BUDAYA RELASIONAL

Perkawanan - paseduluran


Ada beberapa istilah yang seringkali kita gunakan untuk meanandai intensitas relasi kita dengan seseorang atau keterlibatan kita dalam sebuah komunitas. Istilah-istilah seperti kenalan, teman, kawan, tetangga, teman-dekat, kawan-baik, sahabat, saudara, dan keluarga, memiliki makna yang beragam dan memiliki konteks masing-masing. Bahkan istilah-istilah yang lebih spesifik semisal "orang dalam", "orang sendiri", "bukan orang lain" (dan tentu "orang lain"), dan bahkan "orang asing" tidak hanya mengandung makna dalam konteks tertentu melainkan juga menandai adanya pengelompokan orang-orang tertentu dalam bentuk relasi yang khas yang tidak bisa dimasukkan dalam pengelompokan yang lazim.

Setiap orang yang kita jumpai di pasar, di dalam bis angkutan kota, di tempat kerja atau di ruang-ruang publik lainnya bisa dengan mudah menjadi kenalan. Relasi yang hanya ditunjang dengan keterbatasan interaksi dan komunikasi seperti ini tentu memiliki keterbatasan dalam keterhubungan seseorang dengan yang lainnya. Hal ini tentu sangat berbeda pemaknaanya dengan apa yang disebut dengan sahabat. Seorang sahabat tentu adalah seseorang yang telah melewati banyak peristiwa penting bersama, interaksi yang cukup intens dalam kurun waktu tertentu, dan tanda-tanda lain yang dibangun bersama. 

Di Indonesia orang dikenal memiliki budaya relasional yang cukup mementingkan kedekatan, keterikatan, dan kekerabatan. Komunitas-komunitas akar rumput hingga perusahaan dan partai besar mudah memanfaatkan sentimen ini untuk menggalang simpati dan mengabarkan pesan pentingnya kehadiran dan keberadaan seseorang dalam komunitas tersebut. Jika kita merasa aman dengan asumsi semacam ini, marilah kita melihat dengan lebih mendalam lagi bagaimana pemaknaan relasional itu dipraktekan dalam interaksi antar manusia. Hal ini meliputi interaksi personal orang perorangan maupun bagaimana sebuah komunitas bersikap terhadap seseorang.

Intensitas relasi itu penting. Namun bagaimana relasi itu dipraktekkan akan memperlihatkan seberapa bermakna pentingnya relasi itu dan bagaimana orang memanfaatkan bagi dirinya, orang lain, dan komunitas dimana dia berada. Secara tradisional terdapat hirarki relasional yang tidak formal namun diakui oleh kebanyakan orang Indonesia. Senioritas, usia, status sosial, bahkan juga gender secara praktis merupakan alasan penting bagaimana relasi itu dibangun. Dengan kenyataan ini orang dapat dengan mudah melompat dari satu bentuk relasi ke bentuk relasi yang lain pada orang yang sama. Seorang sahabat karib dengan mudah meloncat menjadi "orang asing" ketika status sosial menentukannya.

Teori Budaya Relasional


Menurut teori yang berkembang tentang Budaya Relasional (The Healing Connection. Jean Baker Miller and Irene Stiver. 1997. Dan Relational Practice in Action: Group Manual. Judith Jordan. 2000)., sebuah komunitas atau interaksi interpersonal dikatakan sehat dan semakin bertumbuh jika masing-masing orang yang terlibat dalam relasi tersebut semakin menyadari kehadiran yang lain, semakin memahami peran kehadiran masing-masing, dan semakin yakin akan kekuatan bersama jika keunikan masing-masing diikat dan dipersatukan. Jadi budaya relasional bicara soal keterhubungan seseorang dengan orang lain dalam komunitas dan juga keterlibatan orang tersebut dalam sistem komunikasi dan model interaksi yang digunakan komunitas.

Dalam teori budaya relasional pertumbuhan dan perkembangan seseorang dan sebuah masyarakat menurut  Jordan, J.V.  dalam artikelnya tentang The role of mutual empathy in relational-cultural therapy dalam Journal In Session: Psychotherapy in Practice, 55, 1005–1016 (2000)  ditandai dengan adanya 5 faktor pendukung yaitu: 
  1. Orang semakin bertumbuh dalam relasinya dengan orang lain sepanjang masa hidupnya.
  2. Tanda kematangan seseorang terletak dalam gerakannya membangun hubungan yang bermutu.
  3. Pertumbuhan psikologis ditandai dengan kemampuan untuk berpartisipasi pada jaringan relasi yang semakin kompleks.
  4. Dalam membangun hubungan empati diutamakan untuk saling mengembangkan karsa bersama.
  5. Menjadi diri sendiri apa adanya dalam tiap bentuk hubungan yang dimiliki.
  6. Semakin banyak kontribusi seseorang dalam pengembangan relasi, semakin banyak orang dapat berpartisipasi.
  7. Tujuan dari pemberdayaan adalah meningkatnya kemampuan relasional dalam setiap sisi kehidupan seseorang.
Tanda-tanda ini memperlihatkan bahwa pemaknaan relasi dalam tiap interaksi kita dengan orang lain secara personal, maupun dalam sebuah komunitas perlu dikembangkan dengan penghargaan sepenuhnya pada keunikan diri dan orang lain, dan bertujuan untuk semakin eratnya keterhubungan seseorang dengan orang lain. 

Budaya relasional dengan demikian sama sekali tidak menyinggung soal status sosial, ekonomi dan politik sebagai penentu pertumbuhan relasi seseorang dengan yang lain. Relasi yang diawali dengan status dan hirarki adalah soal kekuasaan dan itu sama sekali tidak berkaitan dengan relasi sama sekali. Interaksi dalam ruang kekuasaan tidak pernah mengembangkan kepribadian dan juga tidak bisa membangun relasi manusiawi. Dalam interaksi status dan kekuasaan yang ada adalah mekanisme yang menguntungkan keberlangsungan status dan kekuasaan. 

Budaya Relasional di Indonesia



[bersambung ....]





Komentar

Postingan Populer