah takut dan demi kesejahteraan diri yang ditundukkan pada kebengisan.

Aku juga suka hal-hal yang belakangan aku sadari cenderung filosophis atau artistik. Kalau ada informasi yang sengaja disembunyikan justru membuat aku lebih giat untuk mencari tahu. Semisal mengapa waktu itu buku-buku Soekarno dan Pramoedya dilarang. Mengapa tiap pegawai negri seperti bapakku tidak punya kebebasan untuk tidak memilih Golkar. Dan bahkan kalau anak-anaknya ada yang tidak mengikuti apa yang dipilih orangtuanya yang adalah ketentuan dari pemerintah, bisa-bisa bapakku kehilangan pekerjaannya. (Bandingkan dengan pengalaman Y.A.Fernandez:
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/02/21/golkar-dan-memori-masa-kecil-437126.html)
Semua orang tahu itu, tapi dianggap lumrah. Aku selalu heran mengapa ibuku selalu gemetar ketakutan ketika menyebut istilah PKI, komunis, Gerwani dan sangat berhati-hati berbisik menceritakan PNI dan gerakan Marhaennya. Ini juga jelas menandai bahwa pengetahuan (sekalipun benar) tidak bisa sebebasnya disampaikan dan dibicarakan. Semua orang tahu itu, setidaknya banyak lah orang yang tahu, tetapi diam juga sehingga dianggap lumrah ketakutan berbicara benar.

Teman-teman sepermainanku kebanyakan Muslim yang taat dan baik hati. kami seperti bersaudara; kadang berkelahi lalu berbaikan lagi dan menyanyi bersama di tengah bulan purnama. Hingga suatu ketika datanglah guru-guru modern mengajar mereka mengaji gaya baru untuk tidak lagi bergaul dengan orang kafir seperti aku. Demikian juga aku mulai mengenal penginjil-penginjil yang sangat perlente dan seksi menyuarakan pemurnian untuk tidak "menjadi sama dengan dunia". Kami tidak lagi bermain bersama, arena bermain menjadi kontes kebencian. Semua orang di desa tahu hal ini. Beberapa merasa terganggu dan mengambil sikap, termasuk bapakku. Yang lain, yang mayoritas, diam tanpa komentar dan entah takut entah memang benar-benar tak mengerti bahwa kebencian tidak pernah diajarkan oleh agama apapun.

Begitulah pelajaran yang aku peroleh. Jadi karena gak bisa terus terang ya diam-diam aku terus berusaha mengaliri otakku dengan melodi dan syair-syair yang memang seringkali berupa pemberontakan dan kemauan menjadi berbeda melalui musik-musik rock yang sebisanya kupahami dengan pertolongan terjemahan majalah Hai waktu itu (http://id.wikipedia.org/wiki/HAI). Ya diam-diam, banyak sekali anak remaja seangkatanku juga berada dalam situasi yang sama. Dan mungkin juga seperti aku, ... memilih diam dan menjadi "wajar" sebagaimana semua orang seolah menjadi gembira ketika aku bukannya diriku sendiri lagi.

Seklipun nggak bisa membaca buku-buku "kiri" yang aku sukai di sekolah, beruntung Bapakku menyembunyikan dengan rapi satu buku Sukarno dan tetanggaku dengan pesan sangat serius untuk bersembunyi membacanya meminjamiku "Anak segala bangsa" kubangun rasionalitas kritisku, sekalipun .... yah itulah bodohnya aku ... aku waktu itu memilih untuk aman dan tidak "mengumbar omongan". Aku juga yakin, dengan sembunyi-sembunyi banyak anak-anak penasaran seperti aku yang juga memilih untuk diam entah demi menjaga keamanan orang tua atau agar dianggap anak-anak yang wajar-wajar saja.

Sekalipun, mau tak mau aku nampak rajin ke gereja, aku sering bertanya-tanya mengapa tidak pernah aku sesekali berada di Masjid melihat cara teman-temanku berdoa. Untungnya, Bapakku punya banyak teman muslim "nasionalis" yang mengijinkan aku melihat anak-anaknya sedang membangun Sholat di rumahnya. Hanya itu. Tindakan untuk menghargai yang berbeda adalah sesuatu yang amat mewah dan nyaris terlarang saat itu. Dan mungkin hingga sekarang.

