Melukis

Melukis Wajah dan belajar beragama

Pagi ini aku mencoba membuat lukisan wajah, sembarang wajah yang entah berjenis kelamin apa, seberapa usianya, apa rasnya, sukunya, entah juga warna kulit, mata, rambut, dan entah apa latar belakangnya dan pengalaman hidup yang dimilikinya seperti apa, entahlah. Yang penting aku berusaha untuk menampilkan sebentuk wajah dengan tampilan, komposisi, dan ukuran yang juga sembarang tak terlalu aku pikirkan apakah itu memenuhi standart proporsi sebuah wajah atau tidak. Namun tetap jadilah sebuah wajah. Sebuah wajah yang bisa dilihat lucu, seram, kalem, berwibawa, marah, sedih, dan apapun juga ekspresi yang bisa ditangkap dari wajah itu tergantung pada bagaimana dan situasi hati seperti apa orang melihatnya.

Jelas hasil lukisanku ini tidak bisa dibandingkan dengan wajah siapapun juga, kombinasi warna yang aku gunakan antara pink, merah coklat, aku beri aksen biru dan hijau dan sedikit warna merah di beberapa tempat yang aku anggap layak dan bagus untuk diwarnai seperti itu. Rambutnya abu-abu cenderung hitam, dengan gaya potongan rambut klasik model paling populer yang pernah aku lihat. Bentuk matanya cenderung datar dengan alis tebal dan sedikit bulu mata, dan bola matanya tidak terlalu menonjol nampak bulat dengan warna hijau dan biru. Hidungnya tidak nampak terlalu mancung dan juga tidak terlalu lebar, biasa saja, dan normal-normal saja. Demikian juga dengan mulutnya, wajar seperti orang sedang membuat pas potho. Jadi tidak nampak gigi maupun lidahnya. Hanya sebuah bibir yang kuusahakan nampak hidup dengan warna merah yang dalam. Semua nampak normal, namun tetap saja aku sendiripun tidak bisa mengatakan wajah siapakah ini.

Sebagai seorang Kristen, aku bisa saja mengatakan bahwa ini adalah wajah Yesus atau setidaknya wajah dari salah satu murid Yesus. Atau mungkin wajah seorang perintis kekristenan, atau salah seorang pendeta atau majelis jemaat. Bahkan bisa jadi ini adalah wajah salah seorang anggota gereja yang entah dimana dan kapan pernah aku jumpai. Caraku melukiskannya jelas dipengaruhi oleh penampakan-penampakan wajah yang pernah aku jumpai atau setidaknya aku bayangkan adanya. Aku bisa bilang ini wajah si anu dari tempat tertentu, namun tetap saja aku tidak berani memastikannya, karena referensi yang aku miliki, seberapa banyakpun wajah yang pernah aku lihat, tentu tidaklah mencukupi untuk membuat kesimpulan bahwa ini adalah wajah si anu.
Seorang anak kecilpun yang memiliki talenta melukis dan terbiasa dengan melukis wajah tentu bisa membuat lukisan seperti yang aku buat, bahkan bisa jadi lebih jelas dan nyata. Siapapun dari latar belakang apapun bisa saja menyebut ini wajah si ini atau si itu. Mungkin juga mengatakan ini wajah Yesus atau salah seorang murid Yesus.

