Perbedaan dan “Sang Liyan”


Bagian 1: Belajar Menyadari Perbedaan


Pendahuluan

Mempelajari perbedaan tidak pernah bisa sendirian. Orang selalu butuh orang lain terutama yang memiliki ciri-ciri, kategorisasi atau penggolongan yang berbeda dengan dirinya seperti perbedaan (yang paling umum) Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan. Oleh karenanya, memahami perbedaan selalu merupakan kegiatan untuk bersama-sama belajar dan berada dalam proses menyadari bersama “diri” sendiri dan orang “yang lain”. Setiap orang yang terlibat dalam perjumpaan dengan perbedaan perlu menjaga proses perbincangan agar tetap berada dalam tujuannya. Yaitu menyadari dan belajar dari perbedaannya dengan orang lain. Untuk itu setiap pihak diharapkan berani jujur terhadap apa yang dipahaminya dan harus berani mengakui perasaan terganggunya dengan adanya perbedaan yang muncul dalam proses perbincangan.

Perbedaan adalah kenyataan yang tidak mungkin disangkal. Setiap orang hidup dalam situasi yang selalu dilingkupi oleh perbedaan-perbedaan. Sebagai masyarakat dari sebuah bangsa yang kaya dengan beragam etnis, tradisi, adat, bahasa, agama dan budaya, kita (kadang terlalu percaya diri) telah terbiasa hidup dalam perbedaan-perbedaan. Tapi perbedaan yang tidak terkelola dengan baik bukan lagi perbedaan melainkan friksi yang bisa menjadi latent atau segera menyulut konflik. Terbiasa hidup dalam perbedaan belum tentu membaut orang terbiasa untuk mengelola perbedaan. Dalam keseluruhan proses memahami dan belajar dari perbedaannya dengan orang lain, setiap pihak diharapkan dapat terus menjaga agar perbedaan kelihatan, diakui dengan jujur, dipetakan, untuk selanjutnya berusaha bersama untuk mengelolanya dengan arif.

Tahap-tahap untuk dapat memahami perbedaan adalah dengan 1). Mengetahui dan menyadari adanya perbedaan. 2). Melihat bahwa perbedaan bukan ancaman. 3). Membiarkan perbedaan, dalam arti perbedaan tidak serta merta perlu diatasi atau dihilangkan. 4). Menghargai adanya perbedaan, menghormati orang yang berbeda. 5). Melihat “ke depan” bahwa perbedaan justru merupakan berkat atau kesempatan untuk merasakan keluasan dan keindahan kehidupan. Dalam tiap perbincangan dan perjumpaan dengan orang yang berbeda, setiap pihak perlu selalu menjaga agar ke 5 prinsip ini tetap dijaga.

Mengapa?

Mengapa perlu belajar tentang perbedaan? Bukankah perbedaan adalah kenyataan yang paling lumrah yang dimiliki oleh masing-masing makhluk di dunia ini? Bukankah Tuhan pencipta melihat perbedaan-perbedaan dalam ciptaannya sebagai “baik” dan melihat adanya keindahan di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang paling mudah menjebak orang sehingga mengalami kesulitan untuk dapat melihat betapa perbedaan merupakan fitrah yang harus dikelola dengan arif setiap saat dan di setiap tempat.

Mengapa perlu belajar menyadari perbedaan? Pertama-tama, dan yang paling perlu dijabarkan adalah adanya beragam bentuk sikap manusia terhadap perbedaan; yang paling populer orang biasa mensikapi perbedaan dalam bentuk:
  1. Menyimpan perbedaan sebagai alasan (pembenaran) terhadap konflik. Sikap seperti ini merupakan sikap dari tiap-tiap agama yang memang di dalamnya memiliki kecenderungan eksklusif. Perbedaan tidak dilihat sebagai modal utama untuk berkomunikasi dan berdialog, namun justru disimpan dan bahkan tidak jarang dipuja sedemikian rupa sebagai milik pusaka yang dikhususkan bagi satu golongan manusia saja. Dalam kehidupan beragama, perbedaan yang paling dengan hati-hati disimpan sebagai milik sendiri adalah konsep-konsep yang paling mendasar dari agama seperti keselamatan, identitas illahi, dan kebenaran agama.
  2. Menganggap perbedaan sebagai berbahaya, oleh karenanya perlu segera dikamuflase dengan keseragaman, atau kesamaan-kesamaan. Pendekatan inklusif, yaitu yang lebih terbuka, dalam konteks masyarakat Indonesia biasanya berbentuk usaha penisbian perbedaan, atau penonjolan kesamaan dan keesaan lebih dari keragaman atau kebhinekaan. Berbicara mengenai Bangsa ditabukan untuk berbicara mengenai kesukuan. Berbicara tentang dasar bernegara dan hidup bermasyarakat yang berazas Pancasila, ditabukan memperlihatkan dengan mencolok identitas keagamaannya.
  3. Mengembangkan dalam wacana bahwa berbeda adalah pikiran dan tindakan sekterian, eksklusif, anti-sosial, atau bahkan egois, dan orang-orang yang bersikap seperti ini sudah selayaknya untuk kehilangan simpati. Jadi sejak dari cara berpikirnya orang telah menganggap bahwa perbedaan adalah ancaman, sesuatu yang perlu dihindari.


