BUMI HANGUS


Pengalaman terkini


Beberapa hari yang lalu saya mendapat kesempatan langka melihat bagaimana sebuah proses renovasi dan restorasi sebuah gedung heritage yang memiliki keindahan dan kekayaan sejarah hingga ke detail-detail kecil bagian dari bangunan yang ada. Melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pintu dan jendela kuno yang jelas nampak amat kekar dibuang begitu saja diantara onggokan sampah, potensi ruang bawah tanah (yang dianggap menakutkan dan berhantu) di cor dijadikan lantai menghasilkan satu kamar tambahan, dan keindahan ornamental lantai kuno (yang tak ternilai harganya) digancu – dihancurkan berkeping-keping dijadikan urukan di halaman.

Tentu akan amat sulit prosesnya untuk sekedar bertanya atau menyampaikan keluh kesah kesedihan mendalam yang saya alami. Selain rumitnya birokrasi dan kurang kuatnya perangkat hukum terhadap bangunan cagar budaya, orang awam tidaklah mudah mendapatkan akses melihat, menikmati, dan apalagi terlibat dalam menentukan nasib terhadap bangunan cagar budaya. Ada Satpam yang selalu mengawasi siapapun yang keluar masuk area. Ada para pekerja yang nampak kebingungan sendiri dengan apa yang sudah mereka lakukan. Ada para developer pemborong pengerjaan renovasi yang menjalankan pekerjaan mereka berdasar blue-print dan perintah dari pemilik modal dan penguasa bangunan. 

Lantas dari situ, jalur birokrasi akan berakir di jalinan ruwet perkantoran integrasi antar departemen, disanalah para pemimpin kota berada; walikota, anggota DPRD, dan entah siapa lagi yang mampu terlibat hingga bisa berada dalam pusaran pengambilan keputusan. Yang pasti, satu bangunan cagar budaya telah dan sedang dikuliti keasliannya dan bahkan dikanibal daging keindahannya. Disisakan tulang-tulang kokohnya siap untuk dipoles dengan sentuhan modern seturut selera pasar sebagai wisma atau hotel yang berorientasi semata bagi profit-keuntungan finansial belaka. Dan saya menjadi teringat betapa kota ini dulu pernah dibumi hanguskan.

Mentalitas Bumi Hangus


Bumi Hangus dikenal sebagai strategi militer yang digunakan dengan tujuan untuk melemahkan lawan, mengecewakan usaha kemenangannya, dan tentu saja mengorbankan aset komunal untuk melaksanakan tujuan itu. Jadi misalkan kita kalah berperang dalam mempertahankan sebuah kota, maka pada saat sebelum musuh masuk dan menguasai kota, maka dengan kesadaran penuh, kita menghancurkan (hingga rata dengan tanah) dan membakar (hingga hangus) segala aset kota yang memiliki kemungkinan akan dimanfaatkan, dinikmati, dan dimiliki oleh musuh, dan baru lantas mengundurkan diri sejauh-jauhnya dari jangkauan musuh.

Sebagai sebuah strategi perang, mungkin saja taktik itu menguntungkan karena dengan begitu, sekalipun musuh memperoleh kemenangan dan dapat memasuki kota, mereka akan sengsara, kecewa, dan kehilangan jejak dari segala usaha yang kita lakukan dalam memerangi mereka. Disamping itu, musuh juga menjadi lemah dan rentan karena mereka tidak bisa memanfaatkan, menikmati, dan berlindung pada segala aset kota lagi. Harapannya, kalaupun mereka harus bertahan, mereka akan menghabiskan begitu banyak energi dan sumberdaya untuk mengembalikan fungsi kota sebagai tempat yang layak untuk dijadikan hunian dan kedudukan.

Strategi Bumi Hangus semakin efektif jika dilakukan juga dengan meninggalkan kisah-kisah menakutkan, mengerikan, dan menghancurkan nyali. Misalkan dengan meninggalkan sisa-sisa yang memberi tanda dan simbolisasi agar bisa dilihat musuh sebagai tempat yang seram dan mengerikan untuk difungsikan kembali. Mayat, biasanya adalah alat yang paling efektif untuk membangun kesan itu. Sebagaimana kita semua hingga sekarangpun masih menaruh simpatinya, bahwa dunia orang mati – terutama dalam kondisi yang mengenaskan – adalah dunia yang mengancam dan mengerikan. Dan dengan begitu, sangat mudah dan cepat terbangun kisah-kisah di khalayak yang memberi pesan bahwa di sebuah tempat tertentu, di gedung anu, di jalan anu, atau di sungai anu merupakan tempat(-tempat) yang perlu dihindari dan minimal ditakuti.

Nampaklah bahwa operasi Bumi Hangus sasaran utama dan terutamanya adalah untuk menyerang mentalitas musuh. Menjatuhkan nyalinya, dan memposisikan mereka pada keadaan rentan tak berdaya tidak hanya secara fisik, namun terutama secara psikis. Dengan begitu, kengerian musuh, pun dalam sebuah kemenangan setidaknya akan menjadi penghibur kekalahan kita.

