POLITIK KERUKUNAN
UMAT BERAGAMA INDONESIA
Pengantar
Kerukunan adalah nilai terpenting dalam perjalanan sejarah pembangunan menjadi Bangsa Indonesia. Beberapa kerajaan yang berorientasi pada penyatuan baik wilayah maupun peradaban budaya yang beragam, meletakkan nilai kerukunan sebagai semangat idiologisnya. Sebutlah kerajaan Kahuripan di sekitar Sidoarjo sekarang, membangun sebuah sistem baru berupa penghapusan perbudakan dan memberi peluang pada tiap kasta-kasta sosial untuk menjadi setara dalam sebuah harapan bersama untuk hidup rukun damai membangun negri.
Setiap pergantian kekuasaan dan pemerintahan, nilai kerukunan selalu dibicarakan relevansinya. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat kita sangat terbiasa hidup dalam perbedaan suku, agama (termasuk di dalamnya aliran-aliran keagamaan), tradisi (keleluasaan interpretasi dan ekspresi kultural), bahkan cara berpikir (dalam perjumpaannya dengan pemikiran-pemikiran terbaru yang datang dari "luar"). Sekalipun ada dinamika yang gelombang politiknya kadang bisa mengancam kemanusiaan, selalu ada ruang untuk kembali pada nilai dasar terpenting yaitu kerukunan.
Nilai kerukunan juga merupakan pondasi kuat baik pada masyarakat dalam membangun semangat kebersamaan, tenggang rasa, dan kerja sama, bahkan juga terhadap semangat personal memahami penghargaan, pengertian, dan penerimaan pada perbedaan apapun yang dimiliki oleh orang lain.
Diciptakannya mekanisme yang meluhurkan nilai kerukunan oleh masyarakat biasanya sangat alamiah dan memberi ruang pada semua pihak untuk dapat berpartisipasi otentik terhadap yang lain. Ada kreatifitas yang sangat relevan dan kontekstual; upacara-upacara tradisional (ritual bersih desa, barikan, merti bumi, dll), rembug/rapat warga (yang lebih bersifat politis kemasyarakatan), bahkan terhadap persoalan-persoalan yang berhubungan dengan lingkungan alam (semisal terjadi bencana, wabah, kekeringan, dan bahkan instabilitas politik dan ekonomi yang berpengaruh terhadap hubungan mereka dengan lahan (lihat banyak kasus agraria/tanah di Indonesia).
Tulisan ini akan mencoba memaparkan bagaimana konsep kerukunan yang menyejarah menjiwai semangat kebangsaan itu awalnya dimaknai oleh masyarakat, kemudian dipolitisasi secara formal birokratis, yang justru membuka peluang kepada religiusasi tidak netral dan kemudian menciptakan pemaknaan yang terjebak dalam bentuk-bentuk formal sloganistis namun sangat rentan dan tipis dalam praksisnya.
Oleh karenanya, pertama, akan dipaparkan secara sangat singkat bagaimana proses pemaknaan kerukunan itu diciptakan, dibangun, dipelihara, dan dipertahankan dalam proses sejarah bangsa Indonesia. Titik-titik penting yang dianalisa adalah yang menjadi penanda gerakan revolusioner perubahan berbangsa menjadi sebuah sistem yang menyeluruh dan utuh. Kedua, akan dicoba diperlihatkan bagaimana keterlibatan kebijakan politis dan perkembangan gerakan keagamaan secara simultan memberi pengaruh terhadap baik penguatan maupun distorsi, bahkan dekonstruksi terhadap pemaknaan tentang kerukunan. Ketiga, akan ditawarkan peluang-peluang untuk kembali menguatkan pemaknaan kerukunan kultural yang melampaui ikatan politik dan agama sekalipun. Hal ini nampak seperti proyek yang terlalu ambisius, namun patut dicoba.
Monumen Tanpa Semen
Saya teringat komentar seorang teman saat mengapresiasi kisah-kisah perjumpaan inter-faith yang mencerahkan dan meluaskan cakrawala pandang seseorang. Dengan singkat dia menyatakan agar semakin banyak teman lain mengumpulkan dan mengabarkan berdirinya 'monumen tanpa semen' tentang kerukunan dan perdamaian seperti itu. Berjuta kisah kerukunan yang sehari-hari kita jumpai dimanapun kita berada merupakan monumen tanpa semen yang sudah semestinya selalu dilihat, dihayati dan dijadikan semangat baru dalam membangun masyarakat damai. Monumen tanpa semen inilah yang dengan melimpah dan amat kaya ragam dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Sebelum mengkristal menjadi konsep universal Bhineka Tunggal Ika, proses pemaknaan terhadap kerukunan bisa ditelisik jauh ketika Kahuripan membangun prasasti penghapusan perbudakan. Sebuah prasasti historis yang telah ada bahkan jauh sebelum perbudakan dimulai di belahan dunia utara. Kerukunan ditetapkan bukan karena ide brilian yang terlalu maju dari sang raja atau penasehat religius raja, melainkan dari gerakan rakyat, dari kenyataan bahwa rakyat tidak bisa lagi berjalan secara layak jika perbudakan masih diteruskan.
