Agama dan Media
SEMUA BERAWAL DARI MANUSIA
Sebagai sebuah organisasi yang memiliki kepentingan dan pengaruh publik, agama memanfaatkan media dengan beragam asumsi dasar dan kepentingan. Bagaimana agama memanfaatkan media juga memiliki model dan format yang beragam dan tidak jarang saling berseberangan dalam potensi kompetisi maupun konflik. Ini kesadaran awal mendiskusikan perjumpaan organisasi agama dengan pemanfaatan media.
Beberapa waktu yang lalu kami beberapa aktivist Gereja (atau lebih tepatnya aktivis kemanusiaan yang faith-based) di Malang dan sekitarnya mendiskusikan hal itu . Khususnya bagaimana memanfaatkan media website untuk kepentingan dan pengaruh lembaga agama terhadap masyarakat dan dunia.
Beberapa hal menarik munghasilkan refleksi, pertama, tentang begitu rumitnya menemukan titik temu yang relatif presisi antara kehendak memberi pengaruh dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Kedua, tentang begitu terbukanya peluang dan fasilitas aset dimiliki tiap agama terdapat dalam potensi diri orang-orang yang setia menghormatinya. Ketiga, tentang pentingnya relasi antar-manusia, jauh lebih penting dari struktur organisasi (yang terikat dengan legalitas dan keanggotaan), bahkan jauh lebih penting dari struktur hirarki dan jumlah account yang bisa dibuat dalam dunia maya.
KABAR BAIK
Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa pihak yang menguasai informasilah yang akan memiliki kekuatan (power), maka urusan "memiliki" dan "mengontrol" menjadi persoalan awal yang nampak bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi dan berpendapat, pun tentang dan terhadap dirinya sendiri. Manakah yang lebih memiliki kontrol terhadap alam berpikir manusia saat ini? Otoritas struktur organisasi keagamaan ataukah arus bebas berita-siulan-sesumbar-curhat-artikel-buku-pikiranlepas-film-gambar-kotbah-dsb yang ditawarkan hampir tanpa batas (waktu, konten, kuantitas, kualitas, model) oleh media masa?
Beberapa alternatif terpikirkan. Pentingkah membuat sistem klasik pemasaran yang berbasis pada penguasaan produksi jasa dan termasuk pembatasan pada distributor dan konsumennya?
Perlukah berjalan dengan mekanisme pasar modern dengan persaingan terbuka dan bebas? Ataukah, ini yang masih perlu dipikirkan panjang, adakah sistem yang lebih mengabarkan sukacita pada tiap orang yang tersentuh oleh fasilitas teknologi dunia maya ini?
DI LADANG BUKAN DI MEDAN PERANG
Seperti sebuah perdebatan antara pakar jurnalisme demokratis-terkontrol, jurnalisme etis-humanis, dan jurnalisme provokatif-reaksioner, persoalan menyampaikan pendapat berjumpa dengan "saringan" naturalnya yaitu "pasar" dan kostumer. Ide dan refleksi penting bagi proges dan masa depan organisasi agama, untuk dapat terus menjadi bagian penting dalam dinamika kehidupan di puncak kejayaan teknologi, mendapatkan tantangan terbesarnya. Bukan dari beragamnya asumsi dan persepsi terhadap "ide dan refleksi" itu, melainkan juga terhadap peran dan fungsinya dalam gerakan pembaharuan paradigma bagi kehidupan yang lebih baik.
Sekali lagi muncul pergumulan tentang mekanisme dan cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem. Apakah pendekatan konservatif-dogmatis (sebagaimana diakui sebagai bagian dalam mazhab berpikir yang juga populer di masyarakat), ataukah pendekatan etis-kultural yang membutuhkan apresiasi dan wawasan dalam mengejanya, atau pendekatan praktis-pragmatis yang lebih memiliki peluang menghadirkan kontroversi dan kerumunan orang untuk memuaskan sensasinya menolak-menyetujui, meneruskan-menjelekkan, dan lain sebagainya sebagaimana paradoks teknologi selalu dimaklumi?
MANUSIA DAN BUKAN MESIN
Berita sukacita seperti apakah kiranya yang hendak diwartakan dengan ini semua. Dialog? Demokratisasi? Kemerdekaan berekspresi? Atau, adakah terobosan baru yang hendak ditawarkan melampaui semua problematik populer masyarakat kita itu? Bukankah para Nabi dan penggagas agama juga membangun opini publik? Bukankah dalam sejarahnya bentuk pembangunan opini publik yang tak bisa dihindari itu selalu menghasilkan beragam teori yang kontroversial?
