Tempat paling damai di Bumi


(Pengalaman pribadi menemukan komunitas damai)

Artikel ini adalah salah satu tulisan yang diterbitkan dalam buku ini


Pengantar

Tulisan ini adalah refleksi dari pengalam panjang penulis mencoba menemukan komunitas manusiawi yang bisa dirasakan sebagai “rumah” dan tempat paling damai di bumi. Begitu panjang dan pentingnya pengalaman itu bagi usaha kita bersama memahami hidup damai dalam kepelbagaian dan bagaimana membangun sikap diri (personal maupun organisasional) yang otentik penuh semangat menuju kedewasaan bersama dengan orang-orang disekitar kita, maka detail peristiwa tidak diutamakan. Penulis berusaha fokus pada perjumpaan-perjumpaan dengan realitas yang paling penting yang memberi pelajaran, membuka wawasan dan mendewasakan penulis.

Pertanyaan paling penting

Dimanakah tempat paling damai di Bumi? Apakah di rumah, ketika semakin hari semakin nampak bahwa bahkan sistem pendidikan yang lazim dilakukan dalam keluarga cenderung abusif dan mencetak generasi baru yang tidak mampu menentukan dengan bebas identitas dirinya? Apakah di sekolah atau kampus, yang semakin populer dimaklumi bahwa semakin kritis dan progresif seorang siswa atau mahasiswa, semakin kesulitan dia mendapatkan akses terhadap kelangsungan pendidikannya? Apakah dalam lembaga keagamaan, yang semakin hari semakin memperlihatkan bahwa kesibukan utamanya bukan lagi membangun keutuhan kemanusiaan yang bergaul dengan Tuhan, namun birokrasi ekonomi politik, tata organisasi, dan ambisi mengedepankan simbol-simbol duniawi sebagai keberhasilannya? Pertanyaan-pertanyaan besar seperti ini selalu mengganggu nalar sehat siapapun yang dengan ketulusan membuka diri, menjadi diri sendiri, dan yang selalu berusaha mencari jalan-jalan damai.

Pertanyaan-pertanyaan di atas akan semakin panjang dan mengganggu ketika seseorang memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan beberapa orang, yang mengecewakan lembaga moral, dan yang membuat marah pemakluman sosial karena tabu yang dijunjung terlalu tinggi terbongkar kebusukannya. Demikianlah pengalaman saya menelusuri jalan-jalan hidup otentik apa adanya mencoba menemukan tempat paling damai di Bumi. Sebagaimana semua orang berusaha mencarinya, pencarian itu aku mulai dari diriku sendiri.

Untuk itu pertanyaan pertama yang aku tegaskan pada diriku sendiri adalah menyadari sepenuhnya bagaimana cara pandang diriku memetakan, merasakan, menggambarkan, menamai, dan hidup di dalamnya. Jelas orang yang mencari tempat paling damai di dunia bukanlah orang yang sempurna. Karena ternyata tempat paling damai di dnuia itu bermula dalam pribadi yang berdamai dengan diri sendiri, yang memilih jalan-jalan damai dengan segala macam resikonya, dan tetap menghidupi damai sepanjang jalan itu.

Tempat paling aman

Tidak ada seorangpun yang bisa memastikan sebuah tempat adalah tempat paling aman di dunia ini. Karena tempat paling aman adalah tempat dimana seseorang merasa paling bebas menjadi dirinya sendiri, tempat dimana keunikan-kekurangan-kelebihan dihargai sebagai peluang belajar menjadi semakin dewasa, sebuah tempat dimana orang-orang yang ada disekeliling kita adalah orang-orang yang sepenuhnya bisa dipercaya tidak akan berbuat jahat kepada kita apapun situasinya.

Sesungguhnya sederhana, namun dalam konteks kultural dan psiko-sosial masyarakat yang khabarnya ramah tamah dan penuh pengertian ini, menemukan tempat paling aman tidaklah mudah. Dimanakah kita bisa menjadi diri sendiri dengan bebas jika harmoni dimaknai dengan cenderung melihat pada persamaan-keseragaman-persetujuan-pemakluman, keselarasan diakui jika terjadi ketundukan pada suara kebanyakan, dan ketenangan ditekankan sebagai keadaan tanpa adanya ide-ide besar yang menghasilkan perbedaan-perbedaan yang kontras?

