PENGAJARAN AGAMA

MENCERMATI ISU-ISU KONTEMPORER
YANG MEMPENGARUHI PENGAJARAN AGAMA
[TEMU PAMONG SEKOLAH MINGGU GKJW]


Ada banyak perubahan sosial telah terjadi dan secara langsung mempengaruhi pola dan cara orang menyampaikan dan menangkap pesan pengajaran agama. Peristiwa-peristiwa terpenting dalam diri seseorang (pengajar dan penerima ajaran) yang berhubungan dengan perkembangan dunia perlu dicermati untuk terus menerus membangun model paling efektif bagaimana pengajaran agama itu disampaikan dan diterima oleh anak didik.

ANAK DIDIKAN PENGAJARAN AGAMA

Langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak, kita semua adalah anak didikan pengajaran agama. Ada hal-hal mendasar yang akan terus melekat dalam ingatan seseorang pada saat sebuah pengajaran tertentu berkaitan dengan agama didengarkan dan dialami.

"Keluarga kami tinggal di sebuah desa muslim yang menyenangkan. Dan kami adalah keluarga satu-satunya yang beragama Kristen. Di dusun kami ada satu Masjid, dan satu Langgar yang seringkali juga berfungsi sebagai tempat pertemuan warga, tempat rapat pemuda desa, dan tempat anak-anak belajar menari tari tradisional. Kali pertama aku melihat teman bermainku berpuasa dan menunaikan sholat, tetangga yang adalah sahabat baik keluarga kami, aku tercengang dengan cara dan bahasa yang mereka gunakan. Bapakku dan Bapak temanku memandangku dengan senyum yang sangat melegakan kebingunganku. Di rumah, Bapakku menjelaskan dengan sabar bahwa setiap orang memiliki cara sendiri dalam bersujud syukur - berdoa - memuliakan Hyang Maha Kuasa. Sebuah penjelasan yang selalu aku hafal melebihi hafalanku terhadap Doa Bapa Kami."

Bahkan pemaknaan terhadap praktek tradisi keagamaan yang sangat ritualistik sekalipun, adalah ruang belajar tentang agama yang juga efektif. Perjamuan Kudus (upacara peringatan terhadap makna pengorbanan berupa santapan roti dan minuman anggur) adalah sakramen (simbol ikatan langsung antara seseorang dengan Tuhan), adalah satu bagian penting dalam ritual agama Kristen. Beberapa gereja masih memiliki kebiasaan - untuk menghormati seriusnya upacara itu - hanya memperbolehkan orang yang sudah berani membuat pengakuan publik hubungan personalnya dengan Tuhan (sekitar 17 tahun keatas) yang boleh mengikutinya.

"Pada saat saya berusia sekitar 15 tahun, kebetulan hari minggu itu saya bergereja berdua dengan Bapak saya. Ibu sakit dan saudara lain telah pergi pada jam yang berbeda. Hari itu bertepatan dengan Perayaan Perjamuan Kudus. Dan entah mengapa, saya ikut mengambil roti perjamuan (sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan oleh seorang anak seusia saya). Saya mendapat lirikan dari petugas, dari orang sekeliling tempat kami duduk, dan aku sadar betapa lancangnya aku mengambil roti itu. Dengan takut aku tunjukkan roti itu kepada Bapak. Bapakku melirik ke arah roti dan memintaku memakan satu dan mengantongi sisanya, doakan roti itu nanti untuk Ibumu."

Kegagalan fatal terhadap ritual paling suci yang saya lakukan, dan tatapan mata orang-orang disekeliling entah dengan heran atau dengan benci, tidak menjadi alasan bagi Bapakku untuk mengajari aku tentang, menghadapi kenyataan, dan secara kreatif melihat peluang baru yang ditawarkan oleh situasi itu. Pengajaran penting kedua yang aku terima tentang agama yang tidak menghukum, sekalipun terhadap kesalahan paling fatal terhadap kesucian ibadah.

