KUTUK SISIPUS
Entah dosa apa yang dilakukan rakyat dan bangsa ini hingga kutukan Sisipus masih saja terulang dan menjadi catatan memalukan bagi sejarah menjadi Indonesia. Setiap kali gelora perubahan dan semangat penuh harapan pada perkembangan baru membahana melibatkan seluruh kesadaran etis-politis seluruh warga negara, dengan mudahnya "batu dalam gendongan" yang hampir - ya mungkin saat ini belum terlalu hampir - mencapai puncak tujuannya itu gogrog dan dengan deras menggelinding sendiri - dibiarkan dengan kesadaran penuh para elit kepercayaan rakyat - jatuh ke bawah. Menggelinding jauh lebih cepat dari usaha jerih juang ketika "batu" penjuru demokrasi itu dijunjung, dibopong, dipikul untuk dinaikkan, ditempatkan dalam tahta martabat sebuah bangsa.
Ada banyak pilihan ditawarkan, Albert Camus sendiri melihat bahwa pemberontakan adalah langkah terbaiknya. Namun bangsa ini telah belajar, bahwa peristiwa "pemberontakan" bisa direkayasa, dimanipulasi, dan dijadikan dasar moralitas untuk melanggengkan politik kemarahan, balas dendam, dan pengkhianatan yang telah menciderai akal sehat beberapa generasi. Pilihan untuk "menjadi berbeda" juga telah terbukti, dan hingga kini masih terus dipraktekkan, dijadikan alasan kekuasaan untuk memecah-belah dan memanggang terus didih kebencian.
Kutukan Sisipus telah terjadi sejak kejayaan Sriwijaya yang sempat hampir mencengangkan dunia dengan kebesaran kearifan pertumbuhan intelektualitasnya. Terjadi pada Mojopahit yang sempat hampir mencapai raksa wacana keterhubungan Nusantara dalam semangat penghargaan pada perbedaan yang tulus.
Kembali merangkak lagi, memikul batu yang sama, mengharap cita yang sama, dalam jalan yang sama, era Revolusi pernah sempat pula mencatatkan capaian terbaiknya, putra-putri terbaik Indonesia menggelorakan gotong-royong bagi satu tujuan kemerdekaan. Semua diakomodasi, semua dihargai, bahkan mantan pencopetpun bisa menyandang Letnan Jendral, semua penting, perdebatan, konflik, perbedaan dihormati sebagai spirit perubahan, karena batu yang satu itu harus sampai di puncak sana. Dan boom, batu itu menglinding deras melindas-membantai para pengusung terbaiknya.
Mulai lagi dari awal, rekayasa pembangunan dikumandangkan, manipulasi keberhasilan dipromosikan, semua gembira, batu besar diusung kembali menuju kesejahteraan nasional. Batu yang sama, rute yang sama, dengan cara yang sedikit aneh karena mengandalkan topangan kayu-kayu ekonomi, kayu-kayu yang harus didatangkan jauh dari bangsa lain, kayu-kayu yang semua orang tahu suatu saat nanti akan menjadi beban hutang abadi generasi mendatang. Tidak peduli, batu harus diusung ke atas, korupsi-kolusi-nepotisme dimaklumi sebagai budaya, dan siapa berani omong besar dan terutama marah besar dianggap sebagai pahlawan. Mudah ditebak, ketika - tak juga nyaris kesejahteraan rakyat itu didapat - batu menggelinding kebawah mencari tumbal.
Butuh waktu amat lama untuk mengobati luka-luka yang sudah menjadi borok logika hidup berbangsa. Dendam tanpa alasan logis bahkan diajarkan di kurikulum-kurikulum sejarah. Teror ketakutan pada perbedaan yang disuapi oleh dukungan bersenjata menjadi anjing-anjing penjaga agar setiap orang selalu mencurigai orang lain. Agama dijadikan alat untuk menghakimi dan berlindung dibawah ketiak kekuasaan agar juga bisa turut mengontrol dan memaksa pengikutnya sendiri, para pemuja tulus yang harus matirasa dibuatnya.
Dimulai lagi usungan terhadap batu itu. Ketulusan penerimaan, keadilan yang dilandasi kasih, demokrasi yang bermartabat ditawarkan agar batu besar itu tidak mengancam, tidak menjadi beban, melainkan menjadi kegembiraan bersama seluruh rakyat, tanpa pandang bulu, dalam nyanyian bersama menuju puncak martabatnya. Baru saja ide itu digulirkan, sang penggagas dilengserken dan perebutan siapa yang menjadi pemilik kapling terbesar, pemilik citra sebagai pejuang dan pahlawan demokrasi, menjadi tawar menawar seperti di pasar barang bekas dan barang antik. Harga yang harus dibayarkan begitu besarnya terhadap hal-hal yang sebenarnya telah usang dan basi.
Batu besar itu milik rakyat, harapan baru harus ditumbuhkan, agar rakyatlah yang paling merasa bertanggungjawab pada bergerak atau tidaknya batu tersebut. Kutukan tidak ada lagi, yang ada adalah anugerah. Karena kali ini, yah baru kali ini, harapan rakyat yaitu masa depan hidup rakyat itu sendiri yang dijadikan tempat berpijaknya. Nah ini baru ide yang menyegarkan, ini perkembangan yang membanggakan. Banyak kawan dan lawan menjadi segan, karena bangsa ini dapat melalui sebuah "pemberontakan paradigma", tidak lari dari kenyataan, tapi berani berdiri di atas kenyataan.
Kutukan Sisipus ternyata juga bisa bertransformasi. Karena tidak ada lagi kesempatan untuk bisa mengontrol siapa yang akan dijadikan pahlawan dan siapa yang harus dikorbankan, karena dengan topangan seluruh rakyat berarti tidak ada lagi jurang pemisah untuk memainkan drama absurditas, sekelompok orang dengan gagah berani menggali kembali jurang jarak itu. Sekuat apapun kekuatan rakyat, kalau tetap diciptakan jarak tempat orang bisa mengatur kapan semua harus mendorong ke atas dan kapan harus digulingkan ke bawah lagi, maka rakyat akan terus jadi mainan seru. Digalilah lobang itu rame-rame dengan terhormat di jantung aliran demokrasi dijadikan rujukan pandangan rakyat dan dunia.
Jelas itu sebuah gerombolan penggali gerak mundur agar batu bergulir kembali ke masa lalu ketika rakyat tidak lagi dianggap perlu. Jelas juga siapa-siapa dibalik gerombolan itu. Ada yang malu-malu, ada yang intelektual berbasa-basi dengan ilmu matematika, ada yang berkoar menyatakan bahwa langkah ini untuk proses demokrasi.
[Rupanya aku harus belajar Filsafat lagi, sekalipun aku dengar Fakultas Filsafat kebanggaan Indonesia terancam ditutup karena kekurangan mahasiswa, aku tidak ingin menjadi manusia yang absurd]
Tentang mite Sisipus: http://en.wikipedia.org/wiki/The_Myth_of_Sisyphus
Komentar