Menemukan tempat paling aman ternyata butuh kerja keras bernegosiasi, berkompromi, dan bahkan mentoleransi banyak hal yang ada di sekitar kita. Mengapa? Karena setiap orang akan berhadapan dengan paradoks realitas sosial. Tentu ada banyak aspek yang bisa menolong seseorang untuk dapat berekspresi dengan merdeka dan menemukan penghargaan yang semestinya. Namun ada banyak ketentuan, hukum komunal, kebiasaan, adat, tradisi, aturan-aturan tak tertulis bahkan yang tertulis dengan asumsi memiliki kesucian tertinggi, dan lain sebagainya yang tidak selalu mampu menampung identitas diri, ekspresi terbaik, dan minat paling menonjol seseorang.

Karena hal-hal itulah, sering muncul persoalan mayoritas dipertentangkan dengan minoritas, persoalan anggapan umum (common sense) dipertentangkan dengan sikap pribadi, bahkan persoalan kekuasaan yang sering dengan latah dan salah kaprah dijadikan rujukan terakhir menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi dipertentangkan dengan kehendak rakyat. Maksudnya begini; karena perbedaan antara seseorang dengan seorang yang lain itu kadang bisa sampai pada persoalan siapa benar dan siapa salah, siapa menang dan siapa kalah, maka dibutuhkanlah otoritas tertinggi yang menghakimi. Bentuknya bisa berupa surat, ketentuan, legalitas, peraturan, kitab, orang penting dan hebat, sampai pada kekuasaan negara dengan alat militernya. Jadi logika yang terbangun adalah bahwa dalam sebuah masyarakat, ketika relasi interpersonal berada dalam perbedaan kritis, otoritas tertingginya adalah penghakiman berdasarkan hukum.

Saking dominannya kesadaran pada logika itu, maka setelah negara, beramai-ramailah institusi-institusi yang ikut-ikutan mengurusi masyarakat, organisasi-organisasi masa, dan bahkan perkumpulan-perkumpulan komunal dari Rukun Tetangga (RT) hingga kelompok minat, hobi dan kelompok keagamaan dan keyakinanpun membangun aturan dan kebiasaannya, bahkan hukumnya sendiri. Tentu hal seperti ini diperlukan dalam banyak hal. Namun tidak dalam semua hal. Karena tetap perlu untuk selalu dipertanyakan bentuk-bentuk praktisnya. Apakah dengan mekanisme yang dilengkapi dengan ancaman hukuman seperti itu, individu dapat menemukan tempat paling amannya?

Sebagai sebuah contoh. Gereja adalah organisasi yang entah apapun interpretasi denominasionalnya (berdasarkan aliran-aliran) – berbasis pada nilai-nilai yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Pada prakteknya, sebagaimana lazimnya sebuah organisasi, logika hukum seperti di atas juga menjadi acuan penting dalam mengatur dan mengelola kelangsungan organisasi dan bahkan bentuk-bentuk relasi interpersonal para anggotanya. Maka selain ritual-ritual, peraturan-peraturan dan bahkan konsekuensi hukuman pun disediakan dalam organisasi ini. Beginilah setiap organisasi, apalagi institusi (yang memiliki induk kitab hukum berdasar konstitusi) biasanya membangun kesadaran eksistensialnya. Maka sekali lagi pertanyaan diatas semakin menguat, apakah gereja masih merupakan tempat yang aman bagi kebebasan ekspresi orang untuk bergumul dengan sesamanya dan bergaul dengan Tuhannya?

Dalam beberapa kasus yang membuat geram para pejabatnya, terutama jika hal itu berkaitan dengan tabu terbesar yang disembunyikan ketat sebagai kesombongan identitas diri, gereja terbukti tidak mampu lagi menjadi tempat yang aman. “Pelanggaran” terhadap otoritas gereja sebagai pemegang tafsir formal tentang moralitas dan sistem relasional – yang biasanya dengan perasaan tanpa dosa mendasari legitimasinya pada kenyamanan umum – bisa jadi sangat mengancam dan membuat seseorang kehilangan kenyamanan dan keamanan hidupnya. Kasus perceraian, mempraktekkan ritual dari denominasi lain (seperti babtis ulang) dan tradisi budaya yang dianggap “non gerejani”, dan apalagi mempertanyakan kode etik dan mekanisme kelayakan para pemimpin gereja, masih banyak dijumpai berakhir dengan perasaan tidak aman dan tidak nyaman pada berbagai pihak.

