Rasa Malu dan Pendampingan Pastoral



Dalam praktek pelayanan pastoral, rasa malu seringkali menjebak baik pastor, orang yang membutuhkan pen-dampingan dan bahkan juga jemaat. Rasa malu pada kutub tertentu dapat menyebabkan seseorang kesulitan untuk dengan terbuka meng-ekspresikan perasaan, pikiran, dan bahkan peristiwa yang menimpa dirinya. Rasa malu, di sisi yang bertentangan, bisa menghasilkan tindakan yang samasekali tidak berkaitan dengan apa yang terjadi yang menyebabkan seseorang malu. Di kutub yang lain, rasa malu merangsang orang untuk bermain “drama” dengan kenyataan yang sesungguhnya dan cenderung mamanipulasinya untuk kepentingan bersama. Alasan utamanya biasanya adalah harmonisasi sosial, ketenangan, ketentraman, dan kelegaan seluruh anggota masyarakat. Sebuah situasi dimana kebohongan dianggap dimaklumkan dan bahkan dianggap wajar, kebencian dibangun dan ditebar, siasat-siasat tertentu dilakukan, bahkan tindakan paling keji seperti pengingkaran, pengucilan, pembuangan, pembiaran, dengan mudah diterima sebagai konsekuensi yang dianggap etis.

Mengapa rasa malu begitu kuat mendominasi cara berpikir, mengambil keputusan dan bersikap, serta menentukan tindakan seseorang? Ada beberapa alternatif jawaban yang nampak dominan dalam komunitas kita yang perlu dianalisis:
  1.              Adanya asusmsi bahwa orang “baik” yang tidak memalukan (melakukan tindakan yang membuat dirinya dan anggota kelompoknya merasa malu) adalah orang yang dalam tiap kata, perbuatan, dan tindak-tanduknya sesuai dengan kehendak, selera, kemauan, harapan, dan ketentuan komunitas. Umumnya dipahami bahwa tradisi, adat, kebiasaan, norma sosial sudah ada dengan sendirinya sebagai “hukum tidak tertulis” di dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa diganggu gugat. Jadi orang “baik” adalah yang tunduk tanpa mempertanyakan, menggugat, mentransformasikan, apalagi merefleksikan ulang. 
  2.       Rasa malu dianggap sebagai dosa paling besar yang dilakukan oleh seseorang. Artinya, orang bisa melakukan tindakan-tindakan yang dianggap salah dan dengan mudah mendapatkan pemakluman atau kesempatan untuk memperbaikinya. Tapi pada saat sebuah tindakan, apapun itu, oleh kebanyakan orang dianggap memalukan, orang akan sangat sulit mendapatkan rehabilitsi sosial.
  3.        Kita hidup di tengah lingkungan yang sangat menjaga tiap anggotanya untuk tidak berbuat sesuatu yang memalukan. Kriterianya memang tidak jelas dan kadang sangat tergantung pada tiap anggota komunitas. Jika sesuatu peristiwa terjadi, sebisa mungkin hal-hal yang memalukan ditutupi dan dirahasiakan secara bersama-sama oleh komunitas untuk menjaga “nama baik” anggota maupun keseluruhan komunitas. Maka tidak jarang kita mendengar istilah Rahasia Umum. Sebuah rahasia yang semua orang mengetahuinya namun semua orang menjaga kerahasiaannya.
  4.       Yang paling memalukan sebuah komunitas adalah jika apa yang mereka anggap rahasia itu disengaja dibongkar. Rahasia umum adalah mekanisme pertahanan akhir dari sebuah komunitas yang mejunjung budaya malu sebagai mekanisme pengambilan keputusan.

Dengan anggapan yang tersebar luas seperti itu, maka tidak jarang orang merancukan begitu saja antara rasa malu dan rasa salah. Orang yang salah, asal tidak terlalu memalukan dan bisa bermain dengan “Rahasia Umum” tentu dengan mudah mendapatkan rehabilitasi sosial bahkan pemakluman dan penerimaan. Namun jika seseorang dianggap memalukan, pembuktian benar atau salah bukan lagi menjadi pertimbangan yang penting. Dan tiap anggota komunitas yang turut merasakan malu dapat dengan leluasa mengumpulkan rasa marah, benci dan hukuman, yang pada gilirannya dapat dengan mudah menjadi penghakiman masa. 

Jika lembaga sosial yang tersedia cukup kuat dan arif, akumulasi penghukuman dalam rangka menghilangkan rasa malu itu tentu dapat disikapi dengan arif dan tindakan yang bijaksana. Namun jika lembaga sosial yang ada lemah dan telah terbiasa mengakomodasi kemarahan dan kebencian menjadi mekanisme penyelesaian masalah, bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan oleh masa seperti ini. Pendapingan pastoral dengan demikian diperhadapkan pada tantangan awal, dan bisa jadi terberat jika komunitas yang didampinginya mempraktekkan budaya malu tanpa kontrol akal sehat.

Komentar

Postingan Populer