"Berjumpa dengan Allah dalam keluarga" sebuah kritik untuk Pesan Natal PGI/KWI 2014

Pesan dan Kesan


Membaca sekilas thema natal PGI-KWI ini membangkitkan semangat harapan yang luar biasa besar. Betapa tidak. Seperti biasanya "drama" Natal, konsepsi maha besar tentang perjumpaan dengan Sang Illahi dijabarkan sebagai sebuah peristiwa yang begitu mudah dan sederhana untuk dialami oleh semua orang, bahkan dalam sebuah keluarga. Namun setelah kita masuk dalam penjelasan tentang perkawinan dan keluarga yang diberi predikat sebagai "Pesan Natal", maka akal sehat kita ditantang kalau tidak mau disebut dilecehkan.

Pertama, penulis pesan menginterpretasi kehidupan bersama Yusuf dan Maria berdasar konsepsi institusi perkawinan modern. Sekalipun jelas dalam kisah di Alkitab bahwa tidak sedikitpun diceritakan tentang proses pernikahan mereka, apalagi pernikahan itu sesuai dengan institusi dan hukum yang berlaku di jamannya atau tidak, pemberi pesan dengan sembrono mengatakan: "Berkat perkawinan Kristen, Yesus, yang dahulu hadir dalam keluarga Maria dan Yusuf, kini hadir juga dalam keluarga kita masing-masing." Apakah Maria dan Yusuf adalah prototipe perkawinan Kristen? Ataukah memang dengan sengaja PGI/KWI memandang keluarga hanya sebatas perkawinan? 

Bagi yang senang dengan "Konsep Alkitabiah" mengenai Perkawinan,
akan baik sedikit melihat diagram ini
Kedua, konsepsi tentang keluarga yang dibangun berdasarkan asumsi institusi modern itu bahkan diberi penekanan yang bersifat absolut. "Karena Sang Imanuel lahir dalam suatu keluarga, keluarga pun menjadi tempat suci. Di situlah Allah hadir. Keluarga menjadi ”bait suci”, yaitu tempat pertemuan manusia dengan Allah." 

Alih-alih menempatkan inklusifitas pada perjumpaan dengan dunia dengan segala realitas terkininya, pesan Natal kali ini terkesan dipaksakan untuk dimaknai secara eksklusif hanya pada institusi terkecil dalam komunitas, sebuah institusi yang justru sekarang ini peran dan fungsinya menjadi sorotan besar. Munculnya banyak statemen dari Paus Francis tentang perkawinan sejenis dan makna komitmen cinta kasih keluarga hingga gugatan beberapa anak muda ke Mahkamah Agung mengenai perkawinan beda agama, sebenarnya cukup untuk menjadi dasar pijak untuk melihat perkawinan dan keluarga tidak lagi seperti model Ibu-Ibu Penggerak PKK produk Orde Baru. 

Sekalipun jelas bahwa tantangan pemaknaan baru terhadap perkawinan dan keluarga sungguh menjadi pergumulan banyak orang, apakah melalui pesan Natal kali ini kita diajak untuk melihat bahwa kehadiran Yesus di dunia ini termasuk dalam konteks kekinian itu? Nampaknya kok tidak. Justru muncul kesan pengalihan isu, kalau tidak mau dikatakan dengan sengaja tidak sedikitpun ada niatan untuk menyiinggung mengenai pergumulan tentang makna perkawinan dan keluarga yang sudah sepatutnya perlu dipertimbangkan secara mendalam.

Ketiga, pemberi pesan, sekali lagi dengan cara klasik menggunakan pendektan negative thinking dan menjatuhkan semua beban kontrol moralitas/etika berada pada kesalahan keluarga. Atau mungkin juga utopia yang delusif tentang idealisme perkawinan dan keluarga. Tidak sedikitpun disinggung mengenai budaya yang berkembang berkaitan dengan konsepsi  perkawinan dan 
institusi yang juga berperan. Tidak sedikitpun disinggung mengenai alternatif bentuk-bentuk keluarga yang justru terjadi dalam rangka keluar dari lingkaran setan pengkambinghitaman berbasis pada asumsi ideal keluarga inti: Bapak-Ibu-Anak. Apakah Allah tidak bisa dijumpai dalam "keluarga" yang terdiri dari seorang Bapak, beberapa keponakan, dan orang lain yang dengan sukacita berada di dalamnya? Bukankah Yusuf bukanlah Bapak dari Yesus berdasarkan ukuran konsepsi pernikahan Kristen? 