Godaan Kekuasaan

Setiap kelompok-komunitas, organisasi, maupun institusi dalam bentuk yang bermacam-macam selalu berada dalam godaan kekuasaan. Godaan untuk menjadi berkuasa. Godaan untuk menguasai dan menunjukkan bahwa kekuasaannya itu berpengaruh terhadap kehidupan orang. Godaan seperti inilah yang sering menjadi alat permainan dalam membangun mekanisme pengelolaan hubungan interpersonal. Dan ketika kekuasaan sudah menjadi mekanisme penentu bentuk-bentuk relasi interpersonal dalam sebuah kelompok-komunitas atau organisasi-institusi maka secara alamiah dibutuhkan sebuah sistem yang mengikat bersama. Sistem memang diperlukan, tetapi sistem bukanlah hasil atau kebutuhan sebuah kekuasaan. Sistem sebenarnya dibuat untuk melayani manusianya, para anggota kelompok atau organisasi. Ketika sistem dianggap sebagai alat kekuasaan, maka seluhur dan sesuci apapun sebuah komunitas dan organisasi, dia akan menghadapi kenyataan penindasan pada orang-orangnya sendiri. Namun begitulah godaan kekuasaan. Membuat orang mudah tidak sadar bahwa sistem yang dibangun dalam sebuah komunitas atau organisasi sesungguhnya bisa dikatakan ada atau eksis jika melayani manusianya.

Sebagai sebuah contoh. Ketika orang bicara soal toleransi, yang sebenarnya berarti ambang batas yang bisa diterima oleh seseorang atau sebuah kelompok, apakah yang terpikirkan? Toleransi terlalu mudah diucapkan ketika orang menjumpai perbedaan. Bahkan dengan semena-mena kadang diartikan sekedar sebagai penghibur diri bahwa sekalipun berbeda (entah bagaimana) sebenarnya kita sebagai manusia selalu harus menmukan kesamaan-kesamaan. Toleransi bahkan dianggap sebagai bentuk penerimaan apa adanya, pun terhadap tindakan jahat anti kemanusiaan. Oleh karenanya selalu dibutuhkan penjaga toleransi, penjaga damai, penjaga perbedaan-perbedaan. Inilah logika yang terbangun dalam sebuah sistem komunal yang berasal dari godaan kekuasaan. Ada pengandaian umum bahwa, toh pada akhirnya ada kekuasaan tertentu (entah itu negara, atau Yang Illahi) yang akan mengadili dan menghakimi keragaman itu serta menentukan aturan terbaik bagi semua. Bukankah begitu logika yang melahirkan SKB pendirian rumah ibadat? Pembentukan FKUB dan bahkan segala bentuk proyek politisasi agama yang telah membuat negara dan institusi di bawahnya bukan lagi tempat aman bagi orang beragama?

Dengan demikian nampaklah bahwa pengembaraan menemukan tempat paling aman itu mengalami kesulitan – kalau tidak mengalami kegagalan – tepat ketika seseorang memasuki sebuah komunitas atau organisasi tertentu. Maka timbul pertanyaan, adakah organisasi alternatif yang melampaui kesadaran alamiah dibawah godaan kekuasaan seperti itu? Disinilah pengalaman paling penting yang saya alami. Tentu sebagai seorang pencari, ada kalanya tanda-tanda yang setidaknya menunjukkan harapan perlu segera diselami dan dirasakan. Pengalaman paling berharga itu adalah ketika menemukan para sahabat yang mengarusutamakan dialog dalam mengelola interaksi interpersonalnya melampaui segala bentuk godaan kekuasaan, legalisasi, sistem moral, apalagi dogmatisasi keagamaan.

