5 DALIL TENTANG SAMPAH
1.
Tempat paling bersih adalah tempat
yang menghasilkan paling banyak sampah.
Sampah itu tidak
pernah menjadi tidak ada. Sampah hanya berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lainnya. Dalam ruang tamu yang bersih, terdapat akumulasi sampah di dapur
atau teras belakang rumah. Dari keseluruhan rumah yang bersih, ada akumulasi
sampah di tempat sampah lingkungan. Dari lingkungan yang bersih, ada akumulasi
sampah di TPA. Itupun kalau dengan tertib bisa mengalir dengan lancar hingga ke
TPA. Pada kenyataannya, aliran itu banyak harus melalui gang-gang kumuh dan
sungai-sungai, lembah-lembah, dan tanah-tanah yang tak difungsikan. Jadi kalau
kita merasa tempat kita sudah cukup bersih, sebaiknya kita juga cukup sadar darimana
saja sampah itu berasal dan kemana semua sampah itu mengalir dan berakhir.
Idea tentang
kebersihan itulah yang paling menyumbangkan sampah terbanyak. Dengan idea
tentang kebersihan terhadap barang yang kita kosumsi, proses panjang harus
dilalui, dan itu menghasilkan sampah disepanjang perjalanannya. Dengan idea
tentang kebersihan itu, dengan mudah kita membedakan seperti apakah yang
disebut bersih tanpa sampah dan seperti apakah hidup tidak bersih dengan sampah
itu. Ide kebersihan yang menghasilkan sikap mental tidak mau tahu dan anti
terhadap sampah, pada prakteknya memberikan andil terbesar bagi terakumulasinya
sampah.
Dibutuhkan eksplanasi
tentang sampah yang tidak melulu dikaitkan dengan idea tentang kebersihan.
Kebersihan bukanlah tiadanya sampah, tapi semakin berkurangnya buangan sampah
yang berasal dari idea tentang kebersihan yang kita bangun. Dengan kata lain,
semakin bersih diri kita, semakin banyak sampah yang seharusnya kita sadari.
2.
Setiap barang yang kita konsumsi,
sebersih apapun itu, telah menghasilkan sampah sejak dari proses produksinya,
distribusinya, pengemasan ecerannya, hingga paska konsumsi.
Menghitung kemampuan
diri pribadi dalam menghasilkan sampah dengan hanya melihat seberapa banyak
sampah di dalam tempat sampah kita sehari-hari adalah hitungan yang sangat jauh
dari kenyataan kemampuan tiap orang menghasilkan sampah. Apakah kita pernah
tahu berapa banyak sampah dihasilkan oleh sebuah pabrik untuk menghasilkan satu
Handphone yang kita pakai sehari-hari? Belum lagi kalau juga ditambahkan polusi
udara, suara, air yang diakibatkannya hanya demi memproduksi satu Hanphone kita
itu. Kita semua, setiap orang adalah penghasil sampah sejak dari kita
mengkonsumsi sesuatu.
Sejak bayi, pernahkan
kita menghitung sudah berapa banyak sampah kita hasilkan untuk memproduksi
susu, mainan, makanan, pakaian, pampers yang sudah kita gunakan? Dan masih
pernahkan terpikirkan oleh kita, lantas kemana saja semua sampah yang telah
kita hasilkan itu? Berbicara tentang sampah haruslah berawal dari asal-usul
sampah itu sendiri. Berawal dari kemampuan tiap-tiap orang melihat dengan jeli
seberapa banyak sampah telah dihasilkannya sepanjang hidupnya.
Setiap produksi
barang, entah itu makanan, pakaian, apalagi alat-alat modern canggih bermotor
atau elektronik, kebanyakan sampah yang dihasilkannya melebihi jumlah intrinsik
barang itu sendiri. Untuk menghidangkan satu piring nasi putih saja,
terbayangkah berapa ruas pohon padi mengering yang kadang harus dibakar, berapa
banyak bekatul dan debu agar buliran padi menjadi beras, berapa banyak air
harus menjadi keruh untuk mencuci beras. Belum lagi alat pemasak nasi yang
akhirnya kotor dan harus dicuci dengan detergent mempolusi air, bumi yang harus
disedot gasnya untuk menghidupkan kompor. Dan lagi berapa banyak sampah juga dihasilkan
untuk membuat satu piring, tempat untuk menghidangkan nasi anda itu? Ketika
dari sawah dibawa ke tempat pengolahan, ada kendaraan yang mempolusi udara, ada
jalanan yang perlu dilalui, lantas harus dibuatkan pengemasan dengan
plastik-plastik, dibawa ke pengecer sekali lagi dengan kendaraan, dari pengecer
kemasan diganti lebih kecil lagi, dan sampailah pada pemilik warung. Bayangkan
berapa banyak sampah jika semua itu dihitung dan dibebankan kepada anda ketika
hendak menikmati sepiring nasi.