Romantisme "perkawinan kristen" yang selalu benar, karena "pasti" berasal dari "cinta-kasih, kesetiaan, dan tanggungjawab", nampak sangatlah ditekankan tanpa sedikitpun menghubungkannya dengan keragaman kemungkinan lain yang nyata-nyata terjadi. Apakah pesan natal kali ini sengaja hendak memperlihatkan kepanikan gereja dengan dinamika baru yang gigih mempertanyakan pemaknaan institusi perkawinan? Apakah ini bahkan sebagai sebuah sikap gereja yang 'tidak mau tahu' terhadap dinamika itu, dan menegaskan bahwa dalam kekristenan masih hanya ada satu jalan memahami konsep tentang keluarga? Pembaca pasti memiliki kesannya masing-masing.


Oleh karena itulah, saya, sebagai orang yang mengalami bertahun-tahun Natal dimaknai dan dihayati, yang bergumul berat dengan pemaknaan tentang keluarga, yang mengalami dinamika pergeseran pemaknaan yang menggedor konsepsi pernikahan Kristen yang [hanya] berbasis ikatan darah dan keluarga inti, ingin sedikit berbagi agar pesan Natal nasional ini tidak sekedar menjadi kisah romantisme idealisme ala sinetron melainkan benar-benar menjadi sarana baru membuka cakrawala pandang kita pada realitas, mengajak orang memperbaiki cara pikirnya, dan dengan begitu menghadirkan pemahaman dan pemaknaan baru.


Keluarga sebagai konteks perjumpaan dengan Allah


Kebanyakan orang akan bilang bahwa idealnya (sekalipun tentu masih perlu dipertanyakan mengapa ini dianggap ideal) yang disebut keluarga adalah suami dan istri (menggunakan istilah dalam pesan Natal ini) dan anak(anak) yang terikat dalam perkawinan Kristen (atau sebuah agama tertentu). Dan dalam konteks unik Bangsa Indonesia, yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dan perlu ditambahkan juga hal-hal lain, seperti: sesuai dengan tradisi etnis tertentu, sesuai dengan tradisi keluarga tertentu, sesuai dengan kehendak orang-tua, dan sebagainya. Sampai-sampai ada yang berusaha menyesuaikannya dengan gaya artis tertentu dan kisah sinetron tertentu.

Dalam begitu banyak dan rapinya beban diberikan kepada orang-orang yang hidup dalam perkawinan, tentu tidaklah bijak jika pemaknaan tentang keluarga hanya dibatasi pada konsepsi tentang perkawinan. Karena hal ini dampaknya jelas terjadi pada dinamika relasional anak muda. Orangtua menganggap keberhasilan anaknya ketika sudah masuk dalam perkawinan dan cita-cita kebanyakan anak muda adalah kawin dan membangun keluarga. Sindiran, pelecehan, pemaksaan terselubung muncul dalam hiruk pikuk guyonan soal jomblo, mantan, tak laku, telat kawin, dan sebagainya. Seolah hidup hanya berorientasi pada relasi keintiman.

Mari sejenak kita lihat realitas yang dihadapi oleh banyak orang yang berhadapan langsung dengan konsepsi tersebut. Suami dan Istri yang tidak ingin atau tidak bisa memiliki anak, yang beberapa diantaranya dengan sukacita mengadopsi anak, apakah mereka tidak bisa disebut keluarga? Bagaimana dengan keluarga yang dibangun dengan latar belakang masing-masing orangtua yang pernah bercerai? Bagaimana dengan single parent? Bagaimana dengan cinta kasih orang-orang LGBT yang membangun komitmen hidup bersama? Orang mungkin dengan mudah akan mengatakan bahwa itu khan pengecualian yang jumlahnya sangat sedikit dibanding yang "normal". Lantas? Bukankah Yesus hadir juga pada yang kecil yang dikecualikan itu? Bagaimana mungkin sebuah pesan yang bersifat nasional, teruntuk bagi seluruh masyarakat, justru menisbikan sasaran terpenting dari kehadiran Yesus?


Jadi bagi saya, jika keluarga hendak ditekankan sebagai habitus perjumpaan dengan Allah, ada kebutuhan besar bagi gereja untuk mendekonstruksi paradigma berpikirnya tentang relasi antar manusia, tentang perkawinan (termasuk tradisi yang dimilikinya), dan juga tentang keluarga.