Gusdurian

Sudah cukup lama saya mengagumi Gus Dur (K.H. Abdurachman Wahid) dan sudah cukup banyak tulisan dan pikiran beliau mempengaruhi cara pandang saya tentang agama, politik kebangsaan, pluralisme, dan terutama penerimaan dan pembelaan pada orang atau kelompok kecil lemah tak berdaya. Seorang model pemimpin agama yang sangat susah dijumpai di Indonesia bahkan di dunia. Resiko demi resiko ditantangnya dengan senyuman penuh humor memberi tanda bahwa apapun keadaannya, kebahagiaan tiap orang itu penting dan memberi ruang untuk berkembang baik dalam pemikiran baru maupun pada kesadaran baru. Jelas sebagai orang Kristen, saya tidak mendapat keleluasaan ekstra untuk bisa mendengar dan berinteraksi langsung dengan gagasan-gagasan keagamaan beliau. Tapi dari banyak refleksi keagamaan yang disampaikannya nampak jelas bahwa beliau dalah figur yang konsisten dalam membangun praksis hidupnya. Itulah sebabnya, nilai-nilai keutamaan hidup (values) beliaulah yang sangat kuat hidup di dalam hati banyak orang di Indonesia, apapun agama mereka. Begitulah ketika saya mendengar banyak kawan membicarakan tentang munculnya komunitas Gusdurian yang berusaha secara praksis mentransformasikan nilai-nilai yang dihidupi oleh Gus Dur dengan sukacita saya berusaha menjadi bagiannya.

Dengan latar belakang pengalaman bahwa tidak semua komunitas atau organisasi sosial itu pasti berbasis nilai, saya merasa perlu untuk mengadakan pemetaan dan penjajagan. Namun karena yang namanya komunitas atau organisasi sosial itu yang terutama dan terpenting adalah manusianya, maka dalam komunitas ini, pertama kali dan yang terutama adalah saya berjumpa dengan beberapa kawan baru yang ternyata juga memiliki impian dan harapan yang sama dengan saya. Yaitu menemukan tempat paling damai di dunia diantara orang-orang yang mampu melampaui prejudice dan yang berani menghayati hidup beragamanya melampaui asumsi-asumsi primitif pemecah belah dan penghancur kemanusiaan. Beberapa kawan saya ketemukan, sesungguhnya merekalah yang menemukan saya. Berdiskusi bersama dengan kakraban kehangatan tentang banyak hal yang terjadi di tengah masyarakat. Beberapa kali terlibat dalam aksi-aksi penyuaraan perdamaian dan kemanusiaan. Dan seringkali berefleksi bersama bagaimana bertumbuh menjadi manusia seutuhnya. 

Singkat kata, perjumpaan itu meyakinkan saya bahwa yang disebut komunitas adalah pribadi-pribadi yang berbeda, yang dalam perjumpaannya menemukan rasa penerimaan, penghargaan, kebahagiaan, dan pengharapan bersama dan yang selanjutnya dalam kebersamaan itu melakukan aksi bersama demi tersebarkannya nilai-nilai keutamaan hidup kepada semakin banyak orang.

Ketika perjumpaan itu semakin intens berada dalam level personal yang tidak lagi sekedar status kawan di media sosial atau sekedar sama-sama tercatat dalam buku induk organisasi tertentu, maka refleksi yang tumbuh lebih pada bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai yang paling disyukuri dimiliki oleh tiap-tiap pribadi daripada menyibukkan diri dengan pengukuhan identitas. Saat itulah, tempat aman dapat mulai dibangun bersama. Tanpa tembok, tanpa birokrasi, dan tanpa segala bentuk pemisahan sosial yang dilekatkan sebagai identitas personal seperti jenis kelamin, agama, etnisitas, usia, asal daerah, dan lain sebagainya. Tempat aman seperti ini perlu dikerjakan terus, karena tidak pernah sekali jadi dan lalu merasa mapan. Dialog yang dibangun dilandasi pada semangat penghargaan, penghormatan, dan kepercayaan adalah pondasi yang paling kokoh untuk membangun tempat aman. Bahwa setiap anggota komunitas kehadirannya adalah berharga dan penting bagi dirinya sendiri, bagi orang lain, dan bagi dunia ini. Bahwa setiap orang dapat berpartisipasi berdasarkan talenta dan minat terbaik yang sudah dikaruniakan Tuhan padanya. Begitulah perjumpaan menemukan makna sakralnya dan nilai-nilai keutamaan hidup menjadi tindakan yang paling efektif.