Dan aku dibesarkan dalam situasi seperti itu. Di rumah, di kampung, di sekolah, bahkan ketika kuliah, pelajaran hidup yang aku peroleh terus menerus memaksaku bahwa adalah sebuah nilai kebaikan untuk ikut saja pada aturan permainan sosial yang berlaku.

Aku menjadi kurang peka kapan aku bisa menjadi diri sendiri kapan aku harus menjadi "anak baik" seperti yang dikehendaki orang banyak. Karena serpihan-serpihan peristiwa seperti terus menerus terjadi dan menjadi sebuah mekanisme harmonisasi sosial dalam perjalanan hidupku. Bisa dibayangkan saat memasuki usia muda dimana kebutuhan naluriah semakin berada pada kodratnya, dimana kehausan untuk dihargai dan dianggap ada menjadi dominan, dan dimana kesadaran religius dan moralitas berada pada tingkatnya yang paling kritis. Mekanisme itu benar-benar mampu mengendalikan diriku.

Toh semua orang tahu, toh semua pemuda seusiaku juga berada dalam situasi yang sama, hanya satu yang tidak boleh dilanggar harmonisasi sosial. Semua orang akan memakluminya, semua orang akan mengerti, tapi ketika itu berada dalam opini publik yang mengganggu harmonisasi sosial, semua orang serta merta berubah menjadi malaikat maut yang dengan sigap akan mengadili, menghakimi, dan lantas pasti dengan sukarela tangannya menjadi dingin menghukum.

Bahkan ada anggapan bahwa semakin tinggi derajad orang di tengah-tengah anggota komunitasnya yang biasanya ditandai dengan tingkat ekonomi di atas rata-rata dan jabatan yang dianggap terhormat, maka semakin ketat pula tuntutan untuk semakin menjunjung tinggi nilai-nilai komunalis seperti yang saya gambarkan di atas. Saya yakin banyak orang yang dengan tulus, jujur dan bermoral mampu menyelaraskan diri dengan tuntutan tersebut. Namun justru karena tuntutan itu menjadi ganda; berada dalam pribadi yang bersangkutan maupun dalam "status"nya di tengah masyarakat maka jelas ini akan menghasilkan orang-orang yang selalu berpikir dualis; sebuah model yang wajar terjadi pada anak-anak.

Maka jangan kaget ketika ada seorang anak yang ibunya seusia dengan neneknya, karena sebenarnya itu memang neneknya. Semua tahu ini, kecuali si anak. Jangan heran kalau pelaku kekerasan juga adalah orang-orang yang khusuk beragama. Jangan heran kalau orang menganggap wajar orang tua yang suka memukuli anak-anak. Jangan heran kalau yang namanya teman atau bahkan sahabat, itu sebenarnya adalah orang-orang yang paling berbahaya dalam hidupmu, karena memang mereka menggantungkan harga dirinya pada kebaikan mu, bukan pada dirimu seutuhnya.

Melakukan kebencian dengan terselubung lebih bernilai daripada melakukan cinta kasih secara terbuka, bahkan sekarang melakukan kekerasan secara terbuka dianggap bernilai dibandingkan dengan menyuarakan cinta, penghargaan dan kejujuran. Kalau mau jujur, sembunyi-sembunyi saja, supaya selamat - begitu beberapa teman menasehatiku. Kamu harus kelihatan seperti apa yang diharapkan orang banyak, supaya urusan-urusanmu beres - begitu yang lain berhikmat.

Pengalaman-pengalaman riil seperti ini semakin membuat aku harus segera menentukan sikap. Dan karena menurutku permainan seperti itu kekanak-kanakan, manipulatif, abusif, dan melanggengkan sistem penindasan yang diselubungi dengan etika dan nilai-nilai budaya dan agama, maka aku memilih untuk menjadi diriku sendiri.





Komentar

Postingan Populer