GERAKAN KEBUDAYAAN

"PEMUDA, BUDAYA BANGSA DAN DINAMIKA KEJUANGAN BERKEBUDAYAAN"


Malam itu Warung Kelir menjadi saksi kegelisahan warga Malang Raya dan sekitarnya, beberapa tamu luar kota yang sedang mampir, dan pemuda-pemudi penggerak komunitas. Sebuah kegelisahan mendasar yang telah begitu lama tidak lagi disuarakan, tidak lagi dipikirkan, tidak pula didiskusikan secara mendalam dan serius dalam semangat kemerdekaan. Tempat ini ideal, karena disinilah segala ide progresif liberatif dapat diekspresikan dalam kemerdekaan dan ketulusan apresiatif.

Budaya bangsa dan spirit kejuangan pemuda adalah bagian terpenting yang dikupas dan sungguh-sungguh direfleksikan mendalam. Sejak dari penjelasan thema sudah terasa bahwa setiap orang perlu sedari dini menampik hegemoni thema kebangsaan dan kebudayaan yang sudah diracuni oleh kekelaman Orde Baru. Kesadaran ini menggembirakan, bukan sekedar untuk dijadikan alat guyonan, melainkan keseriusan untuk berani melampaui model-model berpikir yang kolonialis yang menundukkan kesadaran pada kebebasan berpikir kreatif visioner ala cara anak muda mengidealkan masa depan budaya bangsanya.

Ruang dan Waktu Budaya


Dr. Arief Budi Wurianto, M.Si mengawali pendasaran diskusi dengan melakukan pemaknaan kajian budaya (Cultural studies) yang interdisipliner. Budaya sebagai sebuah konstruksi sosial selalu menemukan maknanya dalam ruang dan waktu. Perubahan politik yang menghasilkan dinamika kesadaran nasionalisme, sejarah perjumpaan peradaban kemanusiaan yang meluaskan cakrawala pandang tentang identitas, dan gerakan perubahan dan pergulatan pergantian mainstream dan pinggiran dalam berkebudayaan, menjadi penanda bahwa budaya adalah tentang pemaknaan.

Bentuk dan fungsi yang seringkali nampak intrinsik secara sosial dan politis dalam sebuah konteks bangsa maupun komunitas terkecil di dalam bangsa yang menandai budaya tidaklah cukup memadahi untuk dijadikan rujukan bagi identitas budaya. Mengapa? Karena bentuk dan fungsi sebuah budaya dalam dunia yang cenderung mengarusutamakan media dan produk massa sebagai ukuran bukanlah realitas budaya. Kesalahpahaman yang menonjolkan bentuk dan fungsi yang bersifat hegemonis justru kontra produktif terhadap gerakan budaya.

Bentuk dan fungsi sebuah budaya yang hanya ditujukan untuk memenuhi selera mayoritas masyarakat tanpa identitas (mayoritas konsumen yang diam) adalah missleading gerakan budaya yang perlu dicarikan counter nya. Untuk itu konsentrasi pada bentuk dan fungsi itu harus diarahkan pada suara pinggiran, dipriotitaskan pada tiap kelompok yang tidak mampu merepresentasikan dirinya dalam bergulungnya gerakan budaya populer yang mencetak produsen, konsumen dan distributor budaya anonim.

Gerakan budaya adalah gerakan untuk mendahulukan penghargaan daripada pemanfaatan. Bedanya jelas. Penghargaan adalah mengakui segala realitas keragaman dan dinamika relasional yang dibangun antar manusia dan antar komunitas saat ini. Sementara pemanfaatan adalah ketundukan pada rezim pasar global yang menghisap keseluruhan sumberdaya, termasuk sumber daya manusia sebagai kesenangan alat-alat produksi belaka. Gerakan penghargaan yang terutama tertuju pada usaha untuk mendengar dan mengartikulasikan suara pinggiran, suara alternatif, dan suara otentik masyarakat. Begitulah tiap revolusi budaya selalu dimulai. Selalu berasal dari suara alternatif yang dianggap pinggiran dan tidak populer, namun otentik memberi harapan baru bagi sebuah tatanan baru yang diimpikan masyarakat kebanyakan dengan sadar atau dengan malu-malu.

