KEMARAHAN MASAL

"Orang yang sangat cepat marah akan kena denda, karena jika engkau hendak menolongnya, engkau hanya menambah marahnya." (Amsl.19:19)


Akhir-akhir ini banyak kita jumpai begitu mudahnya terjadi perselisihan dan pertikain yang melibatkan satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Kadang mereka yang bertikai itu adalah tetangga RT, RW, atau Desa, yang dapat dipastikan bahwa sebelumnya mereka saling mengenal, saling menyapa dan mungkin saling berelasi perkawanan, persaudaraan, keluarga. 

Kenyataan bahwa mereka memiliki situasi ekonomi, politik, dan budaya yang relatif sama juga tidak mempengaruhi kenyataan begitu mudahnya mereka merasa memerlukan untuk saling menguasai, mendominasi, menunjukkan diri lebih kuat dari yang lain.

Penyebab pertikaian sering diberitakan meliputi adanya dendam lama antar kelompok tersebut, pertikaian berkepanjangan yang tidak pernah tuntas diselesaikan, dan stereotyping dari masing-masing kelompok kepada yang lainnya yang muatannya saling menghina, sarat kebencian dan cenderung melecehkan. Dalam keadaan seperti ini peristiwa-peristiwa kecil yang melibatkan dua kelompok masyarakat, bisa dengan mudah menyulut kemarahan masal yang penyelesaiannya berujung pada pertikaian; saling mengejek secara terbuka, saling mengeksploitasi keburukan dan kejahatan kelompok lain, saling menyerang secara mental maupun fisik.

Kemarahan masal adalah salah satu alasan budaya yang biasanya diakui oleh masing-masing pihak. Bahwa pertikaian, terutama yang berujung pada tindakan kekerasan dan saling membunuh adalah mekanisme budaya untuk melampiaskan kemarahan sebuah kelompok. Dengan asumsi semacam ini, alat peredanya juga haruslah sesuatu yang bisa diakui oleh masing-masing pihak. Sesuatu yang berada dalam kesadaran tradisi keduabelah pihak.

  • Yang pertama dan yang paling umum adalah penunjukan kambing hitam. Oknum yang diyakini oleh kedua kelompok menjadi penyebab awal terjadinya pertikaian. Dengan menemukan oknum yang dibebani dengan tanggungjawab sebagai pencetus kemarahan masal dari keduabelah pihak diyakini ada "saling pengertian" dari kedua kelompok bertikai untuk meredakan kemarahan lebih luas dan hanya memfokuskan kemarahan semua orang pada oknum tersebut. 
  • Yang kedua, penentuan "ritual damai". Upacara yang diterima kedua belah pihak sebagai penanda bahwa pertikaian diakhiri dan telah diganti dengan memasuki "ruang damai" dalam bentuk upacara tertentu. Tidak jarang yang dilakukan juga adalah "ritual kurban". Dengan menyembelih sapi, babi, atau bentuk lain yang dihayati kedua belah pihak sebagai sarana untuk meninggalkan kemarahan mereka pada upacara tersebut, pada sarana yang dikorbankan.

Kemarahan masal sebenarnya bukanlah mekanisme sosial yang lazim. Kemarahan selalu merupakan reaksi psikologis personal terhadap siatuasi yang terjadi di sekelilingnya yang mempengaruhi stabilitas emosional seseorang sampai pada titik dimana yang bersangkutan ingin melampiaskannya kepada pihak yang lain. Tiap orang tentu memiliki sifat ini dalam kadar yang berbeda dalam dirinya, dan masing-masing memiliki caranya yang khas untuk mengendalikannya. Kemarahan personal memiliki alasan latar belakang dan tujuan yang unik dalam diri tiap orang. Namun justru karena tiap orang memilikinya, maka dengan mudah terjadi kesepakatan bahwa sebuah amarah adalah amarah bersama. Apalagi jika hal-hal yang menjadi penyebab, dan tujuan yang mau dicapai dari pelampiasan kemarahan personal itu memiliki kemiripan satu dengan yang lain.

Kemarahan masal adalah kumpulan atau akumulasi dari kemarahan personal. Oleh karenanya penting bagi tiap komunitas untuk memiliki baik itu mekanisme atau institusi yang bertugas meredakan kemarahan yang mulai tersebar di tengah komunitas dan mentransformasikannya menjadi energi yang positif alih-alih semangat negatif untuk mengalahkan, merendahkan, dan menaklukkan kelompok lain. Para Tua-Tua komunitas, organisasi-organisasi sosial, mesyawarah warga, perayaan tradisional, adalah sarana-sarana yang dimiliki oleh masyarakat untuk mendialogkan, memikirkan bersama dengan lebih bijak, merefleksikan, yang pada gilirannya mentransformasikan potensi kemarahan masal.

Ada banyak pengalaman dan contoh yang telah membuktikan bahwa peran penting organisasi dan institusi di tengah masyarakat yang mampu mentransformasikan potensi kemarahan masal menghasilkan komunitas-komunitas yang dewasa, rasional, dan damai dalam menghadapi gejolak emosi personal dan bahkan mampu merefleksikan dan mentransformasikan kemarahan menjadi semangat baru untuk menjadi lebih kompetitif, terbuka, berwawasan, dan cerdas. 

Nah, jika sudah ada indikasi bahwa kemarahan masal berpotensi sebaliknya, maka ada pertanyaan-pertanyaan besar yang harus ditujukan kepada institusi dan organisasi yang ada di tengah masyarakat tersebut. Karena, secara formal atau informal, jika muncul seorang "pemimpin" yang mampu mengakomodasi dan memanipulasi potensi kemarahan masal, maka energi yang terkumpul dari kemarahan masal itu bisa dimanfaatkan tidak hanya untuk melakukan pertikaian melainkan juga perang maupun teror.

Oleh karena itu ada nasehat yang berbunyi demikian:

"Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: 
janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu" (Ef.4:26)


"Janganlah lekas-lekas marah  dalam hati, 
karena amarah menetap dalam dada orang bodoh." (Pkh.7:9)

Komentar

Postingan Populer