Beriman dengan senyum

Menikmati humor dalam Alkitab

Pagi ini menjadi hari minggu yang menggembirakan. Tidak disangka-sangka, di gereja digunakan slide-projector untuk menampilkan lagu-lagu untuk menyanyi. Bahkan menjadi semakin menarik karena hampir semua lagu dinyanyikan dalam tiga bahasa; Indonesia, Inggris, Jawa. Sebuah usaha kreatif dari seorang Majelis Jemaat yang peka terhadap keberagaman bahasa yang digunakan jemaatnya.

Ketika tiba sampai pada acara kotbah, suasana sudah benar-benar mencair dan siap dituangi dengan campuran sedikit kesegaran, sebuah sentuhan humor. Dan benar saja, bacaan yang dipilih ternyata tepat pada sebuah cerita yang sarat dengan unsur humor. Si penulis Alkitab tidak selamanya dengan cara yang kaku dan dogmatis mengisahkan pengalaman imannya. Kadangkala muncul juga cerita-cerita yang bisa membuat orang tersenyum reflektif dan bahkan tertawa menyadari betapa konyolnya kesadaran dan cara pikir yang dimiliki manusia menghadapi sebuah misteri besar kehidupan manusia berjumpa dengan yang illahi.

Singkat kisahnya begini: ada kelompok orang yang disebut golongan (mungkin semacam partai atau aliran, atau denominasi) Saduki. Menurut si pengkhotbah, golongan orang Saduki terdiri dari orang yang kaya dan berpendidikan tinggi serta memiliki posisi yang disegani ditengah masyarakat. Dalam hal teologi, golongan Saduki adalah orang-orang yang "tidak percaya pada kebangkitan orang mati". Kepercayaan dan ketidakpercayaan pada hal-hal seperti ini memang debatable dan kadang penyelesaian terbaiknya memang melalui humor.

Saya jadi teringat guyonan-guyonan "alkitabiah" yang sering dijadikan penyegar suasana supaya orang bisa dengan rileks memahami batasan-batasan tipis antara percaya dan tidak percaya. Yang paling populer tentu saja pertanyaan tentang penciptaan. Begini pertanyaannya: "Karena Tuhan Allah itu kekal, kira-kira sebelum dia menciptakan segala sesuatu di dunia ini, apa yang dikerjakan ya?"

Atau pertanyaan tentang kemahakuasaan dan kemahabesaran Allah. "Kalau Allah itu maha kuasa, bisa nggak ya Dia menciptakan batu yang sangat besar, sampai Dia sendiri tidak bisa mengangkatnya?" Atau hal-hal lain yang mengandung humor, yang baik langsung maupun tidak langsung berasal dari Alkitab. Sekalipun tidak banyak humor terbuka dan vulgar tertulis di dalam Alkitab, dan sekalipun tidak pernah ada ayat yang diakhiri dengan ha.ha.ha.ha... atau he.he.he.... atau dalam simbol universalnya .... kwkwkwkwkw.... :) ... dan sebagainya, tentu hal itu tidak hendak mengatakan bahwa Penulis kitab, atau orang-orang yang terlibat di dalam kisah-kisah Alkitab melulu adalah orang yang serius tak memiliki sense of humor.

Entah bagaimana awal mulanya, kelompok orang Saduki mengajak Yesus mendiskusikan atau tepatnya membayangkan kemungkinan yang terjadi jika memang benar orang mati akan dibangkitkan. Karena orang Saduki ini pintar dia mengutip peraturan Musa tentang keharusan bagi seorang adik laki-laki menikahi kakak iparnya jika sang kakak meninggal. Kalau dia juga meninggal, maka mantan istri sang kakak itu, yang juga jandanya, harus menjadi istri adiknya. Selama dalam pernikahan tersebut tidak mendapatkan anak. Entah karena memang kemungkinannya sampai tujuh laki-laki bersaudara, atau sekedar menunjuk angka penting tujuh, si Saduki lantas dengan imaginatif membayangkan, kalau semua mati, dan akhirnya janda dari ketujuh laki-laki bersaudara itu, orang yang sama itu juga meninggal, dan kemudian karena teori kebangkitan orang mati mereka semua dibangkitkan..... nah ... jadi istri siapakah si perempuan itu??? Mungkin logika yang dibayangkan diantaranya: Siapa yang sah menjadi suami dari perempuan itu di kehidupan setelah kematian? Atau, enak juga perempuan itu, ketika kebangkitan terjadi, mendadak dia memiliki suami langsung tujuh, kakak beradik. Apa nggak terjadi keributan dan kebingungan besar disana?

