Ibadah Minggu

Kotbah yang Indah
Minggu, 1 September 2013


Perikop yang diambil adalah Lukas 14:1-14. Sebuah peristiwa unik ketika Yesus memberi pertanyaan etis terhadap para Farisi mengenai boleh atau tidak boleh menyembuhkan orang pada hari sabat. Dengan gaya homeletik yang cukup bersemangat disana-sini dibumbui dengan penekanan khas seorang pengkotbah profesional, sang Majelis jemaat mampu menarik perhatian anggota Jemaat untuk fokus pada satu hal sederhana yaitu terhadap pentingnya secara bersamaan melakukan Ibadah dan berbuat baik.

Pada awal kotbahnya, sang Majelis jemaat menyampaikan bahwa ia hendak mengajak hadirin untuk belajar tentang 4 hal penting seperti yang terdapat dalam bacaan Injil. Sekalipun tidak secara gamblang disebutkan 4 hal tersebut, dari alur kotbahnya nampak bahwa ia berbicara tentang 1/ pentingnya hari sabat untuk menetapkan waktu khusus beribadah, 2/ Pentingnya perbuatan baik untuk menolong dan mengekspresikan kasih pada sesama, 3/ Pentingnya membangun kesadaran bahwa dua hal itu tidak bisa dipisahkan dan perlu diberi perhatian dan tindakan yang sama besarnya, 4/ Tentang bagaimana belajar dari Yesus dan murid-muridnya untuk berani merobah kebiasaan yang mementingkan salah satunya tanpa menghiruaukan yang lain.

Dengan menggunakan pertanyaan tentang persamaan antara cinta dan benci, dia memulai membuat argumentasi tentang pentingnya menetapkan hati yang tulus pada tindakan cinta. Pengkotbah menyatakan bahwa salah satu persamaan antara ekspresi cinta dan benci adalah ketika seseorang secara intensif memikirkan, membicarakan, dan melakukan tindakan tertentu terhadap orang yang dicintai atau dibencinya. Cara memikirkan, membicarakan dan melakukan tindakan tertentu kadang nampak hampir sama dan berada di area abu-abu, tapi ada hal kecil tak kasat mata yang tetap menjadi pembeda yaitu semangat atau roh yang bekerja dibaliknya. Gosip adalah contoh yang paling kongkrit. Si majelis mempertanyakan dengan tegas apa roh yang bekerja dibalik kata-kata kita ketika membicarakan orang lain. Jika roh kebencian menguasai maka membicarakan orang, yaitu sesuatu yang amat biasa kita lakukan, bisa menjadi peristiwa menyuburkan dan menanam kemarahan, ketidaksenangan, iri, dendam dan bahkan penghakiman dan penghukuman. Namun jika roh cinta yang menguasai seseorang, impiannya terhadap orang yang dicintai akan menjadi berbunga-bunga dan penuh lagu, kata-kata dan pembicaraan yang dibangun penuh dengan penghargaan, penghormatan, pujian, puisi, dan ekspresi keindahan lainnya, dan pada gilirannya akan menghasilkan tindakan luar biasa hebat yang layak dikenang sepanjang masa. Menetapkan hati yang tulus pada cinta sebagai roh yang menguasai setiap pikiran, perkataan dan tindakan itulah yang merupakan wujud nyata pentingnya ibadah.

Mengenai pentingnya perbuatan baik, pengkotbah memang tidak terlalu secara specifik memberi perhatian khusus. Hanya nampaknya dia menyadari bahwa kedermawanan sosial yang dengan mudah dipraktekkan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi justru perlu dan selalu penting untuk untuk dipertanyakan. Istilah yang digunakan adalahtidak ada yang gratis’. Jika seorang dermawan memberi, justru itu melatih kepekaan kita untuk berhati-hati terhadap konsekuensi yang timbul jika kita menerima pemberian tersebut. Kedermawanan sosial bahkan bisa dipertanyakan seperti kita mempertanyakan tentang roh yang bekerja di baliknya. Kedermawanan, keramahan, keakraban sosial tanpa roh cinta yang terbangun dalam ibadah tentu hanya menjadi tindakan manipulatif yang justru menghancurkan dasar-dasar relasi antar manusia. Tindakan baik dan benar dan tepat dan patut memang sangat dperlukan di dunia yang semakin dikuasai oleh ukuran-ukuran materi. Tindakan baik yang digambarkan dalam perikop yang dikotbahkan jelas mengajarkan tentang tindakan baik yang beresiko. Tatanan sosial memang dibuat untuk menolong anggota komunitas, tetapi jelas bukanlah alat yang bisa digunakan untuk mencegah orang melakukan tindakan baik. Beribadah tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak berbuat baik demikian sebaliknya. Dengan inilah dia masuk dalam pembelajaran yang ketiga.

Pengkotbah mengeluarkan selembar kertas uang dan memperlihatkan bahwa dua sisi uang kertas tersbut memiliki gambar yang berbeda. Salah satu sisi uang tersebut bergambar Bung Karno. Dengan segar dia mengajak pendengar untuk membayangkan seandainya gambar Bung Karno diganti dengan gambar orang lain, semisal diganti foto dirinya dengan cara berpenampilan mirip Bung Karno, tentulah uang tersebut tidak ada nilainya lagi. Sekalipun perubahan hanya terjadi sedikit di salah satu sisinya saja, uang tersebut menjadi palsu, tidak lengkap, dan tidak ada gunanya lagi. Seperti inilah pengandaian antara sisi ibadah dan sisi berbuat baik yang harus dilakukan orang percaya secara bersamaan, secara utuh dan saling menlengkapi. Ibadah yang benar tidak bisa dipalsukan hanya dengan menonjolkan tindakan benar, demikian juga tindakan baik tidak bisa diunggulkan sebagai ganti ibadah. Keduanya penting dan saling melengkapi dan menjadi nilai keaslian bagi orang Kristen.

Yang terakhir, sang pengkotbah mengingatkan kembali bagaimana caranya Yesus mentransformasi tradisi dan kebiasaan yang kelihatan luhur tetapi tidak manusiawi. Yesus tidak anti Ibadah, Dia menghargai hari sabat, dan justru karena dia melihat pentingnya hari sabatlah maka dengan serius Yesus mempertanyakan moralitas dan etika dibaliknya. Hari sabat diadakan untuk memperkaya pemaknaan hidup manusia di hadapan Allah, memperkaya refleksi seseorang untuk menjadi semakin manusiawi. Hari sabat tidak dilewatkan Yesus, namun justru Dia mau masuk ke dalam roh yang menjiwai semangatnya. Perombakan radikal yang Yesus lakukan dalam perikop digambarkan sebagai sikap yang telah melampaui jeratan moralitas yang melulu tertuju pada salah satunya. Dan kecenderungan seperti itu masih banyak dijumpai di tengah kehidupan masyarakat, juga di tengah kehidupan orang yang percaya pada Kristus. Oleh karenanya, demikian ajakan terakhir sang pengkotbah, penting bagi orang Kristen untuk selalu merefleksikan tindakan baiknya, sudahkah segala tindakan baik itu berasal dari roh Cinta kasih Allah. Demikian juga penting untuk selalu jeli merefleksikan ibadahnya, sudahkah segala ritual ibadah dapat dilampaui tidak lagi sebagai kebiasaan dan tradisi saja melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh perjuangan hidup menjadi serupa dengan Kristus.

Selamat hari minggu.
[Dengan penuh hormat dan penghargaan penulis menyampaikan terimakasih kepada pengkotbah hari ini: Pnt. Sutikno HP.]


Komentar

Postingan Populer