Perbedaan dan Sang Liyan (Bagian 2)

Belajar Menghargai Perbedaan


A. Latar Belakang

Masyarakat yang hidup di Asia dan Indonesia khususnya sudah sedari dulunya terbiasa hidup dalam keanekaragaman perbedaan-perbedaan dan telah pula mengalami proses-proses perubahan besar yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan.  Hal ini dapat kita lihat dari kenyataan kekayaan kearifan adat istiadat yang tersebar dengan indah dalam bermacam etnis dan sub-etnis masyarakat. Dari masyarakat yang animis dan phanteis, diperkenalkan dengan agama-agama kosmis Hidhu dan Budha yang secara halus diadopsi dalam kontekstualisasi budaya Islam yang monoteis termasuk juga sesudahnya Kristen. Memang model-model perubahan yang telah terjadi (model penaklukan, model persaingan, pemisahan diri, dsb) dapat menjadi pelajaran yang berarti, namun ada satu hal yang pasti yaitu: telah terjadi proses yang amat panjang bagi masyarakat Indonesia untuk mengantisipasi adanya perbedaan, terutama perbedaan agama, etnis dan di akhir abad ini perbedaan pilihan politis.

Proses yang terjadi pada saat masyarakat belajar menghargai perbedaan itu memang bukan perjalanan yang mudah. Tak kurang, dalam tiap-tiap pemerintahan yang berkuasa, masalah perbedaan selalu menjadi topik yang terus dibicarakan dan dipersoalkan hingga terbit beragam peraturan dan perundangan. Tujuannya tak lain adalah untuk memberikan pedoman hukum bagaimana masyarakat untuk bersikap dan bertindak terhadap kenyataan perbedaan yang dimiliki.

Hingga saat ini, yang masih menjadi “ganjalan” bagi masyarakat adalah dalam hubungannya dengan perundangan yang mengatur tentang Kerukunan Umat Beragama. Perbedaan pilihan politis, perbedaan etnis, gender, latar belakang sejarah dengan segera dapat ditenangkan isunya, namun justru kenyataan perbedaan agama yang telah mengakar dalam sejarah bangsa ini masih menjadi polemik. Dalam satu hal ini, muncul kesan bahwa masyarakat sedang menderita heterophobia (takut terhadap perbedaan). Lihat saja kasus-kasus pastoral mengenai perpindahan agama, heterophobia ini akan segera nampak menjadi sindrom akut. Kalau orang keluar dan menjadi berbeda dari agama kita, kita menjadi sinis dan menganggapnya sebagai malapetaka. Sedangkan kalau orang masuk dan menjadi sama dengan agama kita, kita anggap berkat Tuhan.

B. Konteks

Apakah ada cukup ruang untuk belajar menghargai perbedaan dalam tradisi, adat-istiadat dan budaya masyarakat kita? Apakah ada pembelajaran sistematis di sekolah agar anak didik dapat membangun diri ntuk menghargai perbedaan? Apakah sistem politik bangsa kita mampu memberi ruang dan kesempatan bagi segala perbedaan yang ada dengan terbuka dan seadil-adilnya? Apakah agama telah memberikan motivasi yang cukup memadahi agar umatnya membangun iman percayanya dalam penghargaan terhadap perbedaan? Inilah pertanyaan paling menggelitik hati manakala menelusuri kusutnya persoalan perbedaan yang telah semakin memisahkan manusia dewasa ini. Atau, inikah kutukan Menara Babel itu?

Setiap saat kita bisa menyaksikan betapa keluhuran tradisi, adat-istiadat dan budaya sebuah kelompok masyarakat segera termanipulasi oleh ketidakmampuan menghargai perbedaan, sehingga dengan cepat menyulut isu etnis dan agama. Bahkan sekarang gencar terjadi pertikaian antar kampung, bahkan antar RT. Keindahan perbedaan budaya dengan gampangnya ternodai oleh peristiwa-peristiwa kecil kriminalitas. Perbedaan dengan cepat kehilangan penjaganya yang berupa kohesi masyarakat, hanya karena masalah-masalah sepele.

Di sekolah anak-anak sudah terbiasa menganggap diri sama satu dengan yang lain karena mengenakan seragam yang sama. Sekalipun teman sebangku kudisan karena tak mampu beli sabun mandi, teman sebelah yang terbiasa makan Pizza Hut seolah menjadi orang yang sama karena berada dalam sekolah dan sekali lagi seragam sekolah yang sama. Bagi anak-anak pengajaran mengatasi perbedaan dengan cara yang sangat artifisial seperti ini mungkin berguna. Namun pertanyaannya tetap sama, apakah dengan cara itu anak sekolah dididik untuk menghargai perbedaan, atau hanya menisbikannya untuk sementara dan setelah kembali ke rumah masing-masing persoalannya menjadi berbeda?