Beberapa waktu lalu aku berusaha intensif belajar membuat komposisi wajah yang benar. Seberapa besar ukuran mata dibandingkan dengan keseluruhan besar kepala, seberapa jauh jarak antar mata dan dari mata ke hidung, dan dari hidung ke mulut. Kaidah-kaidah dasar seperti itu sudah relatif aku penuhi. Aku juga sudah melanjutkan ke tingkat yang sedikit lebih detail. Yaitu bagaimana menggambar sebuah mata yang memenuhi ketentuan sebuah mata; ada bola mata yang terdiri dari bola putih dengan pupil dan lensa yang juga harus memenuhi syarat-syarat ukuran tertentu. Harus ada kelopak mata dengan sedikit bulu di atas dan dibawah yang mengarah ke sudut tertentu. Harus juga ada garis-garis lain yang perlu ditambahkan agar mata kelihatan hidup. Hanya tentang mata aku belajar cukup lama dan banyak hal penting harus menjadi kesadaranku. Semisal, bahwa mata orang berbeda dengan mata binatang. Mata laki-laki berbeda dengan mata perempuan. Mata anak-anak berbeda dengan mata orang dewasa. Kadang bahkan warna mata juga harus memenuhi syarat latar belakang ras orang yang hendak dilukis. Demikianlah aku juga sedikit mendetai belajar menggambar hidung dan mulut. Jika wajah menghadap tepat ke depan maka bentuk mata, hidung dan mulut berbeda dengan ketika kita melukis wajah yang sedikit menoleh ke kanan atau kekiri, mendongak ke atas atau menunduk ke bawah. Dan tentu juga ada kombinasi-kombinasi komposisi tertentu untuk menampilkan ekspresi tertentu. Mata yang terbuka lebar seperti marah, ujung bibir yang turun ke bawah seperti sedih. Secara mendetail aku memiliki referensi dan sudah sedikit banyak mencoba mempraktekkan sesuai dengan beragam referensi yang aku punya.

Masih tentang referensi, beberapa artis terkenal memiiki cara yang berbeda dan khas untuk menampilkan sebentuk wajah. Ada yang senang dengan detail untuk menghadirkan kesempurnaan wajahsepertiaslinya. Ada yang menonjolkan ekspresi untuk menampilkan peristiwa yang sedang dialami si wajah yang bisa mempengaruhi perasaan hati yang melihat. Bahkan ada yang mengaburkannya untuk menekankan suasana dan kesan tertentu saja sehingga orang bisa menafsirkan siapa saja bisa menjadi model wajahnya. Cara yang berbeda memang menghasilkan lukisan yang berbeda pula. Dan tiap karya itu mewakili jaman, trend, suasana hati, dan sejarah yang sedang terjadi pada umat manusia. Model carut marut seperti pelukis Affandi dari Yogyakarta pun bisa ditafsirkan muncul mewakili jamannya dan ia menjadi pelukis besar dunia. Dari beberapa buku dasar-dasar dan teknik melukis yang sempat aku miliki, umumnya penulis yang biasanya juga pelukis menyarankan agar ketika melukis wajah si pelukis menggunakan model entah itu berupa patung, foto, atau malah amat disarankan wajah langsung dari seseorang, model hidup.

Aku belum memiliki kurator dan komentator khusus pada lukisan-lukisan yang aku buat. Belum banyak komentar dan kritik aku terima. Hanya beberapa apresiasi dari orang-orang terdekat yang pernah aku pameri lukisanku, dengan sedikit saran agar aku terus melukis, apa saja, dengan thema apapun. Ada seorang pelukis yang mengatakan bahwa orang baru bisa melukis kalau sudah bisa melukis tubuh dengan proporsi dan dimensi yang benar. Selanjutnya dia mengatakan bahwa orang bisa membuat proporsi dan dimensi tubuh dengan benar harus dimulai dari proporsi dan dimensi wajah yang benar. Aku tidak terlalu setuju dengan pandangan ini. Karena aku melihat ada banyak hasil lukisan yang sangat indah sekalipun tidak memenuhi proporsi dan dimensi yang mungkin dianggap kebanyakan orang sebagai proporsi dan dimensi yang normal. Tapi tentu, perbedaan pandangan seperti ini sangat wajar dan saling memperkaya orang sekarang untuk dengan keberanian dan keinginan yang besar untuk menghasilkan karya sendiri yang khas, unik, menarik dan indah.

Ada banyak hal lagi yang menarik pikiranku untuk dituliskan dari pengalamanku melukis wajah pagi ini. Tapi semakin aku berpikir tentang pengalaman indah melukis wajah itu dan menuliskannya semakin keras suara dalam otakku mengeluarkan pertanyaan: “Aku sedang menuliskan pengalamanku melukis atau aku sedang mendiskripsikan cara orang beragama, atau malah cara orang berteologi, atau caraku hidup?” Sebaiknya aku ambil kertas kosong lagi dan memulai melukis kembali dan merasakan betapa aku hidup.

Selamat pagi.
Malang, 2 september 2013


Komentar

Postingan Populer