SAIFULISME

: Berpikir Merdeka

Sebuah slogan yang kelihatannya memang sangat sederhana. Namun dibandingkan dengan arus budaya kepemudaan dan bangunan intelektualitas yang cenderung pragmatis, hedonis, dan konsumeristik, keberanian untuk berpikir merdeka adalah terobosan masa depan. Bagaimana tidak? Sementara kebanyakan mahasiswa mahasiswi sibuk mengejar sekedar nilai pemuas keangkuhan diri, memunafikkan otentisitas eksistensi manusiawinya dengan kesantunan lahiriah berkiblat pada mode dan kumpulan referensi etika pada drama-sinetron, serta tunduk takluk tercetak menjadi alat-alat produksi dunia kapitalis, teriakan 'berpikir merdeka' adalah kesejukan harapan kemanusiaan global masa depan.

Sekalipun diutarakan bahwa judul buku ini adalah 'Saiful is me', melihat permainan penamaan fakta dan peristiwa penulis, saya lebih senang kalau orang berani membacanya sebagai 'Saifulisme'. Ya, sebuah 'isme' sebuah ajaran, sebuah paradigma, sebuah titik pijak berpikir dan membangun cara pandang dunia (worldview) yang sejujurnya selalu beragam pada diri tiap individu. Buku ini adalah sebuah pengakuan, sebuah titik pijak, sebuah batu penjuru sang penulis untuk melihat, menginternalisasi, dan mereproduksi data alamiah di sekitarnya dengan cara otentik Saiful. 

Humanisme, sebuah provokasi teori filosofis segala jaman yang selalu menjadi perdebatan berseberangan dalam jarak antara eksistensialisme hingga nihilisme, direfleksikan penulis sebagai perjalanan masuk ke dalam diri, memanusiakan diri, memanusiakan orang lain, dan dengan begitu sekaligus berproses dalam pendewasaan pola pikir menjadi Manusia. Oleh karenanya penulis tidak mau terjebak dalam keraguan teoretik (Manusia Bodoh Hanya Mitos) dan langsung menohok menghujam memaparkan tentang penghargaan (Dokter itu Manusia Lho), tentang kesederhanaan (Sederhana itu Istimewa) dan tentang strategi damai sebagai pilihannya. Konsep besar tentang humanisme dalam pendekatan Saifulisme dimulai dan diakhiri dengan pertanyaan "Siapakah saya?"

Nasionalisme, yang akhir-akhir ini mengalami penyusutan makna dan logika karena masih terus membutuhkan revolusi-revolusi baru terutama pada diri manusianya, ditantang dengan ujaran sederhana "kamu adalah orang besar" untuk berani lepas dari colonial mentality.  Keberanian membangun identitas dengan kebanggaan inilah yang akan sangat produktif bagi masa depan sebuah bangsa (Bangsa butuh Kamu; Ya Kamu ..!). Ukuran sebuah semangat nasionalisme adalah rasa cinta, rasa menjadi, dan gairah untuk melakukan perubahan diri. Dengan ukuran inilah perdamaian, penghargaan pada perbedaan, dan ide-ide besar tentang dasar dan lambang sebuah negara menemukan bentuknya yang paling perkasa, seperti dalam Pancasila.

Kecintaan kepada bangsa, untuk dapat dengan realistis menghadapinya, dan dengan demikian dapat dengan logis menelaahnya, dapat dilatihkan dengan cara-cara sederhana ketika kita berjumpa dengan orang lain; dengan orang yang kita cintai. Kalau Cinta ya Buka-bukaan dong, inilah cara refleksi kepemudaan untuk melihat bahwa nilai kejujuran, bahkan pada perasaan yang paling dalam adalah utama. Tanpa kejujuran dan ketulusan Romantisisme hanya menjadi harapan palsu, sebuah utopia jika dibahasakan dalam ilmu politik.

Perjalanan perenungan penulis selanjutnya memperlihatkan perjumpaannya dengan paradox-paradox dalam kesehariannya memperhatikan dan menglami sendiri bagaimana orang di sekitar adalah penanda perubahan jaman. kalau bukan tanda positif, itu pastilah pengingat efektif (Agama Hari Ini). Pembaca pasti akan terkejut melihat bagaimana proses berpikir yang dialami oleh penulis ketika dengan sadar meletakkan bahkan tiga perjalanan panjang spiritualitas di dalam satu bab berjudul Liberalisme. Masa persiapan, selama berada, dan sepulang dari Tanah Suci sungguh-sungguh dijadikan sebuah paket panjang perjalanan rohani yang saling terikat bagaimana berjumpa dengan Yang Maha Dasyat (Spiritual Journey 1-3). Hal ini bisa terjadi jika kita bisa membayangkan pengalamannya memasuki realitas bagaimana agama dioperasionalkan, diorganisasikan, dan pada ujungnya digunakan sebagai senjata penghakiman bahkan slogan untuk melakukan anarkisme (Beginikah Generasi Islam Sekarang?). Pengalaman spiritual menajamkan mata bathin, namun juga meluaskan cakrawala pandang terhadap dunia, dan membuat orang semakin bijak dalam pengertian.

Akhirnya, Saifulisme menawarkan sebuah gerakan kesadaran untuk mampu melihat bagaimana sebuah perhatian dan dorongan sederhana yang tepat dapat memberi pengaruh besar dalam hidup seseorang. Bagaimana sebuah pengalaman kecil dengan makhluk tak berdaya seperti semut, menjadi sarana pencerahan yang menguatkan nilai penghormatan (Jangan Mengganggu, Hidup untuk Menghomati). Banyak hal kecil lainnya dalam pengalaman hidup keseharian yang bisa menjadi sarana menghargai hidup, sebagai peluang berkembang dan bahkan sebagai saat yang paling tepat untuk memberi pengaruh pada dunia. Dan tiap orang, dengan caranya masing-masing memiliki peluang dan kesempatan yang sama (Seorang Pemimpi Garis Keras). Tinggal menanyakan pada seberapa keberanian kita untuk berubah dan berkembang, untuk menjadi dewasa.

Selamat Saiful, titik awal perjalananmu telah kamu tetapkan. Banyak orang yang akan terus bersamamu mencintai dunia kehidupan ini sebagai tempat yang layak dihuni dengan damai oleh semua orang, bahkan segala makhluk.





[Saiful "Ipung" Haq, Saiful Is Me: Berpikir Merdeka, Javakarsa Media, Malang, 2014]

Komentar

Anonim mengatakan…
Ini salah satu puncak kado untuk buku sederhana saya, sejak awal sampai akhir, saya menahan nafas dan menikmati dengan semberingah.
terimakasih suhu, atas resensinya, dan juga inspirasinya dalam hal pluralisme.

Salam takzim
Saiful "Ipung" Haq

Postingan Populer