Kita semua adalah anak didikan pengajaran agama. Apa yang kita pelajari tentang hidup, sedikit banyak dipengaruhi oleh bagaimana pengajaran agama yang kita terima atau yang tidak kita terima. Pengalaman-pengalaman konkrit yang kecil dalam keseharian aktivitas yang langsung berhubungan dengan refleksi keagamaan dan hidup, akan terus menjadi alat penting bagi diri kita untuk mentransformasikan iman dalam hidup.

GURU PENGAJARAN AGAMA

Menjadi guru pengajaran agama terhadap anak-anak adalah proses belajar yang sangat penting, sangat penting terutama terhadap seorang guru untuk belajar tentang perubahan dan keragaman yang dimiliki dan ditunjukkan-diekspresikan dengan tulus oleh anak-anak. Guru pengajar agama adalah ruang paling luas bagi transformasi iman baru peristiwa perjumpaan (engagement) antara pengalaman hidup keseharian dan prinsip-prinsip dasar iman, yang dijumpai pada interaksi terbuka mereka dengan semua murid dan situasi yang terjadi dibalik ekspresi anak-anak.

"Suatu kali saya mengajar anak-anak sekolah minggu di kelas kecil. Suasana sangat riang, cerita dan permainan mereka nikmati bersama, beberapa berlarian, ada yang naik di atas kursi dan meja, karena memang khabar gembira yang sedang dikisahkan kepada mereka. Tiba waktunya untuk melakukan doa (biasanya dianggap bahwa doa yang baik adalah yang dilakukan dengan disiplin sikap tubuh yang rapi, duduk dengan sikap tubuh tertentu). Ketika aku sampaikan hal itu, anak-anak berangsur tenang, beberapa sudah mengambil posisi doa umum tadi, beberapa bahkan sudah menutup matanya sekalipun masih dengan wajah penuh senyum dan tawa. Satu anak terjebak dalam posisi masih di atas kursi dan berdiri. Masih di atas kursi, dia diam, mengatur gerak tubuh siap berdoas sambil berdiri (di atas kursi). Dengan polos dia menanggapi ajakan untuk duduk mengatakan "aku bisa berdoa seperti ini".

Kelaziman tentang ide kesopanan, kedisiplinan, sikap doa, kepatuhan, dan keharusan sama seperti orang lain, sontak dipertanyakan oleh anak ini. Sebuah teguran keras bagi saya sebagai seorang guru pengajar agama. Apakah selama ini saya mengajari mereka berdoa, atau sekedar menekankan sikap disiplin doa? Apakah selama ini aku memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan diri sesuai dengan keceriaan usia mereka atau memaksakan sikap seharusnya seperti yang aku percayai harus dilakukan oleh setiap orang yang mau berdoa? Apakah aku menawarkan dengan tulus sebuah relasi personal seorang anak dengan Tuhannya, atau sekedar memperlihatkan kepada mereka tentang sikap patuh dan tunduk pada apa kata saya?

Dibutuhkan empati yang mendalam dari seorang pengajar agama terhadap para muridnya. Penghargaan terhadap perbedaan tidak hanya perlu dikatakan dan diperlihatkan tetapi selalu terus dipelajari dan dilihat dengan empati perubahan perkembangannya terjadi pada dunia sekitar dan terutama pribadi-pribadi anak-anak didik. Pola perilaku tiap orang bisa jadi merupakan presentasi dari kenyataan yang dihadapi jiwanya, sesuatu yang memang tidak kasat mata. Sesuatu yang hanya bisa dipahami dengan perhatian penuh empati.

"Pada saat memperhatikan keriangan anak-anak sedang menyanyikan lagu rohani anak paling populer saat itu berjudul "Bapak Abraham" saya merenung mendalam manakala memperhatikan seorang anak, hanya seorang, tidak begitu sejahtera dan memperlihatkan gerak-gerik yang nampak sangat menekan dirinya. Kupikir-pikir dengan memperhatikan siapakah anak itu, dan aku larut dalam kesedihannya. Seorang anak yang dibesarkan oleh kakek-neneknya, Ibunya merantau mencari kerja, dan dia tidak pernah sama sekali berjumpa dengan bapaknya. Seorang anak tanpa Bapak yang terjebak berada dalam kegembiraan masa kebanggaan memiliki Bapak Abraham."

