Advent 4: Tiga Raja (Ide Penaklukan Illahi)
Penaklukan Illahi
Kisah tentang penaklukan illahi selalu menghiasi banyak agama dan tradisi. Dan kisah itu menjadi semakin menarik dan menawarkan nilai dan bahkan membangun mentalitas, ketika kisah penaklukan itu dibumbui dengan semangat melakukan tugas langsung dari surga. Adalah inisiatif yang illahi untuk melakukan penaklukan pada segala bangsa, budaya dan bahasa. Gambaran paling agresif sebuah agama bisa ditelusuri dari kisah-kisah yang menggambarkan pentingnya penaklukan illahi seperti ini.
Dalam Alkitab, ide ini muncul dalam beragam kisah dan merupakan utopia kuno yang tidak jarang menjadi distopia yang berujung pada perasaan lemah tak berdaya dari manusia di hadapan kinerja yang illahi. Betapa tidak, ketika segala proyek dan usaha membangun kemanusiaan itu diproyeksikan pada kinerja yang illahi yang tanpa batas, yang tanpa akhir, yang (kadang) tanpa peluang reinterpretasi dan negosiasi rasional, maka ujung dari kemampuan perjuangan manusia hanyalah kebinasaan. Dengan demikian ide penaklukan illahi yang ditambahi dengan bonus mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan membahagiakan pasca kebinasaannya, apalagi dengan penggambaran keindahan dan kenyamanan yang bersifat kekal bagi yang turut berjuang, menjadi satu-satunya alternatif yang sulit untuk ditolak.
Tiga Raja
Kehadiran Tiga Raja (Orang Majus) dari Timur (tempat bertahtanya Raja-raja) pada penggambaran peristiwa kelahiran Yesus adalah usaha penulis Injil untuk menerjemahkan ulang ide tentang penaklukan illahi dalam bentuk yang sedikit dimodifikasi. Sekilas pesan yang nampak mengarahkan pemikiran bahwa kehadiran Yesus adalah ending dari drama besar proses sejarah penaklukan illahi. Drama singkat yang mencoba memfokuskan peristiwa penaklukan illahi dalam bentuk yang sangat sederhana yaitu kelahiran seorang bayi. Oleh karena itulah, godaan untuk memberikan gelar luar biasa agung terhadap si bayi - sang penakluk menjadi bagian yang juga tidak terelakkan.
Memang ada tantangan dan ancaman yang bisa beresiko kematian, bahkan kematian sebuah generasi yang baru saja dilahirkan, namun itu adalah lumrah sebagai harga yang harus dibayar ketika penaklukan illahi terjadi. Begitulah logika primitif ini terus menerus meracuni nalar sehat kita.
Prosesi kehadiran tiga Raja ini sarat dengan intrik, penipuan, manipulasi, dan bahkan kompetisi kebesaran antar kekuasaan. Untuk itulah simbol pusat peradaban Yerusalem menjadi penting untuk dijadikan bagian dari plot cerita untuk menegaskan bahwa pada pusat peradaban kecanggihan kekuasaan dan ilmu pengetahuan itulah hal penaklukan illahi menemukan jalannya, menemukan kemenangannya betapapun menghasilkan korban akal sehat dan kemanusiaan itu sendiri.
Kehadiran Tiga Raja dalam kisah kelahiran Yesus dengan demikian menjadi usaha paling rapi agar ingatan tentang penaklukan illahi itu terus berlangsung dan diterima sebagai bagian dari ajaran keagamaan. Dengan menyelipkan ide besar primitif tentang peperangan kosmik dalam sebuah kisah pendek peristiwa kelahiran inilah yang menjadikan umat Kristen hingga sekarang masih terus menyimpan anggapan bahwa mereka perlu dan harus terlibat dalam penaklukan illahi terhadap segala bangsa bahkan segala makhluk di alam semesta ini. Logika primitif yang membuat orang merasa bangga jika bisa "mengkristenkan" orang lain.
Siapa kita dalam kisah itu?
Maka sekarang, menjadi sebuah tantangan besar bagi kita untuk memposisikan diri dalam melihat (terlibat dalam tataran perasaan) peristiwa kehadiran Tiga Raja itu dalam perspektif yang berbeda. Sesungguhnya, apakah yang dibayangkan oleh para penulis Injil tentang sosok bernama Yesus itu sehingga kepercayaan dasar agamawi tentang ide penaklukan illahi atas alam semesta itu dirasa perlu untuk dilekatkan?
Apakah kisah kehadiran tiga raja itu masih membangun mental kita untuk terlibat dalam perang kosmik penaklukan illahi terhadap segala bangsa? Dan menjadikannya inti dasar konsep keagamaan kita? Adakah kita mampu memandang pada sosok Yesus dibalik usaha para penulis Injil (yang sangat dekat dan menjiwai tradisi budaya keagamaan Yahudi) dalam menginterpretasikan Dia?
Saya kira, daripada terus menerus melanggengkan kesadaran adanya perang kosmis dan meyakinkan mentalitas keagamaan pada keterlibatan suci terhadap penaklukan illahi, masih banyak cara lain tersedia dalam kemampuan berpikir kita sebagai manusia yang dianugerahi akal untuk mengapresiasi kisah itu. Maka, daripada terus berpura-pura memerankan keagungan Tiga Raja yang tunduk sujud memberikan upeti persembahan kepada Raja segala Raja, apakah tidak lebih indah dan bermakna jika kita menerobos masuk menjumpai Yesus secara langsung. Yesus yang dalam kesaksian Alkitab ditempatkan tepat ditengah-tengah ide peperangan kosmis dan upaya penaklukan illahi sejak dari kelahirannya di bumi.
Komentar