Minumlah kopimu dengan tulus ikhlas .....

TULUS DAN IKLAS

Pagi ini seorang teman mengajak berdiskusi tentang bagaimana caranya bersikap tulus dan iklas khususnya kepada orang-orang yang dengan cara menjengkelkan terus menerus mengatakan dan melakukan tindakan yang tidak menyenangkan.

Apakah aku bisa tulus dan iklas dalam diskusi ini? Ini pergumulan pertama yang berada dalam pikiran dan perasaanku.

Sebagai orang yang memiliki latar pendidikan sosial dan humaniora yang cukup memadahi untuk dianggap sebagai orang berhikmat dlam komunitsnya, teman diskusi saya memulai diskusi dengan mengungkap bahwa bersikap kepada orang lain, terutama "orang sulit" dalam komunitas adalah panggilan profesinya. Maka yang dia jadikan argumentasi adalah bagaimana mendapatkan solusi yang terbaik yang bisa diberikan (bahasa yang digunakannya: dinasihatkan) kepada orang lain tersebut.

Aku sejenak berpikir, apakah ada sebuah profesi yang menuntut orang untuk melihat bahwa orang lain adalah obyek dari pikiran dan perasaan kita? jawabnya jelas, hampir semua profesi memang menuntut demikian. Kalau begitu, apakah ketulusan dan keiklasan ada ukuran kadarnya? 

Beberapa tahun yang lalu, thema ketulusan menjadi bahan diskusi yang menarik para penggiat dialog antar iman dan pejuang pluralisme di Indonesia. Pertanyaan terbesarnya kira-kira ya hampir sama dengan apa yang sedang kami diskusikan. Kesediaan untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda cara pikir, keyakinan, dan idea tentang kehidupan dibutuhkan ketulusan. Namun darimanakah ketulusan itu harus dimulai?

Ada yang merefleksikan dengan anjuran untuk memulainya dari spiritualitas diri sendiri, ada yang secara strategis mempertanyakan konsep tentang keluarga, ada yang secara idiologis menelaah tentang sistem pendidikan, bahkan ada yang secara filosophis-theologis mengkritik ajaran-dogma agama-agama. Ketulusan, pertanyaan sepele dari sebuah semangat minum kopi di pagi hari ternyata berada dalam "jalinan ular berbisa" tatanan peradaban manusia. Diperlukan keberanian untuk membongkar, atau paling tidak mengakui itu semua. 

Para psikolog mungkin perlu melibatkan metode analisis dengan pendekatan arkeologis terhadap perkembangan jiwa seseorang uantuk menemukan tindakan tulus yang paling relevan dalam kondisi psikologis tertentu dan dalam konteks interaksionalnya dengan orang lain. Akan banyak faktor dan indikator perlu dibuat dan ditimbang agar orang sampai pada pilihan tindakan tulus. Sekalipun begitu, faktor orang lain yang mengalami dan melihat tindakan tulus itu ternyata menentukan apakah ketulusan "personal" itu layak bagi orang lain ataukah tidak.

Dari perspektif filosophis, ketulusan bisa dibangun konsepnya secara metodologis namun juga harus selalu siap dirombak ulang ketika tindakan yang "dianggap" tulus itu ternyata tidak membawa kemaslahatan bersama. Ketika orang yang merasa berada dalam "peradaban baru" hendak mengajak dan mengajari kelompok orang lain yang dianggapnya berada dalam "pra-peradaban" sebuah perilaku yang lebih manusiawi dan meninggalkan barbarianisme, ketulusan menjadi kunci utamanya. Dan seketika itu mulai disadari dampaknya, seketika itu pula ketulusan menjadi sebuah kata yang sarat dengan makna manipulatif yang menyimpan kekejian.

Setiap agama juga menyuarakan ketulusan. Spiritualitas yang dikembangkan oleh tiap agama memandang bahwa sikap tulus dan iklas adalah norma dan nilai hakiki atau bahkan jati diri dari agama itu sendiri. Ketulusan adalah pilihan untuk menjadi. Ketulusan adalah tindakan yang mendatangkan pahala. Ketulusan adalah penerimaan dan pemberian sekaligus baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Ketulusan adalah tingkah laku makhluk sorgawi penghuni nirwana.

Teman diskusiku memotong proses penggalian informasi ini dengan pertanyaan reflektif yang cenderung meminta alternatif aktivisme macam apa yang perlu segera dilakukan. Maka kami tiba pada pilihan awal untuk mengurai kalimat Yesus: "Pergilah dengan damai". Tentu orang tidak akan mudah membayangkan apa yang terjadi saat itu. Sebuah tindakan amat mendasar berkaitan dengan hidup matinya seseorang, diselami oleh Yesus dan sesudah itu .... pergilah. Agama mana yang mengijinkan umatnya apalagi pemimpinnya untuk berada dalam sikap aktifisme semacam itu. Sebuah keterlibatan yang membebaskan, sebuah tindakan yang menyediakan kesempatan kedua, sebuah pilihan yang memungkinkan setiap orang memilikinya dengan hak yang sama.

Ini belum selesai, karena dengan jujur teman diskusiku ingin menikmati waktunya dengan mencuci pakaian.
Ya... ini belum selesai kawan.

Untuk Lintang DiLangit.

Komentar

Postingan Populer