Tantangan terbesar pengajaran agama bukanlah agama, bukan materi yang diajarkan, bukan dinamika realitas yang terus berkembang. Tantangan terbesar sepanjang masa tentang pengajaran agama terletak pada manusianya. Terletak pada bagaimana SIKAP kita - baik sebagai pengajar maupun penerima ajaran. Terletak pada bagaimana kesiapan kita berinteraksi dengan realitas dinamika hidup dalam refleksi mendalam tentang kasih dan penerimaan Tuhan yang diajarkan oleh semua agama. Dengan alasan inilah maka refleksi dibawah ini sekaligus memperlihatkan bagaimana isu-isu kontemporer yang sedang terjadi baik dalam agama maupun terutama dalam perubahan sosial yang terjadi di masyarakat memberi pengaruh langsung terhadap proses pengajaran agama. Siap ataupun tidak siap.


PERUBAHAN SOSIAL DAN PENGARUHNYA

1. Teknologi

Perkembangan teknologi yang memperkenalkan kepada anak-anak sebuah dunia maya baru, beragam permainan berbasis komputer dan internet, kemasan permainan yang semakin canggih membutuhkan kejelian, ketrampilan dan tentu biaya yang tidak sedikit, jelas merubah cara pandang terhadap dunia. Teknologi video game sudah sampai pada generasi paling canggihnya bahkan anak-anak di desa dekat sawah gunung dan laut pun dengan mudah bisa mengaksesnya dengan bebas.

Perlahan tapi nampak jelas perubahan yang terjadi yang memisahkan membedakan satu generasi ke generasi selanjutnya. Konsep anak-anak sekarang dan juga orangtuanya tentang bermain, berteman, dan berinteraksi bersama dengan orang lain menjadi sangat berbeda dibandingkan dengan situasi sebelum semua permainan elektronik itu tersedia masif.

Sekarang urusan bermain adalah urusan personal dengan mesin. Kalaupun dibutuhkan teman, konsentrasi permainan adalah mesin dan bukan manusianya. Bermain selalu dimulai dengan pertanyaan dengan "apa". Tidak lagi dengan "siapa". Jika tidak ada apa-apa, maka tidak lagi ada permainan. Sekalipun dikelilingi oleh banyak orang, teman, kawan, dan saudara, ketika tidak ada sesuatu yang dijadikan obyek permainan, anak mengalami kebingungan untuk melihat permainan adalah sebuah sarana untuk bergembira bersama.

Jadi tidak perlu heran jika dalam proses pengajaran agama dan pengajar menggunakan media permainan, referensi yang dimiliki anak-anak adalah game play station. Ketika diajak melakukan role play yang mengharapkan mereka memerankan sesuatu, referensi mereka adalah sinetron di televisi. Maka ketika diajak mendengar sebuah cerita, kita bisa membayangkan gambaran tokoh-tokoh penting yang muncul di kepala mereka.

Realitas dunia media tidak bisa dipungkiri, dan kita tidak bisa berpura-pura tidak sadar seolah-olah itu tidak memberi pengaruh terhadap anak-anak kita, terhadap anak didikan pengajaran agama. Sebuah contoh sederhana bisa dijadikan alat refleksi. Ketika anak-anak diajak untuk menyanyi: "aku bukan pasukan berkuda, pasukan menembak, pasukan ...." Apakah gambaran terbesar yang ditangkap adalah mengenai BUKAN nya, atau justru tertanam mengenai pasukan, berkuda, menembak, ....?

Jelas dibutuhkan sensitifitas yang semakin empatik terhadap kondisi anak-anak jaman sekarang. Jelas tidak mungkin kita menggunakan pendekatan negatif dengan menerapkan disiplin larangan kepada mereka. Sebab jikalaupun tidak kita sediakan dirumah, anak-anak bergaul dengan anak lain yang berada dalam dunia maya itu.