Konteks Perbedaan

Tidak jarang terjadinya konflik, yang paling berdarah sekalipun adalah akibat dari kegagalan atau ketidakmampuan orang untuk menyadari perbedaan. Pada saat keadaan sedang normal, orang sering tidak mau dan takut melihat adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan cara berpikir yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok dan kategori masyarakat. Jika tidak sedang ada masalah, misalnya, betapa sulitnya kita melihat bahwa ada perbedaan yang amat mencolok antara satu dusun dengan dusun yang lain, antara agama satu dengan agama yang lain, antara kelompok etnis satu dengan kelompok etnis yang lain. Jadi semakin orang takut menyadari adanya perbedaan, semakin orang dibawa pada keadaan yang rawan terhadap efek yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan itu. Akibatnya, ketika terjadi suatu tindakan kriminalitas yang diketahui dilakukan oleh kelompok lain, betapa mudahnya peristiwa itu membangun solidaritas sosial dalam wujud kebencian dan tidak jarang berujunga pada tindakan kekerasan.

Secara politis tiap kebijakan yang ditetapkan tanpa kesadaran terhadap perbedaan yang dimiliki tiap-tiap orang, hanya akan memicu baik langsung maupun tidak langsung terjadinya konflik horisontal seperti adanya konflik-konflik berdarah di Tanah Air akhir-akhir ini. Tanpa menyadari adanya perbedaan-perbedaan penting yang ada dalam masyarakat, kebijakan yang dibuat oleh sebuah otoritas tertentu pada umumnya tidak hanya gagal untuk memenuhi harapan seluruh anggota komunitas melainkan juga menjadi penunjang bagi terbentuknya rasa tidak percaya terhadap otoritas tersebut.

Akhir-akhir ini, kenyataan memperlihatkan bahwa justru perbedaan yang paling sulit didamaikan adalah perbedaan agama. Damai tidaknya sebuah kelompok masyarakat dapat dilihat dari keharmonisan hubungan antar agama yang ada di dalamnya. Masyarakat yang ditopang dengan keharmonisan hubungan beragama niscaya memiliki kesempatan lebih baik untuk dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.

Menyadari perbedaan merupakan kombinasi antara sikap individuasi dan sikap sosialisasi, sesuatu yang seringkali dipisahkan dengan sangat tajam dalam masyarakat. Artinya, dengan menyadari adanya perbedaan setiap orang semakin dapat mengenal dan bebas mengekspresikan dirinya sendiri dan sekaligus mengenal orang lain dan lingkungan sosialnya dengan lebih baik lagi. Jadi dengan belajar menyadari perbedaan, orang dapat mendewasakan dirinya dengan membuka wawasannya. Bahkan dengan kesadaran penuh terhadap perbedaan orang menjadi peka terhadap ketidakadilan dan penghancuran lingkungan hidup secara sistematis. Demikianlah tujuan menyadari perbedaan amatlah luas dan akan membawa dampak yang sangat berguna bagi kehidupan secara luas.

Untuk tujuan itu, ada dua hal yang perlu di lihat terlebih dahulu; yang pertama, macam-macam perbedaan dan yang kedua, penghambat bagi tiap orang untuk menyadari perbedaan yang ada.