3.
Kebanyakan sampah tak terolah dan
terurai dengan cepat adalah akibat langsung dari gengsi dan ego kita.
Semakin hari semakin
banyak hadir barang-barang produksi yang tercipta semata-mata untuk menuruti
gengsi dan ego kita. Semua orang tahu bahwa stereofom adalah barang yang tak
terurai di alam selamanya dan jika terakumulasi akan menjadi penghambat dan
pencegah pertumbuhan segala macam makhluk hidup; tumbuhan dan renik-renik.
Sekalipun saya tidak tahu persis bagaimana secara detail hal itu merusak masa
depan bumi, namun jelas bahwa meninggalkan sesuatu yang tak terurai oleh alam
bagi generasi penerus kita adalah tindakan yang terlalu egois.
Namun siapa sih yang
tak tergoda dengan gengsi menikmati hidangan dalam plastik stereofom? Apalagi
jika sampah jahat itu sudah mendapatkan cap keren, trendy, berkelas
internasional dan promotif bagi peningkatan status sosial. Bandingkan juga
dengan kritik keras penghancuran tanah Papua untuk digali kandungan emasnya
oleh kebanyakan orang yang masih melihat bahwa emas adalah salah satu barang
mulia.
Sekarang tas kresek
berbayar di pasar-pasar modern, harapannya adalah ketika orang harus membayar
tas kresek tersebut orang akan berpikir ulang hendak menggunakannya atau tidak.
Namun asumsi penggunaan tas kresek oleh para konsumen itu sama sekali tidak
menyinggung tentang asumsi gengsi. Jelas tas kresek dari masing-masing toko
modern dan gerai di mall-mall juga adalah sarana promosi produk yang gratis
hemat pajak dan mengerahkan orang dengan sukarela. Sementara logika konsumen
sederhana saja, semakin indah tas kresek yang dipakainya, apalagi jika bisa
memberi kesan pada kelas apakah tempat belanjanya, tas kresek berbayar itu
tidak malah dihindari namun malah menjadi arena penting meningkatkan gengsi
konsumen dan tetap saja menguntungkan produsen.
Singkat kata, gengsi
dan ego kita sebagai konsumen, serta kejelian-kelicikan para produsen menangkap
kebutuhan konsumen agar terpuaskan egonya itulah yang banyak menghasilkan
sampah, dan celakanya biasanya ini berhubungan dengan sampah-sampah yang
ketahanannya bisa mengancam kehidupan generasi baru di masa depan.
4.
Bisnis sampah berasal dari
paradigma primitif bahwa hanya manusia yang berhak mengendalikan makhluk lain
di bumi ini.
Apakah kita kurang
giat dalam mengurusi sampah? Bukankah sampah telah menghasilkan departemen
kerja sendiri di tiap tingkatan birokrasi pemerintah dari tingkat paling tinggi
hingga di tiap-tiap Rukun Tetangga. Tidak terhitung juga lembaga-lembaga dan
sukarelawan yang mencurahkan hidupnya dalam urusan yang sama. Sampah telah
menjadi kepedulian begitu banyak orang, apakah ini sudah cukup?
Arogansi modernitas yang
semakin hari semakin disadari oleh banyak penggerak lingkungan adalah tetap
terbangunnya dengan kokoh paradigma primitif yang memberi rasionalitas bahwa
hanya manusialah yang berhak dan paling bisa mengelola dan mengurus bumi dan
alam semesta ini agar menjadi baik dan lestari. Paradigma seperti ini pulalah
yang digunakan kebanyakan orang dalam berhubungan dengan sampah. Sampah dilihat
sebagai seutuhnya urusan kerja-kerja manusia sebagai makhluk yang paling tinggi
derajadnya di bumi. Dengan begitu, kebanyakan sampah hanya teridentifikasi saat
dia mengganggu dan merusak kehidupan manusia. Bahwa sampah itu berpengaruh pada
alam dan iklim, itupun masih dalam kesadaran paradigma primitif bahwa
terganggunya alam dan iklim itu akan berpengaruh buruk pada manusia. Pendek
kata, arogansi itu menyampaikan pesan; manusia mampu membersihkan sampah jadi
ya berhak juga untuk membuat sampah.
