Jumpailah Domba Yang Hilang maka kamu akan menjumpai sang Gembala Agung.

Kotbah yang aku dengar kemarin ... Bersamaan dengan terbitnya mentari pagi

..... harus aku akui bahwa kali ini aku tidak bisa menjelaskan dalam situasi apa aku mendapatkan pesan kotbah hari minggu kemarin secara mendetail. Pesan kotbah itu begitu dekat menggema, terbangun dari serpihan-serpihan peristiwa besar kecil yang langsung terjadi maupun terlintas dalam pikiran sepanjang akhir pekan kemarin. Sangat berwarna karena berasal dari beragam sumber yang berbeda latar belakang, asal-muasal, pilihan etis, maupun tingkat religiusitasnya.

Diawali dengan ujaran sederhana yang tidak nyambung bagi nalar kebanyakan orang yang senang dan terbiasa dengan pengutukan diri dan penonjolan pada ketidakberdayaan rohani. "Yesus bukan gembala yang baik!"

Sebuah antitesis terhadap slogan bombastis terhadap kelembutan Allah yang biasanya dinyanyikan turun temurun sejak jaman raja Daud: "Tuhan adalah gembalaku ... takkan kekurangan aku". Sebuah pemberontakan radikal terhadap gambaran paling populer kegemaran seniman dan perupa romantis yang mengekspresikan perlindungan dan kasih illahi seperti seorang gembala yang baik. Seorang Yesus, tentulah patut digambarkan sebagai gembala yang baik bukan. Ternyata, Yesus bukanlah gembala yang baik. Kenapa? Karena hal-hal ini:
1. Jika Yesus Gembala yang Baik, tentu tidak pernah ceroboh sehingga kehilangan domba(domba)nya.
2. Kalau Yesus Gembala yang baik tentu para domba tidak perlu saling berebut rumput yang lebih hijau atau tempat nyaman yang lebih hangat atau jarak terdekat pada sumber air yang melimpah.
3. Jika Yesus gembala yang baik, akibatnya para domba akan menjadi malas berusaha, tak mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup di alam yang liar dan ganas, selalu hanya menurut dan mengikuti kemana para gerombolan domba-domba kebanyakan menuju dan merasa aman dengan apa yang ada disekitarnya.
4. Jika Yesus gembala yang baik, dan kita perlu belajar pada Dia dalam menggembalakan umatnya, sebagai kawanan domba gembalaanNya, tetaplah kita akan melihat seorang gembala yang tidak baik karena hingga jaman kecanggihan tehnologi komunikasi, orang yang percaya pada sang Gembala yang sama masih saja tetap saling salah mengerti.
Yesus bukanlah contoh gembala yang baik. Perumpamaan tentang domba yang hilang adalah salah satu alasannya. Secara logika, seorang gembala sederhana tidak akan meninggalkan 99 kambingnya di tengah padang dalam ancaman badai dan binatang buas, hanya untuk mencari seekor kambing yang "mbalelo" tidak tahu sopan santun untuk berdiam diri mengikuti kemauan kebanyakan domba yang lain.
Lebih tragisnya, setelah si domba "kurang ajar", anti sosial, tak tahu diri itu diketemukan, eh si gembala malah pulang dan berpesta gembira dengan para tetangga menyampaikan sukacitanya menemukan seekor dombanya yang hilang, ya hanya seekor. Padahal dengan begitu khan dia sesungguhnya memproklamirkan bahwa dia meninggalkan sisa dombanya yang 99 ekor banyaknya, yang etis bergerombol normatif sesuai tuntutan sosial, hanya demi seekor, sekali lagi seekor domba.