Macam-macam perbedaan:

Orang sering menganggap bahwa terdapat tiga macam perbedaan yaitu: Pertama, Perbedaan hakiki, yaitu perbedaan yang dianggap mutlak tidak bisa ditawar-tawar. Dalam agama perbedaan yang tergolong dalam kategori ini diantaranya adalah keabsahan dan kebenaran agama. Identitas illahi bisa diperbandingkan, tradisi kenabian dan budaya bisa dibicarakan, tapi mengenai siapa yang berhak memberi keabsahan terhadap itu semua, adalah sesuatu yang amat sensitif dan kadang naif. Jadi karena hakekatnya sudah beda maka tidak mungkin dipertemukan. Dan kalau terpaksa ketemu maka akan saling menolak seperti air dan minyak, saling melemahkan seperti air dan api, atau bahkan saling membinasakan. Benarkah antara agama-agama terdapat perbedaan-perbedaan mutlak yang tak terdamaikan dan tak bisa didialogkan dengan yang lain?

Kedua, Perbedaan paradigma; persepsi, cara berpikir, merasa, melihat dan menganalisa realitas. Perbedaan tidak dilihat dari hakikatnya tetapi dari cara orang melihat sesuatu. Angapan seperti ini melihat bahwa perbedaan agama adalah perbedaan cara pandang orang untuk menemukan cara paling akurat menjelaskan yang illahi. Agama pada dasarnya atau hakiaktnya dianggap sama, manusianya yang mempraktekan dari cara pandang yang bermacam-acam.

Ketiga adalah perbedaan praktis; yang nampak dalam bentuk ekspresi, cara, type, model bersikap tiap-tiap pemeluk agama Kelompok ini melihat hakikat bisa secara ambigu, bisa menggunakan apa saja cara pandang secara berganti-ganti, sejauh semuanya mendukung cara, dan model pilihannya. Jadi cara penampilanlah yang membedakan kelompok ini dengan kelompok yang lain. Pemahaman terhadap hakekat bisa sama dengan siapa saja, pemahaman terhadap cara pandang bisa sangat terbuka, tapi mengenai cara berekspresi, ada banyak tuntutan praktis yang mesti dipenuhi.

Faktor-faktor Penghambat

Seringkali orang tidak sadar bahwa terdapat banyak kesulitan/faktor penghambat untuk menyadari perbedaan.
  1. Faktor yang paling dominan dalam hidup bermasyarakat adalah kecenderungan politik yang sedang berlaku. Ketika nasionalisme digambarkan sebagai politik penyeragaman; dengan motto terkenalnya berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhineka Tunggal Ika) orang dengan segera mengandaikan bahwa tujuan akhirnya adalah pengabaian perbedaan, atau penisbian/peniadaan perbedaan bagi sesuatu yang “seragam”, yaitu bagi bangsa dan negara.
  2. Faktor kedua adalah budaya yang tertutup dan terbatas pada suatu komunitas saja. Orang yang hidup dalam budaya agraris dalam konsep pertanian lahan basah (sawah) sulit untuk dapat membayangkan kehidupan agraris dengan konsep lahan kering – semi hutan. Budaya agraris selalu terpisah dari budaya maritim-nelayan-perdagangan. 
  3. Faktor ketiga yang paling krusial dewasa ini adalah kecenderungan beragama yang terlalu dogmatis, agama-centris, denominasi-centris, organisasi agama-centris.


Karena perbedaan merupakan salah satu sumber persoalan abadi umat manusia, maka nampaklah bahwa tujuan belajar memahami perbedaan adalah bagaimana orang-orang yang berbeda-beda dapat hidup bersama. Dan karena macam-macam perbedaan yang nampak di atas berpengaruh terhadap tujuan yang mau dicapai dalam belajar memahami perbedaan dan dengan banyaknya faktor penghambat dalam memahami perbedaan, maka dibutuhkan nilai atau keutamaan yang bisa menjadi acuan bersama untuk belajar menyadari perbedaan.

Nilai yang perlu dikembangkan dalam menyadari perbedaan

Sikap paling dianjurkan dalam menghadapi kepelbagaian perbedaan yang dimiliki oleh manusia terutama antar agama-agama yang ada adalah sikap pluralis atau yang akhir-akhir ini semakin populer dengan istilah multikulturalis. Agama sebagai bagian dari budaya manusia selalu merupakan gabungan, racikan, bentukan baru, penyesuaian, dsb dari berbagai kultur yang dimiliki oleh masyarakat dan yang berlangsung dalam sejarah perubahan jaman yang panjang dan dinamis.