Mungkin kita bertanya, mengapa nilai-nilai yang bisa menciptakan ruang paling aman bagi kehidupan bersama yang plural? Yang pertama dan sangat mendasar adalah kesadaran bahwa sejak dari penghargaan kita pada diri sendiripun kita menjumpai pluralitas. Menghargai diri otentik yang plural itulah yang akan memampukan seseorang untuk berani melihat perbedaan yang ada pada diri orang lain. Demikian seterusnya, hingga setiap anggota komunitas saling melihat bahwa keberbedaan itu adalah anugerah yang perlu disyukuri. Dengan langkah awal ini, nilai-nilai personal (yang bisa berasal dari agama, ilmu, ketrampilan, kepekaan, kepedulian, perasaan, dan sebagainya) mendapatkan tempat untuk saling diekspresikan dengan merdeka. Semakin nilai-nilai personal itu diwujudkan dengan keterbukaan dan kejujuran, maka semakin pula sebuah komunitas dapat menghidupi dirinya. Semakin komunitas terbangun dengan kekuatan keragaman nilai-nilai semakin dialog menjadi intensif, dan semakin relasi interpersonal semakin kokoh.

Agama yang masing-masing dipercaya oleh tiap-tiap anggota komunitas adalah roh yang akan sangat berperan penting pada saat ia meneguhkan nilai-nilai keutamaan hidup bersama. Dalam posisi seperti ini, agama dihayati, diyakini, dipercaya, dipelajari, dan dipraktekkan secara nyata karena menjadi nafas hidup nilai-nilai kehidupan bersama itu. Agama dan kepercayaan dengan demikian menemukan kembali fitalitasnya bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam semesta ini. Inilah yang biasanya disebut sebagai dialog kehidupan, sebuah proses bertumbuh bersama untuk menghargai berkah anugerah yang illahi dalam mewujudkan kehidupan yang manusiawi. Dalam dialog kehidupan, agama memiliki peran penting dalam menyediakan tempat aman bagi kemanusiaan melampaui segala bentuk dogmatisasi, sistem dan struktur yang dimilikinya.

Tempat paling aman di Bumi

Inilah proses panjang perjumpaanku dengan kawan-kawan yang kemudian secara bersama-sama menemukan wadah bersama dalam organisasi berbasis nilai yang disebut Gusdurian. Merekalah orang-orang penting dan amat berharga yang menemaniku, bahkan bisa disebut berjalan bersama mengiringi aku, sebagai manusia yang tidak sempurna, untuk menemukan tempat paling aman. Pada saat kami bersama-sama, entah disebuah rumah, di warung kopi, di tengah demonstrasi, di tempat-tempat yang disucikan, dimanapun, kami merasakan ada ruang aman untuk menjadi diri otentik. Dengan terus mengingat bahwa peluang untuk menunjukkan nilai-nilai kehidupan itu dapat terjadi setiap saat dan dalam tiap kesempatan, aku merasakan bahwa yang disebut tempat paling damai di bumi adalah disini. Tepat diantara peristiwa perjumpaan dengan penerimaan tulus terjadi, tepat ketika segala perbedaan dihargai dan disyukuri sebagai roh yang menghidupi, dan tepat dimana kejujuran dialog menjadi bahasa yang terus menerus membahagiakan.

Karena bagiku, menjumpai Tuhan tidak lain adalah menjumpai segala ciptaanNya termasuk segala anugerah terbaik yang dimiliki oleh tiap-tiap makhluk. Menghormati Tuhan dengan demikian juga tak lain adalah menghargai dan menghormati segala ciptaanNya itu. Begitulah tempat paling damai di bumi, bagiku.

Komentar

Unknown mengatakan…
apabila terdapat kemampuan untuk mengenali dan memainkan perbedaan itu dengan fokus yang sama maka akan terdengar alunan merdu yang dapat menyentuh dan membuka pintu agar kedamaian itu bebas. tergantung kemampuan yang mengenali dan memainkannya, apakah untuk alunan Tinggi atau Rendah. alunan merdu merupakan keseimbangan diantaranya.

Postingan Populer