Bagaimana dengan Negara, sebagai wujud kekuasaan duniawi yang paling riil itu? Sejauh ini produk perundangan dan kebijakan dalam rangka mengantisipasi perbedaan ternyata tidak pernah selesai berada dalam sikap menduanya. Perbedaan diakui tetapi selalu dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas, sehingga perlu ditiadakan. Maka harus diakui bahwa ternyata tak jarang produk perundangan negara malah semakin memperlebar perbedaan-perbedaan yang ada. Penentuan 5 agama resmi misalnya, dengan jelas mengabaikan kekayaan religius asali banyak suku yang ada yang kadang dipaksa untuk masuk di antara 5 yang resmi itu. Penentuan pelajaran Agama di sekolah-sekolah yang tak urung terus menjadi polemik juga menyisakan persoalan yang nampaknya semakin berkepanjangan.

Maka, tinggal agama melalui institusi-institusinya menjadi tempat terakhir dimana orang bisa belajar menghargai perbedaan. Namun pada prakteknya, justru agamalah yang dengan mudah menjadikan perbedaan sebagai dalih pembenaran dirinya sehingga perbedaan-perbedaan yang lain dengan mudah disulut menjadi konflik.

C. Tujuan

Dalam latar belakang seperti yang disebutkan di atas nampaklah bahwa masalah belajar menghargai perbedaan adalah masalah yang penting dan mendesak bagi kita bersama. Dan jika proses belajar itu sekarang seolah semakin sulit terjadi adalah karena belajar menghargai perbedaan tidak hanya merupakan langkah pembelajaran kultural yang akan nampak dalam pola perilaku yang akan ditampilkan individu-individunya, melainkan juga menjadi sarana pelajaran politis bagi kehidupan yang memandang perbedaan dalam keindahan untuk saling memeperlengkapi. Demikianlah, di tengah masyarakat yang sedang dilanda kegamangan budaya dan politik, belajar menghargai perbedaan menjadi persoalan yang semakin besar.

Secara lebih detail, tujuan belajar menghargai perbedaan adalah: pertama, agar orang sedikit demi sedikit menghilangkan rasa takutnya terhadap perbedaan. Kedua, membangun impian bahwa bentuk ideal masyarakat bukanlah keseragaman dan ke’satu’an atau dengan hilangnya perbedaan, melainkan masyarakat yang menghayati perbedaan sebagai bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Ketiga, sebagai orang beragama, merefleksikan bahwa kehidupan bukanlah perjuangan tanpa henti mengatasi perbedaan, melainkan usaha tanpa kenal lelah untuk merayakan perbedaan sebagai anugerah illahi.

D. Nilai yang perlu dikembangkan

Jika dalam belajar untuk memahami perbedaan orang dapat mengembangkan nilai pluralitas atau multikulturalitas kooperatif, langkah selanjutnya untuk semakin dapat mengembangkan diri menjadi orang yang mampu menggunakan perbedaan sebagai modal sosial adalah dengan nilai kerendahan hati yang memerdekakan.

Rendah hati berbeda dengan dengan rendah diri. Kalau orang rendah diri, dia bisa memanipulasi keadaannya yang justru pada akhirnya menampakkan diri sebagai tinggi hati. Dan kalau ketinggian hati itu (secara tidak sadar) berasal dari rasa rendah diri, maka justru persaingan dan usaha penaklukan menjadi dominan dalam sikap-sikapnya. Rendah hati – dalam konteks belajar menghargai perbedaan dan nilai memerdekakan - adalah kemampuan untuk berani menerima (sekalipun menyakitkan) kenyataan bahwa setiap orang memiliki pilihan yang berbeda dalam hidupnya, sebagaimana pilihannya dapat diterima atau ditolak oleh orang lain.

Namun kerendahan hati bukanlah pasifis (orang yang menjadi pasif/mengambil sikap untuk tidak bertindak) dan bukan juga nihilis (orang yang membiarkan saja perbedaan menghancurkan kehidupan karena beranggapan bahwa pilihan hidup manusia tidak terbatas). Sikap pasif, sebagaimana seringkali dipraktekkan gereja dalam mensikapi gejolak yang ditimbulkan akibat adanya perbedaan, dan sikap nihilis, sebagaimana seringkali dijadikan alasan bagi orang yang tidak lagi percaya pada agama, dalam konteks seperti yang telah nampak di atas nampaknya bukanlah sikap yang bertanggungjawab.