Kita semua pluralis dan multikulturalis. Kenapa kenyataan ini sulit diakui? Penyebabnya adalah:
  1. Nilai pluralitas seringkali menjumpai keberatan bahwa secara epistemologis sulit diketemukan koherensinya antara satu kebenaran dengan kebenaran yang lain. Orang gampang jatuh dalam relativisme yang berlebihan.
  2. Orang menyadari bahwa cara pandang adalah hasil dari sesuatu yang diidealkan. Karena tidak ada yang dapat memuaskan orang dalam memandang realitas, maka pluralitas dilihat hanya sebagai jalan keluar sesaat yang bermanfaat.
  3. Orang juga semakin sadar bahwa tidak hanya ada satu posisi terbaik yang bisa dimiliki oleh manusia, sekalipun posisi yang dipilihnya adalah pluralis.


Maka nilai pluralitas dapat dikembangkan dan dilengkapi dengan mempertimbangkan ketiga hal di atas. Pluralisme memang membuka diri terhadap relativitas tanpa batas, melainkan tetap menghargai identitas dan pilihan hidup masing-masing orang. Pluralisme juga harus diakui sebagai ‘salah satu’ sarana atau alat untuk menjelaskan perbedaan. Dan, pluralisme harus tetap memandang ke depan, pada kemungkinan baru yang belum mampu dilihat oleh manusia. Pendek kata, pluralitas korelasional. Menyadari perbedaan (pluralitas) selalu menghubungkan seseorang dengan orang lain, seseorang dengan lingkungan sosialnya dan seseorang dengan alam di sekelilingnya.

Tahap-tahap menyadari perbedaan

Dengan mempertimbangkan berbagai pemahaman di atas, maka mulailah kita dapat masuk dalam proses belajar memahami perbedaan. Seperti disebutkan, bahwa perbedaan bukan urusan diri sendiri, maka menyadari perbedaan hanya dapat dilakukan dalam rangkaian tahapan tak terpisahkan yaitu:
  1. Mengenali diri sebagai pribadi yang unik. Tiap pribadi memiliki banyak hal-hal yang sangat berbeda dengan orang lain, orang terdekat sekalipun. Sekalipun pengenalan diri ini tidak pernah sempurna, selain Tuhan, orang yang paling mengenal diri kita adalah diri kita sendiri.
  2. Menjumpai orang lain sebagai pribadi yang unik. Sedekat apapun kita dengan seseorang, ada banyak hal-hal yang tidak kita ketahui dari orang lain tersebut. Sama seperti pengenalan terhadap diri sendiri pengenalan terhadap orang lain juga tidak pernah sempurna.
  3. Bahwa kita berada dalam situasi dan kondisi yang berbeda adalah prasyarat perjumpaan seseorang dengan orang lain. Perbedaan sama banyak dan sama bermutunya dengan persamaan yang dimiliki oleh masing-masing pribadi.


Menyadari Perbedaan sebagai tindakan iman

Menyadari diri dalam perbedaan, melihat orang yang berbeda, serta melihat adanya kemungkinan baru yang sama sekali berbeda dengan yang pernah dibayangkan adalah bentuk nyata sikap menghargai diri sendiri yang langsung terhubung dengan “yang lain”. Perbedaan (terutama perbedaan agama) adalah berkat dan peluang yang sangat peting bagi manusia untuk terus berusaha menemukan cara hidup yang semakin sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia.

Menyadari perbedaan juga adalah langkah pengenalan tentang Tuhan (tindakan teologis). Dalam agama direfleksikan bahwa Tuhan atau realitas illahi yang berada dalam ‘keberlainan’ dengan kefanaan dan keterbatasan manusia. Tuhan dijumpai dan dialami dalam diri “Sang Liyan”, figur yang berbeda, keberadaan yang berbeda. Tuhan inilah yang menolong manusia untuk berjumpa satu dengan yang lain dalam perbedaan-perbedaan karena Tuhan juga tampil (maujud) dalam perbedaan.

Sumber Bacaan:


  1. Michael P. Lynch, Truth in Context, An Essay on Pluralism and Objectivity, London, 1998.
  2. Richard J. Plantinga (edt.), Christianity and Pluralism, Classic and Contemporary Readings, Oxford, 1999.
  3. B. Hari Juliawan, “Kutukan Menara Babel”, dlm. Majalah Basis: Indonesia: To Much Religion, No. 01-02, Th. Ke-53.

Komentar

Postingan Populer