BUDAYA RELASIONAL [....lanjutan]


BUDAYA RELASIONAL DI INDONESIA
Komunitas "Gelembung Sabun"

Baru saja kami mendiskusikan tentang dua hal yang paling aneh terdapat di dalam masyarakat yang dikenal dengan semangat kekerabatan, persaudaraan dan pasedulurannya. Keanehannya bukan hanya karena terletak pada kontradiksinya, melainkan pada bagaimana cara banyak orang mensikapi dua hal tersebut sebagai sesuatu benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari jati dirinya.

Keanehan pertama adalah tentang kenyataan bahwa segala bentuk relasi interpersonal yang nampak di permukaan begitu solid akrab, menyenangkan, dan nampak penuh persaudaraan ternyata tidak terhubung secara langsung dengan kuat pada sarana-sarana pendukung dimana relasi itu dibangun.

Perbedaan latar belakang, kisah hidup, kesenangan, hobi, sikap hidup, kecenderungan, hal-hal personal yang dimiliki tiap orang adalah pondasi penting untuk mengembangkan relasi dengan orang lain. Pengetahuan akan hal-hal itu, kejujuran memahami, ketulusan penerimaan, adalah kelanjutan dari kuatnya pondasi relasi itu dibangun.

Kenyataannya, dalam sebuah relasi interpersonal hal-hal itu mulanya diabaikan. Orang di awal relasinya sibuk mengidentifikasi status sosial, identitas formal, gaya berpakaian, gaya rambut, kesantunan berwicara, dan sebagainya hal-hal yang artifisial sebagai pondasi untuk menilai seseorang layak disebut berada dalam relasinya atau tidak. Karena khalayak selalu membangun asumsi bahwa hal-hal artifisial semacam itu penting dan sangat menentukan bentuk relasi interpersonal, maka tiap pribadi juga menggantungkan sikapnya pada asumsi tersebut dengan menyatakannya sebagai "kebiasaan", "tradisi", atau bahkan dengan terlalu menggeneralisir sebagai "budaya timur".

Dengan kenyataan seperti itu lantas apa jadinya jika seorang belakangan menjadi tahu bahwa orang yang dikenalnya tidak sesuai dengan harapannya, apalagi jika ternyata juga tidak sesuai dengan apa yang oleh khalayak dianggap umum?

Beberapa sikap personal dan bahkan masal atas nama budaya ketimuran biasanya digunakan sebagai strateginya. Diantaranya:

Pertama, DIAM. Kita perlu hati-hati ketika seorang teman kita mulai diam dengan kita. Karena semua orang tahu, bahwa ketika hal itu terjadi, dia sedang begitu sibuk untuk mengorek, mencari tahu, membicarakan, menganalisa, mencari referensi, pada orang lain mengenai siapa kita dan apa yang sebenarnya sedang kita alami. Tak peduli bahwa relasi yang sudah terbangun sudah berusia puluhan tahun, mengalami banyak hal manis pahitnya hidup bersama, tindakan DIAM adalah ekspresi penting karena pada saat itu orang meragukan dirinya sendiri. Maka jangan heran jika ada yang bahkan mencari tahunya pada orang yang baru saja dikenalnya di pinggir jalan.

Aneh memang. Tetapi inilah strateginya. Strategi diam adalah tindakan penghakiman personal untuk memperlihatkan bahwa ketidaksetujuan, ketidak mengertian, ketidak tahuan, terhadap diri seseorang tidaklah perlu dikonfirmasi dan ditanyakan langsung kepada yang bersangkutan. Kenapa? Karena sesuatu yang baru, yang tidak lazim, yang membuat kita kehilangan rasa nyaman, itu berbahaya baik untuk perorangan maupun untuk seluruh anggota komunitas. Itulah sebabnya, tindakan penDIAMan itu biasanya dengan mudah mudah menular menjadi pendiaman masal.

Kedua, PENGGOSIPAN. Ada banyak alasan kenapa seseorang senang membicarakan apa yang sedang menjadi pergumulan seseorang.
Alasan pertama dan yang seolah-olah mulia adalah untuk menunjukkan bahwa kita berempati terhadap apa yang terjadi pada orang lain itu. Tidak jarang, untuk menunjukkan empati, orang berusaha mendramatisir agar kisah yang sampai ke orang lain nampak begitu tragis, melankolis, ironis, dan lain sebagainya, dengan satu tujuan yaitu untuk meyakinkan orang lain bahwa kisah yang terjadi telah mengganggu harmoni kisah komunitas.
Alasan kedua dan yang seolah-olah amat kritis, logis, investigatif, adalah untuk menunjukkan bahwa seseorang mengetahui begitu banyak hal mengenai orang lain. Dan semua orang setuju, jika seseorang kelihatan paling tahu mengenai sesuatu, dia tentu merupakan orang yang paling pintar dan pada gilirannya dianggap memiliki power di dalam komunitas. Kenapa dua hal ini penting?

Karena keramahan artifisial yang dibangun perlu terus dijaga penampakan di permukaannya. Kisah perorangan dan komunitas harus terus berada dalam harmoni, dan untuk itu diperlukan kerja keras menjaganya dengan cara ini. Gosip adalah sarana paling efektif untuk memperlihatkan bahwa sebuah komunitas tertentu solit di permukaan, nampak sangat kuat terlekat, nampak sangat indah penuh keramahan.


Ketiga, TETAP TERSENYUM. Inilah bentuk paling ekspresif untuk memperlihatkan bahwa sebuah relasi seolah-olah tetap terpelihara. Tidak ada kata-kata tetaplah tersenyum. Sekalipun dalam dendam membara, tetaplah tersenyum. Dalam kemarahan, tetaplah tersenyum. Inilah ekspresi paling konkret menunjukkan sikap yang telah diambil oleh seseorng atau komunitas. Namun jangan terlena dengan senyuman. Karena semua orang akan tetap tersenyum, sekalipun dia sudah menyiapkan segala hal yang bisa menyakitkan bagi orang lain. Ketika ada senyum ada apresiasi, penghargaan, pengakuan, penerimaan, NAMUN seketika itu juga ada penghakiman, hukuman, dan persiapan untuk saling menyakiti.

Karena senyum adalah hal yang paling penting (orang yang tidak terlalu sering menebar senyum mudah dianggap sebagai orang yang tak ramah, tak berperasaan, tak memberi perhatian, tidak apresiatif), maka relasi interpersonal dalam segala dinamikanya bisa ditutupi, diselubungi. dan di palsukan dengan senyum.

Seperti sebuah gelembung sabun. Ketika dia terbentuk nampak indah, kuat dan mengkilat. Bentuk relasi seperti yang sering dijumpai oleh seseorang yang "berbeda" dengan orang lain adalah dasar yang rapuh. Ketika itu ada, sebenarnya hanyalah seolah-olah ada. Karena, begitu pilar-pilar pengikatnya tak bersentuhan lagi dan tak terhubung, sebarnya dia tidak ada. Hal-hal yang akan nampak jelas dalam keanehan yang kedua yang sangat mudah terjadi di tengah komunitas dan diantara hubungan interpersonal.

Keanehan kedua adalah begitu mudahnya sebuah bentuk relasi yang disadari, diketahui, dialami bersama dalam sebuah komunitas hancur dan tidak terlihat lagi bekas dan sisanya, tidak ada pelajaran dipetik, tidak ada refleksi diambil untuk membangun bentuk yang lebih baik lagi.

[......bersambung]


Komentar

Postingan Populer