Jadi kerendahan hati tetap perlu diwujudkan dalam sikap yang proaktif dan kritis serta terus berani mengoreksi diri. Mengapa? Karena dalam prakteknya, idiom ideal bagi nilai atau keutamaan seperti ini dapat dengan mudah mengalami pengikisan makna. Hanya orang yang rendah hati yang dapat berjumpa dengan perbedaan tanpa harus takut. Hanya orang yang proaktif dan kritis yang dapat melihat kesempatan bahwa dengan pondasi perbedaan dapat dibangun sebuah komunitas yang manusiawi dan kokoh. Dan hanya orang yang selalu berani mengkoreksi dirilah yang dapat melihat masa depan yang selalu tersedia harapan.

E. Tahap-Tahap Belajar menghargai perbedaan

Seperti telah nampak nyata seperti yang disebutkan di atas bahwa belajar menghargai perbedaan di dalam dunia yang semakin terbuka ddengan arus informasi yang semakin berkembang dengan pesat, beberapa langkah kecil di bawah ini kiranya dapat merangsang cara pandang dan sikap konkret yang bisa diambil:

  1.       Dengan kebanggaan dan kejujuran berani mengakui kebesaran-keterbatasan, kekuatan-kelemahan dan kesempurnaan-ketidaksempurnaan pilihan hidup (misalnya agama) sebagai wujud nyata dari usahanya membuka diri terhadap “yang lain”.
  2.      Dengan ketulusan dan sikap kritis berani menerima kebesaran-keterbatasan, kekuatan-kelemahan dan kesempurnaan-ketidaksempurnaan pilihan hidup (misalnya agama) “yang lain”sebagai wujud nyata dari usaha mereka membuka diri terhadap kita.
  3.        Semakin mengembangkan kesadaran pada arah terbentuknya masyarakat sipil yang terus berusaha memperjuangkan diri dari kungkungan “kekuasaan”; baik yang berujud kekuasaan politik yang mengkotak-kotakkan manusia, kekuasaan pengetahuan yang hanya memberi peluang bagi satu arah kehidupan modern dan juga dari kekuasaan ekonomi-pasar yang bisa mengaburkan arah kesadaran pluralisme sekedar sebagai komoditas ekonomis sehingga kehilangan maknanya. Pendek kata, mengembangkan kesadaran bahwa kehidupan merdeka bagi semua umat manusia lebih berharga dari segala bentuk instrumen pengaturnya.

Jadi langkah belajar menghargai perbedaan adalah langkah belajar menjadi merdeka yang mendorong serta memperjuangkan kemerdekaan dari “yang lain” dalam sebuah bentuk korelasi yang sepadan dan setara serta manusiawi.

F. Belajar Menghargai Perbedaan sebagai Aksi Iman

Belajar menghargai perbedaan juga merupakan tindakan untuk mengenal cara beriman dan beragama secara baru yang relevan dan kontekstual dengan situasi jaman ini. Untuk itu perlu kiranya kita menengok kembali dan menguji ulang terhadap segala sistem dan materi dan sistem pengajaran, metode pekabaran/siar agama, cara pengorganisasian hingga hal-hal teknis tata upacara beragama yang selama ini kita praktekkan.

Melalui segala bentuk praktek beragama yang mampu memberi kesempatan bagi umatnya untuk belajar menghargai perbedaan, kita tidak hanya akan mengawali langkah mengoptimalisasikan fungsi agama di tengah kehidupan bermasyarakat, melainkan juga untuk selanjutnya menjadi komunitas beragama yang siap dalam menghadapi segala bentuk perubahan jaman tanpa harus kehilangan misinya; yaitu keselamatan bagi umat manusia.

G. Sumber Bacaan:


  1. Michael P. Lynch, Truth in Context, An Essay on Pluralism and Objectivity, London, 1998.
  2. Richard J. Plantinga (edt.), Christianity and Pluralism, Classic and Contemporary Readings, Oxford, 1999.
  3. Majalah Basis: Indonesia: To Much Religion, No. 01-02, Th. Ke-53.
  4. Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggungjawab Global; One Earth, Many Religions, BPK, 2003.

Komentar

Postingan Populer