Selanjutnya, ada perubahan konsep tentang "milik" sebagai fungsi atau sebagai status sosial, sebagai gengsi. Di kota-kota, sudah sangat jarang orang yang tidak lagi memiliki HP. Bahkan lebih dari satu, supaya bisa merasakan memiliki identitas ganda dan berbeda. Saya kadang membayangkan apakah orang seperti itu akan SMS ke HP nya sendiri yang lain juga ya? Beberapa anak mulai merasa malu jika tidak menenteng HP saat bersama teman-temannya.

Kadang HP yang sangat canggih dimiliki, sekalipun fungsinya lebih banyak hanya untuk mendengar lagu dan SMS. Karena untuk akses yang lain, dan juga Telephon biaya pulsa dirasa terlalu tinggi. Memiliki, dalam konteks teknologi media, berarti berada dalam status sosial tertentu dalam masyarakat. Tingkat kecanggihan kepemilikan menjadi ukuran. Apakah yang dimiliki itu memberikan fungsi sepenuhnya atau tidak, bukanlah menjadi perhatian penting lagi. Mudah dipertanyakan, mengapa harus memiliki alat yang begitu canggih kalau kita tidak menggunakannya?

Nampaklah bahwa tantangan besar pengajar agama adalah dalam hal memperkenalkan mentalitas yang mampu bersikap bijak terhadap segala perkembangan teknologi. Kita tidak bisa membendung perkembangan teknologi, tidak pula bisa melarang agar generasi penerus menghindari teknologi tertentu, yang bisa kita lakukan hanyalah menyiapkan orang-orangnya, merubah mentalitasnya, dan memperkenalkan sikap rendah hati yang tulus. Dan ini sangat efektif jika dilakukan melalui contoh-contoh konkret.

2. Politik dan Budaya Pendidikan

Kita bisa melihat langsung pada trend dan arah pendidikan formal yang terjadi pada anak-anak sekarang. Ada semacam anggapan umum bahwa semakin banyak anak mengikuti les, kursus, pelajaran tambahan, semakin membanggakan orangtua, semakin menjadi gengsi bahwa anak bisa melakukan segalanya melebihi orang tua. Kursus bahasa Inggris, Perancis, Mandarin. Kursus Piano, Biola, Fashion, berenang, tenis, dan olah vocal serta modern dancing. Les segala bentuk model pelajaran matimatika jari, lajur ala Jepang, dan Sempoa. Semua hal yang bisa memperlihatkan betapa sibuknya si anak belajar-dan-belajar ditawarkan di sekitar kita.

Model penjurusan dan "pemaksaan" pada jurusan yang paling "laku" di pasaran (yang dianggap segera bisa menjadi profesi yang memperkaya seseorang) sangat diminati dan menjadi bisnis besar. Puluhan dan bahkan Ratusan juta untuk masuk fakultas kedokteran dianggap lumrah karena setelah jadi dokter uang seperti itu segera akan dipulihkan. Sama persis model berpikirnya seperti para Caleg yang ingin menjabat.

Beban politik dan budaya pendidikan yang harus ditanggung oleh anak-anak sangat berlapis. Mulai dari keinginan dan idealisme orangtua dan keluarga, tantangan dan peluang dalam pasar kerja, hingga - nah ini celakanya - tekanan dunia di sekitarnya, budaya populer yang membentuk pola pikir tentang yang namanya "keberhasilan". Anehnya, sama seperti kebanyakan sinetron dan film Indonesia, puncak keberhasilan hidup itu diraih ketika orang menikah. Gurauan, pertanyaan, dan sindiran selalu menyertai pembicaraan tentang masa depan bentuknya selalu berujung pada "sudah menikah?" Setinggi dan sehebat apapun cita-cita seseorang, selalu dibebani dengan status (yang sebenarnya sangat personal ini) yang satu ini.