Dengan nada yang humoris juga, Yesus memberi komentar kepada pertanyaan tersebut. Caranya adalah memberikan alternatif yang tidak lazim dibayangkan oleh manusia. Karena kita terbiasa dengan dikotomi rohani-jasmani, maka seringkali kita berasumsi bahwa argumen Yesus lah yang benar karena menggunakan argumentasi rohani tentang kebangkitan orang mati, sedangkan argumen imaginatif Saduki salah karena menggunakan argumentasi jasmaniah. Namun bukankan dikotomi jasmani-rohani, dalam hal-hal seperti ini, semakin memperlihatkan tidak bisa dirampungkannya problem keterbatasan berpikir manusia?

Saya kira kedua argumen, baik yang disampaikan orang Saduki maupun yang disampaikan oleh Yesus sama-sama memiliki nuansa humor. saya bayangkan suaana percakapannya sangat menyenangkan dan penuh dengan canda tawa di sana-sini. Dan penulis Alkitab menyoroti khusus pada persoalan kebangkitan orang mati dengan tujuan untuk memperlihatkan bahwa ajaran Yesus sangat kritis terhadap ajaran Yahudi namun tidak selamanya antipati. Sambil minum anggur, mendiskusikan hal-hal yang filosofis yang berkaitan langsung dengan praktek keagamaan, mereka memandang hal-hal tertentu memang sungguh diluar kemampuan manusia untuk membayangkan, dan oleh karenanya baik untuk dihayati dengan senyum yang gembira.

Nada humoris Yesus terletak pada argumen tentang bagaimana orang Yahudi juga memandang Allah sebagai Allah Abraham, Yakub, dan Ishak. Kalau dikalimatkan seturut dengan model pengkotbah hari ini menyampaikan pesannya kira-kira bunyi percakapan Yesus dan orang Saduki itu demikian:

Saduki: "lha iya ... kalau memang benar ada kebangkitan orang mati, apa itu nggak merusak hukum buatan Musa, wong orang diwajibkan kawin mawin seperti itu"

(Saya bayangkan mereka lantas tersenyum bersama-sama .... "iya ya"....)

Yesus: ""Itu belum seberapa, lha wong kita juga khan menyebut Allah sebagai Allahnya Abraham, Allahnya Ishak, Allahnya Yakub .... lha apa nggak bingung nantinya ... bagaimana coba kita bisa memastikan Allah versinya siapa yang asli dan sah ...?

(Pasti tawa mereka meledak bersama-sama .... "iya ya"....)

Lantas mengapa penulis Alkitab memilih dialog ini menjadi bagian dari kisah tentang perjalanan hidup Yesus berjumpa dengan beragam orang. Apakah ada pesan serius dan dogmatis yang hendak disampaikan? Inilah kecenderungan tiap pendengar kotbah seperti saya pagi ini. Apa kira-kira pesan kotbah yang mau disampaikan ya kok semuanya hanya diisi dengan guyonan.

Sepertinya ada saatnya kita memang perlu humor bahkan humor Alkitabiah, humor illahi, memahami bahwa ada hal-hal tertentu yang memang hanya kita beri respon dengan senyuman bahkan tawa yang lepas. Dan humor yang baik adalah ketika kita berani menertawakan diri sendiri dalam keterbatasan kita memahami banyak hal yang belum atau tidak dapat kita jelaskan dengan deskripsi dan argumentasi yang serius-akademis-dogmatis. Menertawakan paham, kepercayaan, dogma, cara pikir yang kita miliki adalah humor yang produktif karena menghasilkan kesadaran dan peluang baru untuk menghargai dan menghormati paham, kepercayaan, dogma, dan cara pikir orang lain. Terutama jika yang menjadi topik diskusinya adalah hal-hal yang memang lebih layak dan patut digolongkan sebagai humor.

Kedua pihak, baik orang Saduki maupun Yesus hidup dalam tradisi Yahudi - yang sama seperti tradisi lain - sarat dengan peraturan baik yang tertulis maupun tak tertulis mengenai bagaimana orang harus hidup dengan yang lain, sarat juga dengan beragam penjelasan tentang bagaimana orang sebaiknya memandang dan mengakui keberadaan yang illahi.

Nah daripada kita menjebak diri kita sendiri dengan suasana yang melulu dogmatis dan sok serius pada semua hal, termasuk hal-hal yang sebenarnya gak perlu kita lihat begitu, bukankah perlu juga kita relax sejenak dan tersenyum, tertawa, dan merasakan bahwa cara Tuhan berinteraksi dengan manusia itu menyenangkan, penuh humor dan ... pokoknya ... asyik deh .... hehehe.....


Komentar

Postingan Populer