Sumberawan

Sumber Air kecil di lereng Arjuno


Diceritakan bahwa sejak Jaman Majapahit dibawah tahta Hayam Wuruk di lereng gunung Arjuno terdapat sebuah sumber air kecil yang berada di sebuah celah perbukitan yang sangat indah. Dikelilingi punggung bukit dan menghadap ke sebuah hamparan yang memberikan kesempatan untuk memandang kelimpahan hijau lembah-lembah yang dialiri airnya, petak yang tak terlalu luas ini masih terasa keagungan dan keheningannya. Sumber air kecil ini begitu jernih membentuk danau kecil dangkal yang begitu kemilau terlindung oleh pohon-pohon tua dan besar. Didekatnya didirikanlah sebuah candi kecil berstupa yang tak berornamen, sepertinya sebuah monumen, sebuah bangunan yang dibuat untuk menandai sesuatu atau sebuah peristiwa tertentu.

Hingga sekarang Sumberwan masih merupakan tempat yang sangat dihormati. Banyak peziarah datang untuk bermeditasi, terutama pada hari-hari yang diyakini sebagai saat yang tepat untuk wening dan berjumpa dengan yang illahi dan diri yang asali. Terlihat banyak sisa-sisa perlengkapan sederhana meditasi seperti bunga-bunga dan kemenyan.

Sebuah tempat agung yang amat ramah pada selera cara orang menjumpai Tuhannya. 

Sebuah tempat indah yang amat bersahabat dengan kesederhanaan kepasrahan manusia menemukan dirinya.
...............
...............
...............
Seorang ibu penjual bakso menceritakan dengan lancar, jauh melampaui kepiawaian sejarahwan yang tersohor, bahwa ada sebuah peristiwa menakjubkan yang pernah terjadi yang menjadikan tempat tersebut penting bagi kehausan spiritualitas tiap orang, siapapun dia, tak pandang agama, suku, jabatan, dan tingkat kekayaannya. Sebuah peristiwa kecil saja, sangat umum digolongkan sebagai cerita yang diciptakan oleh orang-orang yang dipenuhi dengan keindahan sebuah harapan.

Suatu hari segerombolan pemburu mampu melukai seekor babi hutan yang lari ketakutan, kehabisan tenaga, dengan luka yang dilihat akan mematikannya tak berapa lama lagi. Babi hutan itu terjebak diujung celah sebuah perbukitan yang bermata air. Dan entah karena haus atau putus asa babi hutan tersebut berguling pasrah dan membuka hidupnya untuk menenggak air jernih murni langsung dari mata air. Keajaiban terjadi. babi hutan tersebut pulih, luka-lukanya hilang dan sembuh, tenaganya dipulihkan. Gerombolan pemburu yang tercengan melihat keajaiban itu lantas menjadi kehilangan selera untuk melanjutkan nafsunya membantai buruannya dan segera berbalik dan bertobat tidak lagi memandang pada si babi hutan yang dengan aman menyelinap masuk hutan melainkan mengarahkankan pandangan matanya, niatan pikirannya, dan suara hatinya pada sumber air kecil yang menyembul keluar diantara bebatuan dan semak-semak berbunga di bawah naungan pohon-pohon tua itu.


Seekor babi hutan telah menjadi petunjuk jalan bagi gerombolan penuh nafsu membunuh entah untuk dijadikan santapan penyambung hidup, entah sekedar dilakukan sebagai hobi penghibur pengisi waktu senggang, entah sebagai pameran keberanian dan kerakusan. Seekor babi hutan yang telah menobatkan segerombolan pemburu menjadi segerombolan orang yang menjadi saksi pertama sebuah keajaiban terjadi tepat di sebuah tempat dimana seekor binatangpun tak akan menemukan harapan hidupnya. Seekor babi hutan yang telah menjadi petunjuk yang terus diingat dihati banyak orang yang setiap hari kini menggantungkan hidupnya di tempat itu menyambut dengan senyum ramah tiap orang baik yang datang untuk berziarah dengan ketulusan hati, orang yang datang hanya bermodal penasaran ingin tahu kesakralannya, atau pengunjung biasa yang sekedar rekreasi menikmati kesejukan alam.

Dalam cerita si Ibu penjual bakso, Tak ada gambaran kemegahan surgawi, tak hadir makhluk-makhluk ajaib dengan kekuatan supranatural, tak muncul bidadari cantik atau malaikat tampan tak tertandingi. Hanya seekor babi hutan dan gerombolan pemburu, yang malah di akhir-akhir cerita sepertinya ia hendak mengatakan bahwa sebenarnya bukanlah gerombolan pemburu melainkan seorang pemburu, atau pemburu begitu saja. Seekor babi hutan dan pemburu yang dipertemukan di sebuah sumber air kecil, menjadi sebuah peristiwa pencerahan turun temurun bahwa di tempat-tempat kecil dan sederhana seperti itu masih tersedia harapan, Untuk sembuh dari berbagai penyakit, dan yang lebih penting adalah untuk tidak terlalu sibuk dengan hukum dan dogma berjumpa dengan yang illahi, dan tidak terlalu pusing dengan kotak-kotak aliran dan filosofi menemukan kedalaman diri asali.


Dalam perjumpaan itu, kami berkelakar tentang penthol bakso yang sengaja dibuat multitafsir yang sedang kami nikmati. Malahan, kami tertawa geli membicarakan pohon pinus coklat yang menjulang sambil memandangi penthol bakso. Kami tertawa bersama entah yang kami bicarakan itu memiliki kesamaan perspektif, keseragaman keyakinan, atau kebenaran riil. Kami tertawa karena ketika dengan keterbatasan pikiran dan rasa yang kami miliki mencoba mengartikan sesuatu yang sangat sederhana, kami hanya bisa saling menerima, menghargai dan menjadi gembira.

Sebuah perhentian yang tidak sia-sia dan kami menemukan segalanya. Alam yang indah, sumber air yang jernih, udara yang segar, sendau gurau sekenanya kegemaran orang hidup dalam kenyataan multi tafsir, dan pengalaman spiritual yang amat bermakna, bahkan kawan baru, tepat disaat orang-orang di Amerika Serikat merayakan Thanksgiving dan tepat disaat banyak orang lain sedang panik-paniknya diperhadapkan pada kemegahan perayaan Natal dan Tahun baru yang segera akan menjelang yang harus ditanggungnya.


Komentar

Postingan Populer