Pengakuan dan pembiasaan untuk menghargai minat personal seringkali menjadi hal yang amat mahal. Penyeragaman tidak hanya terjadi pada pakaian dan bahkan mode berpenampilan. Tekanan penyeragaman juga dilakukan terhadap cara memilih minat, cara menentukan hobby, cara bergaya dan menjadi diri sendiri, bahkan terhadap pilihan bidang studi yang diingini dan disenangi. Campur tangan politik dan budaya pendidikan kita sudah sampai pada kedalaman membentuk kepribadian yang ditundukkan pada keseragaman. Berbeda dengan yang lain menjadi ancaman dan bisa membahayakan "harmonisasi" kelompok. Pendek kata, talenta personal masing-masing pribadi yang dimiliki anak - karunia terindah dari Allah - itu berada di bawah kontrol common sense sosial, apa kata orang banyak yang belum tentu baik dan benar.

Pengajaran agama menjumpai tantangan terbesarnya di wilayah ini. Pertanyaannya sederhana. Ketika politik dan budaya pendidikan dianggap lazim sebagai alat pembentukan-penaklukan penyeragaman bahkan terhadap minat personal tiap anak, adakah tempat atau ruang paling aman bagi anak untuk menjadi merdeka mengaktualisasikan dirinya secara otentik? Bisakah waktu yang hanya sepenggal dalam perjalanan hidup anak, pengajaran agama menjadi ruang paling aman bagi anak untuk menumbuhkan minat dan talenta terbaiknya?

3. Keberagaman

Keberagaman sebenarnya bukan hal yang asing lagi dalam kehidupan keseharian kita. Perbedaan agama, suku, ras, jenis kelamin, bentuk tubuh, gaya potongan rambut, kecenderungan seksual, dan lain sebagainya kita jumpai setiap saat. Di samping kondisi riil seperti itu, semangat demokratisasi bernegara dan berbangsa kita begitu kuat, mampu memperlihatkan keragaman sebagai sebuah anugerah yang indah dalam kehidupan. Kita semua menyadari dan bahkan mengenal dengan sangat kenyataan keberagaman sampai hal-hal yang paling kecil terdapat pada diri kita sendiripun, pada keluarga, dan pada kelompok terdekat kita. Perbedaan mudah dikenali, diakui, disyukuri. Apakah itu cukup untuk membuat kita mahir mengelolanya?

Berada dalam konteks keragaman hidup ternyata tidak secara otomatis membuat orang menjadi terbiasa dan mahir mengelola perbedaan. Pengakuan terhadap adanya kepelbagaian tidak secara langsung berakibat pada sikap kerendahatian menghargai perbedaan. Pengajaran tentang keragaman menjadi sesuatu yang baru bagi masyarakat yang sejak dari nenek moyangnya dikenal hidup dalam keragaman. Sebuah kenyataan yang menjadi tantangan besar pagi para pengajar agama. Terutama karena keragaman agamalah yang seringkali memperlihatkan kepada kita betapa kita tidak memiliki ketrampilan mengelolanya dengan arif.

Mari berleksi tentang kebiasaan kita melihat perbedaan, yang langsung atau tidak langsung memberi pengaruh penting pada pola pengajaran agama yang kita berikan.