Membumi Hanguskan Keseharian


Banyak orang tentu dapat dengan mudah memahami pelaksanaan Bumi Hangus yang terjadi dalam sebuah peperangan. Namun seringkali agak sulit untuk melihat bahwa sesungguhnya tindakan seperti itu adalah refleksi dari mentalitas keseharian, atau sebut saja menjadi penyebab dari bangunan kesadaran sosial tentang sesuatu yang hendak ditinggalkan karena tahu akan dimiliki dan dinikmati oleh orang lain. 

Orang mudah memaklumi bahwa kalau apa yang sebelumnya adalah “milik” ku hendak dijadikan “milik” orang lain, maka sebaiknya dirusak dan dihancurkan dulu saja agar orang lain itu tersakiti dan terkecewakan atau setidaknya menjadi amat kesulitan untuk memulihkannya. Bumi Hangus berasal dari kesadaran diri sebagai manusia yang menempatkan hak-hak diri pastilah dan haruslah lebih tinggi posisinya dari hak-hak orang lain. Bisa jadi, ini adalah strategi balas-dendam pasif yang halus sehingga pihak ketiga yang tidak secara langsung terlibat segera menaruh simpati pada tindakan itu.

Saya memberi istilah mentalitas Bumi Hangus pada banyak contoh perilaku personal dan sosial yang dalam prakteknya bisa kita tengarai menggunakan strategi militer seperti itu terjadi secara terang-terangan dan yang pada umumnya lantas dimaklumi khalayak. Misalnya saja, sebuah kelompok pecinta alam yang berjerihpayah menemukan satu titik paling liar yang belum disentuh manusia, atau satu rombongan wisatawan yang telah berjerih payah menempuh jarak untuk menemukan spot wisata indah, atau bahkan siapa saja ketika melihat kebersihan, ketertiban, kenyamanan, keheningan, ketentraman, keharmonisan, keindahan, kesopanan, dan lain sebagainya lantas dengan spontan berpikir ... “ah kita sudah disini, sudah merasakannya, sudah tahu, sudah menikmatinya ... sekarang mari kita hancurkan, kita rusak, kita buat menjadi begitu buruk, agar orang dibelakang kita, para penerus kita, para generasi baru, tak bisa lagi menikmati apa yang pernah kita nikmati”. Atau dengan bentuk kalimat lain yang mudah dimaklumi bahkan oleh orang yang tidak tahu menahu yang sedang terjadi:

Kalau tidak bisa saya miliki, tidak akan saya biarkan siapapun memilikinya.

Kalau perlu mentalitas Bumi Hangus itu harus dilestarikan lewat segala macam kisah ngeri menakutkan, agar dengan begitu, orang makin mudah memaklumi kejahatan dan dengan begitu memberi peluang lebih luas bagi yang lain untuk melanjutkannya menjadi semakin besar dan efektif dalam mempraktekannya. Mentalitas Bumi Hangus adalah tanda-tanda awal betapa dunia ini sedang berpesta kemenangan di atas puing-puing keputusasaan. Sebuah mentalitas yang menyeret seluruh peradaban kemanusiaan pada kehancuran bersama, kekecewaan dan kesedihan bersama.

Ini di di wilayah kewenanganku, sesukaku sajalah aku mau apa saja.

Lihatlah pada para pembuang sampah di kali dan lahan-lahan kosong lengkap dengan kontras keinginannya untuk tetap dianggap memiliki pola hidup bersih dan terpenuhi haknya untuk selalu mendapat jatah air bersih. Lihatlah para penebang pohon hutan hujan tropis yang memasang iklan agar Bumi Lestari dijadikan gaya hidup tiap orang. Lihatlah para pemelihara dengan anggapan pecinta binatang yang berani menyisihkan jutaan namun tak pernah sekalipun menyisakan sedikit saja sesuatu untuk binatang liar disekitarnya. 

Lihatlah para developer kawasan dan bangunan yang lebih merasa untung untuk menghancurkan pemandangan dan apapun sisa-sisa peninggalan kuno yang ada disitu sembari mengumbar iklan sebagai satu-satu perusahaan yang memberikan kepuasan pelanggan dengan menghadirkan keindahan. Lihatlah sikap orang tua yang heroik dengan semangat membesarkan anak-anak mereka sesuai keinginan orang tua, lihatlah sikap para guru yang penuh frustasi memberikan ilmu kepada para muridnya tanpa mau mengenal potensi terbaik masing-masing anak didiknya, lihatlah sikap senior pada yuniornya, sikap bos pada bawahannya, dan seterusnya. Dan ahai, lantas, lihatlah para generasi muda bersikap terhadap segala produksi budaya material kearifan lokalnya dan keindahan alami disekitarnya. Mentalitas Bumi Hangus tidak hanya terjadi dalam suasana perang saja. Mentalitas itu menjadi keseharian kita.

Apakah kita perlu menunggu hingga dibuat konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang bagaimana mencintai keindahan agar setidaknya kita bisa mengenali gejala mentalitas bumi hangus, mencegah terjadinya, dan mengurangi praktek-prakteknya yang terlanjur dimaklumi? Atau memang seperti itulah karakter dan semangat peradaban kita terhadap segala kekayaan yang kita miliki? Mentalitas Bumi Hangus tiap hari diajarkan kepada kita di jalan, di sekolah, dan mungkin di rumah. Semoga kita bertahan.


Kristanto Budiprabowo

Maret, 8, 2017. 

Komentar

Postingan Populer