Khabar baik dan berita sukacita harus terus disuarakan dan dipertontonkan, dan kalau perlu dijadikan opini publik melampaui segala isu-isu terdekat yang memeiliki potensi menghambat tidak hanya para pekerjanya melainkan juga para kostumer yang merupakan suara terbanyaknya. Khabar baik perlu terus disuarakan termasuk dalam proses perencanaan karena menjalaninya dan target akhir yang diharapkan adalah berkumandangnya khabar baik itu sendiri.
Toleransi dan penerimaan, dialog dan penghargaan pada perbedaan, kesediaan berbagi (bukan berbisnis) dan penghormatan, pemberdayaan potensi dan penyadaran kemerdekaan, adalah ladang-ladang yang terbuka untuk ditanami benih-benih perdamaian, kemanusiaan, dan kasih universal.
MENGORGANISASI MEDIA
Sebuah situs website laksana sebuah buku dan media sosial adalah koran dan selebaran. Jalinan antara keduanya menjadi bermakna ketika ada kesinambungan ide dan fokus yang terkelola dengan bijaksana. Para ahli telah memperlihatkan bagaimana sebuah teks pun ketika itu telah menjadi konsumsi publik bukan lagi menjadi milik penulisnya. Karena proses interpretasi-reinterpretasi berlangsung di luar kontrol penulisnya lagi.
Maka pentingnya "milik" dan "kontrol" tidak bisa lagi diartikan sebagai sesuatu yang luar biasa. Seperti alunan gelombang air dari kolam yang tenang, kerikil kecil yang memicu gelombang itu akan tenggelam dan menjadi satu dengan air. Cipratan air ke darat yang membasahi kaki, itulah dampak akhir sebuah gerakan penebaran khabar baik melalui media dapat dipahami. Sebagaimana sebuah lagu: "Kau makin bertambah, ku makin berkurang".
" ... sebuah teks pun ketika itu telah menjadi konsumsi publik bukan lagi menjadi milik penulisnya."
Sebagai sebuah organisasi yang memiliki kepentingan dan pengaruh publik, agama memanfaatkan media dengan beragam asumsi dasar dan kepentingan. Bagaimana agama memanfaatkan media juga memiliki model dan format yang beragam dan tidak jarang saling berseberangan dalam potensi kompetisi maupun konflik. Ini kesadaran awal mendiskusikan perjumpaan organisasi agama dengan pemanfaatan media.
Beberapa waktu yang lalu kami beberapa aktivist Gereja (atau lebih tepatnya aktivis kemanusiaan yang faith-based) di Malang dan sekitarnya mendiskusikan hal itu . Khususnya bagaimana memanfaatkan media website untuk kepentingan dan pengaruh lembaga agama terhadap masyarakat dan dunia.
Beberapa hal menarik munghasilkan refleksi, pertama, tentang begitu rumitnya menemukan titik temu yang relatif presisi antara kehendak memberi pengaruh dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Kedua, tentang begitu terbukanya peluang dan fasilitas aset dimiliki tiap agama terdapat dalam potensi diri orang-orang yang setia menghormatinya. Ketiga, tentang pentingnya relasi antar-manusia, jauh lebih penting dari struktur organisasi (yang terikat dengan legalitas dan keanggotaan), bahkan jauh lebih penting dari struktur hirarki dan jumlah account yang bisa dibuat dalam dunia maya.
KABAR BAIK
Seperti sebuah pepatah yang mengatakan bahwa pihak yang menguasai informasilah yang akan memiliki kekuatan (power), maka urusan "memiliki" dan "mengontrol" menjadi persoalan awal yang nampak bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi dan berpendapat, pun tentang dan terhadap dirinya sendiri. Manakah yang lebih memiliki kontrol terhadap alam berpikir manusia saat ini? Otoritas struktur organisasi keagamaan ataukah arus bebas berita-siulan-sesumbar-curhat-artikel-buku-pikiranlepas-film-gambar-kotbah-dsb yang ditawarkan hampir tanpa batas (waktu, konten, kuantitas, kualitas, model) oleh media masa?