Karena terlanjur tertanam pemahaman bahwa "Tuhan adalah Gembalaku" maka jalur kotbah terhadap kisah domba yang hilangpun pada umumnya menekankan dengan dramatis bagaimana Tuhan yang begitu penuh kasih sayang, yang berjerih payah, berkorban, berusaha keras untuk menyelamatkan jiwa seekor domba ... ya seseorang yang dikasihinya. Fokusnya pada bagaimana akhirnya domba itu ditemukan si gembala, mau ditemukan si gembala, membiarkan diri ditemukan si gembala, dengan dengan alur kotbah menuju pada heroikme menemukan, membalikkan arah, mentobatkan, menyelamatkan si domba hilang untuk disambut dengan sukacita lantas dikembalikan pada gerombolannya dan ... kadang kalau perlu sedikit dibumbui dengan tambahan bahwa yang sudah pernah hilang diharapkan tidak hilang lagi, atau jangan mengajari anggota gerombolan untuk ikut-ikutan hilang supaya ditemukan si gembala agung.

Lantas dengan dasar seperti itu, tertanam dalam benak pendengar kotbah bahwa MISI adalah menemukan domba yang hilang untuk dibawa kembali pada gerombolannya semula. Tugas panggilan kekristenan dianggap sebagai jerih juang menemukan jiwa-jiwa yang hilang, terhilang, menghilang, sesat, tersesat, tergoda, termakan bujukan iblis, terkontaminasi dosa dan lain-lain apapun istilah keji yang biasanya dilontarkan gereja pada siapa saja yang tidak mau berdiam untuk selalu menjadi sesuai dengan keinginan gereja. Dan jika gembala agung adalah Yesus maka menjumpai Yesus berarti melakukan tugas dan pekerjaan seperti Yesus, menjadi gembala. Mengembalikan yang hilang pada habitat semestinya. Sebentar .... sepertinya kalau ini yang terjadi, kok kita jadinya menggantikan peran Yesus. Karena tidak mungkin manusia menggantikan Yesus, pastilah yang dilakukan adalah menyamar menjadi Yesus, atau berperan drama sebagai Yesus.

Dalam memahami kisah domba yang hilang, fokus perhatiannya yang perlu dirubah. Kalau dalam film, seperti melihat tokoh utamanya. Kalau biasanya kita meihat tokoh utamanya adalah Gembala maka perhatian kita tertuju pada bagaimana peran yang dilakukan si gembala. Dan kalau mau menangkap pesan moralnya, maka kita menjadi berusaha menjadi super hero seperti si gembala. Namun dalam peristiwa domba yang hilang, menarik jika kita arahkan perhatian pada si domba dan mencoba menangkap mengapa dan pesan apa yang hendak disampaikan si penulis kisah ini membangun karakter seperti itu. Domba yang hilang itulah yang menyadarkan kita, para pembaca menjumpai si gembala. Domba yang hilang itulah yang mengajak para pendengar menyadari kehadiran si gembala. Domba yang hilang itulah yang memperlihatkan kekuatan pesan bahwa melalui dirinyalah pembaca kisah bisa menjumpai cara Tuhan mencintai umatnya.

Dengan demikian, daripada kita merubah peran domba yang hilang menjadi kambing hitam yang dosanya perlu dicari-cari untuk diselamatkan, mendingan kita berefleksi bahwa dengan menemukan dimana domba itu berada disitulah kita bisa menjumpai Tuhan. Di sanalah Tuhan berada, ditempat orang-orang yang sedang hilang masa depannya, hilang harapannya, hilang kepercayaan dan imannya. Berada, mengerti, dan menjadi kawan sepergumulan dengan mereka, disitulah kita akan berjumpa dengan Tuhan. David R. Benson ketika merefleksikan kisah ini membuat sebuah pernyataan yang sangat dalam, "Karena bukan kita yang membawa domba yang hilang kepada Tuhan, tetapi domba yang hilang itulah yang membawa kita pada Tuhan".

Tulisan David R Benson dapat dilihat di : http://www.patheos.com/blogs/davidhenson/2013/03/the-lost-shepherd-and-the-amoral-love-of-god/

Selamat berjumpa, bergumul bersama, dan menjadi kawan dari yang terhilang, dan selamat berjumpa dengan sang Gembala agung.

Komentar

Postingan Populer