Sampah adalah masalah
bersama. Jika dia merusak aliran air bersih, yang kita sayangkan haruslah
hilangnya aliran air bersih itu bukan pada kesomboongan materialistik bahwa
kita kehilangan salah satu sumber air minum. Air adalah entitas penting dalam
bumi yang semestinya tidak boleh diganggu oleh sdikitpun sampah yang dihasilkan
oleh manusia. Tanah juga entitas yang proses daur hidupnya tidak layak
diinterupsi oleh sampah yang lama dan bahkan tak mampu diurainya menjadi
bagiannya. Udarapun demikian, makhluk-makhluk hidup, tumbuhan, segala macam
bakteri dan binatang pun demikian. Selama paradigma primitif yang menyatakan
bahwa manusia adalah satu-satunya pengelola alam semsta itu masih menguasai
logika kita, maka selama itu pula persoalan sampah tak pernah bisa menjadi
bagian dari gerakan bersama seluruh umat manusia. Apalagi menjadi gerakan
bersama dengan seluruh entitas dalam alam semesta.
5.
Gerakan membersihkan sampah
semasif apapun tak akan mampu menandingi percepatan timbunan sampah sampah yang
dihasilkan manusia.
Mungkinkah manusia
hidup tanpa sampah? Jelas tidak mungkin. Harapan besar yang masih tersisa
adalah bagaimanakah sampah yang kita tinggalkan pada generasi kita saat ini
tidak menjadi penghambat dan perusak potensi kehidupan generasi mendatang,
melainkan menjadi berkat dan sumber-sumber baru. Kita semua tahu bahwa minyak
dan batu bara adalah sumber energi berbahan dasar fosil. Apakah sampah yang
kita tinggalkan hari ini suatu saat akan menjadi fosil yang menghasilkan
sesuatu dan memberi kehidupan baru?
Ketika kita melihat
peninggalan-peninggalan leluhur kita yang terkubur dalam lapisan subur tanah,
tak jarang ditumbuhi pepohonan besar, bukankah itu semua dulunya pernah hancur
menjadi sampah sehingga tidak lagi bisa dimanfaatkan? Jadi kita sebenarnya
hidup di atas timbunan sampah nenek moyang kita. Anehnya, timbunan sampah nenek
moyang kita yang belum mengenal industrialisasi itu berupa lahan-lahan yang
sangat subur untuk pertumbauhan anekaragam hayati dan amat nyaman bagi tempat
tinggal anekaragam binatang. Mengapa bisa begitu?
Kalau kita bandingkan
dengan trend produksi sampah yang dibuang oleh peradaban kita saat ini, nampak
ada dua hal yang saling terkait. Pertama adalah bahwa tingkat akumulasi sampah
yang kita hasilkan lebih cepat dibanding kemampuan kita untuk membersihkannya.
Atau dengan kata lain biaya pembersihan sampah yang ada tidak sebanding dengan
hasil produksi barang-barang yang menghasilkan sampah tersebut. Kedua, sebagai
konsekuensi dari yang pertama, gerakan pembersihan sampah semasif apapun akan
tetap terbelenggu oleh logika produktifitas. Artinya cara pikir kita sejauh ini
adalah untuk membayangkan apa yang bisa kita produksi dari sampah yang sudah
kita buang. Padahal kita tahu bahwa setiap kali masuk dalam lingkaran produksi
dan konsumsi, setiap kali itu pula kita menyisakan sampah lagi dan lagi.
Oleh akrena itu, arah
pemikiran tentang sampah perlu direorientasi pada kepentingan generasi
mendatang, dengan melibatkan seluruh entitas dalam semesta yang bersentuhan
dengan sampah, dan dengan usaha sedikit-demi sedikit merubah arah pandang bahwa
logika kita tentang produksi, distribusi dan konsumsi telah terjerumus pada
mekanisme penghancuran bumi secara sistematis. Kita hidup di atas, di dalam,
dan dengan sampah. Apakah cara hidup seperti itu akan melestarikan bumi yang
satu ini atau tidak adalah tergantung sepenuhnya pada pilihan terbaik yang bisa
kita buat. Adakah?
Komentar