Demikianlah peran gerakan budaya dan kepemudaan menjadi konkrit. Karena pemuda adalah pemilik dan pencetus harapan baru itu. Yang selama ini menjadi nir, absen, dan sedikit tersingkir adalah semangat penghargaan itu. Maka panggilan cukup mendasar bagi para pemuda untuk kembali berani memilih dan menyuarakan penghargaan pada gerakan otentik kesadaran dirinya di tengah pusaran arus kelaziman yang ditawarkan dengan sangat mewah oleh budaya populer. Seberapa jauh para pemuda melihat hal ini?

Pemuda hari ini, Pemimpin masa depan


Sebuah contoh tegas dan jelas menggembirakan sudah mengumandang seantero dunia, bahwa di Indonesia, orang yang 'bukan apa-apa' bisa menjadi 'apa saja'. Presiden sekalipun. Banyak contoh lain telah tersedia untuk menegaskan bahwa gerakan rakyat selalu menemukan caranya untuk sampai pada harapan baru. Hanya satu hal yang masih menjadi beban cukup berat bagi kejuangan berkebudayaan generasi muda adalah telah begitu lamanya kita hidup nir identitas. Indonesia sebagai sebuah bangsa adalah formalisme yang terlalu utopis, tanpa pondasi identitas yang mendarah-daging.

Dengan pendekatan ala Foucault, Haris El-Mahdi, M.Si. menjabarkan bagaimana budaya adalah usaha merawat lupa dan juga merawat ingatan. Langkah logika dasar pada realitas ini menggiring analisis budaya pada 'kematian subyek absolut'. Identitas kita sebagai generasi muda saat ini bukanlah perjuangan berdarah-darah jerih dan juang kita sendiri. Identitas budaya kita adalah produk kekuasaan yang dipaksakan melalui hegemoni media, sistem pendidikan, panggung badutan politik, dan relasi-relasi komunitas dengan kelompok keagamaan yang memiliki pengaruh pada radikalisme.

Sekalipun begitu, inilah semangat jaman yang sedang menguasai nasib kita. Inilah semangat jaman yang perlu ditangkap yang selanjutnya menjadi bekal kejuangan pemuda menentukan arah berbudaya bangsa. Jadi ada semacam missing link antara realitas yang menjadi medan kejuangan pemuda dengan idealisme anak muda saat ini. Kesenjangan itu terutama nampak dalam trend gaya hidup instant anak muda yang cenderung acuh-tak-acuh terhadap masa depan bangsa.

Untuk mencapai sebuah visi budaya yang realistis dibutuhkan konsolidasi terbuka yang secara kreatif membuka peluang bagi setiap gaya hidup anak muda untuk berada dalam satu garis kejuangan yang sama. Para pendiri negri ini banyak mencontohkan metode seperti itu. Konsolidasi yang kadang bahkan membutuhkan ruang keberanian untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan ideologis. Dengan cara inilah, keragaman etnisitas, budaya, tradisi, agama, dan bahkan (kala itu) bahasa sekalipun dapat dijembatani.

Acara-acara diskusi yang banyak melibatkan kegalauan pemuda terhadap masa depannya, yang kadang dengan terang-terangan dikerdilkan dan diracuni dengan sengaja oleh model-model budaya pop nyanyian, jenis musik, dan sinetron, harus segera dilampaui, untuk selanjutnya segera menyediakan forum-forum akal sehat bagi kejuangan berkebudayaan. Merawat lupa dan memelihara ingatan adalah keterhubungan gerakan budaya dengan sejarah dan proses dinamika jaman. Pemuda saat inilah yang paling berada dalam pengaruh ketiga hal itu. Tanpa dengan serius menjaga rasionalitas terhadap daya tariknya, pemuda memiliki pilihan; menjadi romantis apatis yang hanya tercengang dengan kejayaan pemuda di masa lalu, menjadi utopis yang pesimis terhadap ketakutan semu berakhirnya peradaban, atau tetap kritis kreatif selalu gelisah bahwa terus saja ada yang bisa disuarakan dan diberi alternatif pada realitas budaya bangsa saat ini.