Beberapa alternatif terpikirkan. Pentingkah membuat sistem klasik pemasaran yang berbasis pada penguasaan produksi jasa dan termasuk pembatasan pada distributor dan konsumennya?
Perlukah berjalan dengan mekanisme pasar modern dengan persaingan terbuka dan bebas? Ataukah, ini yang masih perlu dipikirkan panjang, adakah sistem yang lebih mengabarkan sukacita pada tiap orang yang tersentuh oleh fasilitas teknologi dunia maya ini?
DI LADANG BUKAN DI MEDAN PERANG
Seperti sebuah perdebatan antara pakar jurnalisme demokratis-terkontrol, jurnalisme etis-humanis, dan jurnalisme provokatif-reaksioner, persoalan menyampaikan pendapat berjumpa dengan "saringan" naturalnya yaitu "pasar" dan kostumer. Ide dan refleksi penting bagi proges dan masa depan organisasi agama, untuk dapat terus menjadi bagian penting dalam dinamika kehidupan di puncak kejayaan teknologi, mendapatkan tantangan terbesarnya. Bukan dari beragamnya asumsi dan persepsi terhadap "ide dan refleksi" itu, melainkan juga terhadap peran dan fungsinya dalam gerakan pembaharuan paradigma bagi kehidupan yang lebih baik.
Sekali lagi muncul pergumulan tentang mekanisme dan cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem. Apakah pendekatan konservatif-dogmatis (sebagaimana diakui sebagai bagian dalam mazhab berpikir yang juga populer di masyarakat), ataukah pendekatan etis-kultural yang membutuhkan apresiasi dan wawasan dalam mengejanya, atau pendekatan praktis-pragmatis yang lebih memiliki peluang menghadirkan kontroversi dan kerumunan orang untuk memuaskan sensasinya menolak-menyetujui, meneruskan-menjelekkan, dan lain sebagainya sebagaimana paradoks teknologi selalu dimaklumi?
MANUSIA DAN BUKAN MESIN
Berita sukacita seperti apakah kiranya yang hendak diwartakan dengan ini semua. Dialog? Demokratisasi? Kemerdekaan berekspresi? Atau, adakah terobosan baru yang hendak ditawarkan melampaui semua problematik populer masyarakat kita itu? Bukankah para Nabi dan penggagas agama juga membangun opini publik? Bukankah dalam sejarahnya bentuk pembangunan opini publik yang tak bisa dihindari itu selalu menghasilkan beragam teori yang kontroversial?
Khabar baik dan berita sukacita harus terus disuarakan dan dipertontonkan, dan kalau perlu dijadikan opini publik melampaui segala isu-isu terdekat yang memeiliki potensi menghambat tidak hanya para pekerjanya melainkan juga para kostumer yang merupakan suara terbanyaknya. Khabar baik perlu terus disuarakan termasuk dalam proses perencanaan karena menjalaninya dan target akhir yang diharapkan adalah berkumandangnya khabar baik itu sendiri.
Toleransi dan penerimaan, dialog dan penghargaan pada perbedaan, kesediaan berbagi (bukan berbisnis) dan penghormatan, pemberdayaan potensi dan penyadaran kemerdekaan, adalah ladang-ladang yang terbuka untuk ditanami benih-benih perdamaian, kemanusiaan, dan kasih universal.
MENGORGANISASI MEDIA
Sebuah situs website laksana sebuah buku dan media sosial adalah koran dan selebaran. Jalinan antara keduanya menjadi bermakna ketika ada kesinambungan ide dan fokus yang terkelola dengan bijaksana. Para ahli telah memperlihatkan bagaimana sebuah teks pun ketika itu telah menjadi konsumsi publik bukan lagi menjadi milik penulisnya. Karena proses interpretasi-reinterpretasi berlangsung di luar kontrol penulisnya lagi.
Maka pentingnya "milik" dan "kontrol" tidak bisa lagi diartikan sebagai sesuatu yang luar biasa. Seperti alunan gelombang air dari kolam yang tenang, kerikil kecil yang memicu gelombang itu akan tenggelam dan menjadi satu dengan air. Cipratan air ke darat yang membasahi kaki, itulah dampak akhir sebuah gerakan penebaran khabar baik melalui media dapat dipahami. Sebagaimana sebuah lagu: "Kau makin bertambah, ku makin berkurang".
" ... sebuah teks pun ketika itu telah menjadi konsumsi publik bukan lagi menjadi milik penulisnya."
Komentar