  • Yang paling umum dan paling sensitif dimiliki oleh orang beragama biasanya adalah konsep tentang kebenaran illahi. Bahwa kebenaran illahi tak terbantahkan dan tidak bisa memiliki perbedaan penafsiran. Karena kebenaran illahi adalah tunggal dan tak terbantah maka tiap agama berlomba-lomba dan sibuk terutama dalam rangka melakukan pemutlakan kebenaran tunggal. Penanaman pemutlakan kebenaran tunggal sejak dini yang diajarkan lewat hal-hal kecil (seperti nyanyian, cerita, anjuran), akan sangat mudah menghasilkan generasi yang kesulitan untuk belajar tentang toleransi secara tulus dan terbuka.
  • Penamaan dan penggunaan cara beragama, bergaya hidup, berpakaian, bahkan pemilihan istilah-istilah yang sangat eksklusif juga menjadi gaya umum pengajaran agama dijadikan budaya populer menarik publik. Akibatnya adalah, timbulnya stereotiping yang tidak sehat yang tertanam dalam bawah sadar seseorang terhadap realitas perbedaan.
  • Segregasi berdasarkan jenis kelamin (dan usia). Pembedaan peran berdasarkan jenis kelamin ini sering dimaklumi karena begitulah yang digambarkan dalam konteks tradisi Alkitab tanpa sikap kritis merelevansikannya pada konteks kesetaraan yang ada saat ini. Seorang ayah pencari kerja diluar rumah, dan Ibu memasak dirumah sering mudah terucapkan dengan ringan. Tetapi gambaran ideal ini telah menjumpai situasi yang berbeda. Bagaimana kalau Ibu yang kerja? Atau bagaimana kalau Ibu dan Bapak kerja semua dan jarang pulang semua? Dan banyak situasi riil yang membutuhkan sensitifitas pengajar agama agar segregasi berdasarkan jenis kelamin tidak menghalangi anak untuk memahami realitas.
  • Membuat asumsi berdasarkan idealisme melodramatis ala sinetron. Gambaran-gambaran ideal tentang keluarga, hidup pertemanan, dan lingkungan, perlu diteliti dengan jeli, karena tidak selalu akan menghadirkan pesan yang sesuai dengan kondisi riil anak. Contoh yang paling sederhana dapat dilihat dalam hal ini adalah idealisme yang berlebihan terhadap gambaran tentang keluarga. Hal mana membuat kita sering tidak peka apakah seorang anak itu hidup seideal yang kita bayangkan. Bagaimana dengan anak yang single parent, bagaimana dengan yang dibesarkan oleh kakek-nenek atau anggota keluarga lain, bagaimana kalau adopsi, bagaimana kalau dirumah yang ada hanya dua Ibu atau dua Ayah. 
Dari beberapa contoh di atas satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kenyataan bahwa perbedaan dan kepelbagaian itu tidak hanya berkaitan dengan SARA, tetapi juga meliputi cara pandang dunia dan praktis kehidupan sehari-hari tiap orang. Dalam situasi ini, budaya basa-basi yang cenderung menutup-nutupi kenyataan perbedaan sama sekali tidak akan menolong. Dibutuhkan keberanian untuk menanamkan sejak dini penghargaan terhadap perbedaan sampai pada hal-hal kecil pilihan minat, kesukaan, dan orientasi hidup anak didikan pengajaran agama.


REFLEKSI

Sebagai penutup nampaknya kita perlu merefleksikan ulang tentang budaya ketulusan dan kejujuran, semangat (spirit) penghargaan dan model pengajaran agama yang membebaskan. Model-model pendekatan ini sudah sangat populer dijadikan buku dan beberapa malah menjadi tontonan menarik di telivisi. Yang perlu dijadikan penekanan reflektif bagi para pengajar agama adalah sejauh mana hal-hal itu efektif bermanfaat bagi proses belajar agama bagi anak.

Ruang dan waktu terjadinya pengajaran agama adalah kesempatan terpenting untuk menjadi tempat PALING AMAN bagi si anak bahkan untuk berani jujur mengakui perasaan terdalamnya, hal mana karena semakin menguatnya budaya modern, peluang itu tidak didapatkan si anak baik di sekolah, di rumah, bahkan di lingkungan bermainnya. Peluang menjadi ruang paling aman inilah yang paling memberi harapan bagi proses pengajaran agama menjadi bermanfaat dan bermakna.

Selain menjadi ruang paling aman, kesempatan pengajaran agama dilakukan adalah untuk membiasakan menemukan hal-hal berharga dalam diri dan orang lain. Dengan penghargaan yang tulus, anak dapat menjadi otentik berekspresi dan belajar melihat dengan kerendahan hati apa yang berbeda dengan dirinya lantas menghormatinya. Ruang penghargaan menjadi penting karena budaya populer melazimkan kompetisi yang tidak sehat dan membiasakan bullying sebagai sarana membentuk komunitas.

Jika dalam ruang paling aman bagi anak itu iklim yang ditampilkan adalah penghargaan, maka penyampaikan khabar sukacita, khabar baik, kabar pembebasan dan kemerdekaan yang dianugerahkan oleh kasih Tuhan menjadi berita yang sangat bermakna.

Selamat menjadi para pengajar agama, selamat menjadi manusia.


IPTh Balewiyata, 2014


Komentar

Postingan Populer