Budaya sebagai bangunan kesadaran dari Pengalaman Kebersamaan


Pernyataan menohok langsung disodorkan oleh Aji Prasetyo, seorang komikus yang total menggarap gerakan budaya melalui kejuangan pergerakan mahasiswa dan pemuda. Krisis identitas tidak semata dikonstruksi oleh kekuasaan belaka, melainkan juga dengan kesadaran menjadi pilihan beberapa pemuda untuk mengaktualisasi dirinya. Namun disinilah lucunya, aktualisasi diri itu dibalut sedemikian rupa oleh semangat yang terang-terangan tidak mengakar dan cenderung kontradiktif terhadap bangunan budaya bangsa.

Pengalaman kebersamaan di dalam kepelbagaian yang disediakan dengan berlimpah ruah oleh sejarah budaya bangsa Indonesia, nampaknya masih membutuhkan kampanye yang lebih masif agar 'keracunan otak' generasi polutif Orde Baru dapat sedikit demi sedikit bisa dinetralisir dengan damai. Kesesatan interpretasi sejarah dan idea tentang keberhasilan yang banyak terjadi pada gnerasi muda masa kini perlu diterapi dengan pengalaman-pengalaman nyata bahwa kenyataan tidaklah hitam putih melainkan kaya warna dan kaya rasa.

Bangga menjadi diri sendiri, bangga menjadi Indonesia, bangga menjadi otentik bukan sekedar iklan produk yang perlu dikonsumsi melainkan tuntutan rasional untuk memulai sebuah gerakan budaya bangsa. Nasionalisme adalah persoalan kesadaran diri bersama-sama dengan beragam orang sebangsa dan setanah air. Masyarakat kerakyatan, sebagai sebuah idea yang selalu menjadi dasar kejuangan revolusioner dalam sejarah bangsa kita perlu terus dijaga dan diyakinkan pada generasi muda. Tidak dengan cara-cara formal ideologis melainkan dengan cara-cara menyenangkan sebagai bangunan etika sosial yang memberi harapan baru.

Beberapa diskusi yang memunculkan analisis dualistis pengkontrasan antara budaya tinggi adiluhung dengan budaya populer trend masa kini, menjadi sarana cengkerama yang ramah untuk merefleksikan betapa kita semua membutuhkan referensi yang variatif untuk membangun sebuah kesadaran baru. Di satu sisi, sejarah kesadaran yang dihegemoni oleh politik identitas perlu diturunkan maknanya sebagai guyonan saat minum kopi, dan dengan begitu selalu terjadi kritik konstruktif. Di sisi yang lain, diperlukan metode-metode baru historiografis yang lebih menawarkan tradisi intelektualitas kritis daripada ketundukan ideologis.

Beberapa hal yang relevan untuk dijadikan contoh nyata adalah semakin merosotnya semangat membangun tradisi intelektual di kalangan akademisi, namun harapan baru masih tersedia, sekalipun tertatih-terkendala, harapan baru yang ditawarkan oleh tradisi intelektualitas ala warung kopi semakin menjamur menunjukkan pengaruhnya di kota Malang.

Gerakan budaya selalu bermula dari kesadaran terhadap hakekat kemanusiaan yang terhubung langsung dengan harapan masyarakat dan kondisi bangsa. Dan harapan itu masih ada disana, di dalam diri tiap-tiap orang muda yang berani melampaui kesadaran egosentris diri dan identitas personalnya menuju pada kesadaran sosial dalam identitas kebangsaannya. Dan semua yang hadir masih optimis, bahwa ada banyak orang-orang baik, pemuda-pemudi progresif yang sekarang mungkin masih diam, masih ragu, masih takut, masih terjebak dalam drama romantika kepemudaannya, masih terbebani tuntutan-tuntutan dari luar dirinya, yang segera akan menyatukan hati menghadirkan kesejatian kejayaan budaya bangsa Indonesia.


[Catatan (yang dibumbui refleksi personal) Moderator diskusi Budaya #2 Warung Kelir 2014]

Komentar

Postingan Populer