Dan Natal adalah kesempatan yang paling berharga untuk menggumuli tentang hal itu. Karena dalam kisah Natal sekalipun, diperlihatkan bagaimana segerombolan gembala, para Majus perantau, dan bahkan domba-domba (binatang-binatang), bahkan para malaikat (makhluk sorgawi) menjadi bagian yang utama dalam mengartikan keluarga.

Perkawinan selalu merupakan usaha dua orang (apapun pilihan orientasi seksualnya) untuk berkomitmen memelihara cinta kasihnya. Perkawinan bukanlah permainan tradisi budaya dan agama untuk melanggengkan sistem kontrol. Bukan alat politik untuk menguasai dan mengendalikan perjumpaan cinta kasih antar manusia. Perkawinan sebaiknya dimaknai sebagai khabar sukacita yang terus mengisahkan tentang keberanian manusia untuk memiliki komitmen hidup dalam cinta kasih. Bukan beban yang harus ditanggung pun dengan alasan Allah menghendakinya. Dengan cara itu, keluarga bermakna sebagai bangunan cinta kasih yang terus dipelihara dengan komitmen, penerimaan, dan sukacita tiap-tiap orang yang terlibat di dalamnya.

Pesan untuk semua orang, karena khabar baik Natal adalah untuk semua orang


Jika nilai dasar yang dibangun untuk menyampaikan pesan Natal adalah penyampaian Berita Sukacita hadirnya Allah di tengah-tengah hidup nyata manusia, yang salah satu bentuk ekspresinya adalah dalam perkawinan dan usaha membangun keluarga. tentu pesan natal nasional ini bisa menjadi kesempatan bersama untuk:

1. Membangun pemahaman baru tentang konsepsi perkawinan dan keluarga sebagai sebuah realitas sosial dengan tetap mengutamakan sikap menghargai dan menghormati jati diri tiap-tiap individu yang ada di dalamnya. Menggumulkan tentang perkawinan, keluarga dengan secara tulus menerima keberadaan saudara-saudari LGBT sebagai pihak yang perlu diperhitungkan suaranya. Dengan kata lain,  jika konsepsi legalisme perkawinan dan keluarga masih hendak dipertahankan, gereja perlu membangun sikap yang baru agar kawan-kawan LGBT bisa juga mendapatkan hak yang sama. 

2. Merefleksikan ulang tentang segala bentuk produk "hukum" gereja yang selama ini dipraktekan berkaitan dengan perkawinan dan keluarga. Bahkan juga dengan kaitannya dengan hukum negara yang sekarang berlaku, yang jelas-jelas melanggar HAM. Ada peluang besar yang dapat diperankan oleh gereja untuk membuat bangsa ini berpikir lebih demokratis, pluralis, dan multikulturalis dalam konteks yang paling dekat. Peluang besar yang akan memiliki kekuatan pengaruh jika ditempatkan dalam sebuah pesan yang memberi kesegaran baru pada terbukanya alternatif-alternatif lain demi kehidupan yang semakin berkeadilan dan bermartabat.

3. Mengabarkan sukacita, terutama pada orang-orang yang tak beruntung, teraniaya, tersingkirkan, diperlakukan tidak adil, di dzolimi, dan menderita justru karena adanya "konsepsi umum" tentang pekawinan. Khabar sukacita bagi orang-orang yang karena keberadaan hidup nyatanya tidak mendapatkan ruang dalam peraturan gereja dan juga peraturan berdasar hukum yang berlaku. Pesan Natal adalah suara kenabian untuk menyatakan kepada semua orang agar menggunakan pikiran dan hatinya memahami kehendak Allah dalam situasi nyata kehidupannya. 

Natal hadir untuk semua orang, selamat merayakan.

[Pesan Natal 2014 PGI/KWI dapa dilihat: http://pgi.or.id/archives/3395]

Komentar

Unknown mengatakan…
catatan kecil :
1. bagaimana jika orang memutuskan tidak perlu kawin/berkeluarga; apakah dia tidak berhak atas kabar kesukaan natal?
2. Yesus Sendiri berkata bahwa barang siapa yang melakukan perintah/ajaranNya adalah dianggap sebagai ibu, ayah, saudara...keluargaNya.
kristanto budiprabowo mengatakan…
Benar mas Jonathan. Begitulah yang saya kritikkan ke PGI/KWI. Mengapa membatasi konsep keluarga hanya berbasis perkawinan? Sayangnya tulisan ini saya posting di grup PGI tidak diapprove. Jadi banyak orang tentu masih menggunakan pendekatan konsepnya Pesan Natal.

Postingan Populer