Dalam proses sejarah panjang, langkah kecil dengan isu sentral perbudakan inilah yang bersinar menarik perhatian bangsa-bangsa lain disekitar Mojopahit untuk bergabung dalam moto kebhinekaan. Tak ayal, ini juga yang menghasilkan masyarakat yang terkenal dengan kearifan keadilannya, terkenal dengan keramahannya terhadap lingkungan, dan terkenal karena penghargaannya terhadap yang berbeda. Laksana sebuah lampu pijar, keindahan itu menarik perhatian bangsa-bangsa dekat dan bahkan jauh yang mampu melampaui dan mampir di area geografis bangsa kita begitu tertarik dan tergiur olehnya.
Dengan kehadiran bangsa-bangsa lain, interaksi transformatif yang diciptakannya memperlihatkan pengaruh terbesar pada model penyebaran keagaman 'baru' yang berasal dari Timur Tengah dan Eropa. Dari catatan antropologis nampak bahwa pengaruh nilai kerukunan juga bisa menjadi mekanisme kritik kecenderungan terbangunya kelas sebagai konsekuensi dari pergerakan politik dan ekonomi. Bahkan - ini yang akan menjadi fokus kita - nilai kerukunan itu mempengaruhi bagaimana para misionaris agama menyampaikan pesan dan memperkenalkan agama barunya. Perubahan radikal yang tidak relevan dan tidak kontekstual dihindari, dan sebaliknya mengutamakan penghargaan terhadap kearifan lokal (yang telah berjalan baik dalam tata nilai kerukunan), memperjuangkan kemerdekaan tiap-tiap orang (untuk menemukan cara paling otentik dirinya), dan menghormati semangat kemajuan yang ditawarkan oleh perubahan jaman (dengan sangat kritis).
Bisa jadi juga karena nilai kerukunan bangsa kita itulah, gairah keserakahan bangsa lain yang menghisap bangsa ini awalnya tidak begitu dijadikan persoalan penting. Gerakan-gerakan yang muncul mengantisipasi hal itu justru banyak berangkat dari keharmonisan dengan alam dan leluhur, dan berorientasi pada penyadaran budaya. Dalam era ini, kerukunan nampak menjadi nilai penting dalam mengantisipasi perubahan. Beragam agama dan termasuk juga aliran keagamaan dalam sebuah agama bertransformasi dinamis dengan tradisi budaya setempat. Membangunkan kesadaran baru tentang ide-ide besar yang datang dari luar seperti nasionalisme dan demokrasi yang tetap kental beraromakan semangat dasarnya yaitu kerukunan. Hasilnya, nasionalisme adalah gotong royong dan demokrasi adalah musyawarah kerakyatan dengan hikmat dan kebijaksanaan.
Revolusi yang diawali dengan kesadaran pentingnya pendidikan yang mencerdaskan 'Bumi Putra' dikobarkan berbasis juga pada kerukunan saat dikumandangkannya Sumpah Pemuda sebagai titik tolak bangkitnya kesadaran politik yang memiliki karakter. Lantas diparipurnakan dengan perombakan identitas mendasar berbangsa menjadi Indonesia dengan penanda jelas Bhineka Tunggal Ika sebagai nilai dasar bermakna kerukunan dan gotong royong itu. Sekali lagi pemaknaan tentang kerukunan menjiwai perubahan penting berbangsa, melampaui segala identitas kesukuan, agama, dan bahkan golongan. Kerukunan itu mencakup sebuah cita-cita besar membangun identitas bersama tanpa meniadakan siapapun.
Politik Kerukunan
Lantas, pendekatan kekuasaan adalah jalan paling efektif untuk meyakinkan masyarakat tentang kebenaran asumsi tersebut. Dengan kata lain, semua pihak dipaksa untuk percaya bahwa konflik mengancam mereka, bahwa perpecahan dan pertikaian ada di depan mereka, bahwa tidak ada nilai kerukunan itu. Dengan cara inilah masyarakat dengan serta merta percaya bahwa kekuasaanlah yang mampu merukunkan perbedaan-perbedaan itu.
Demikianlah politisasi kerukunan berawal dari upaya-upaya peniadaan dan penguburan nilai dasar kerukunan dalam dunia politik. Dan jelas saja bahwa konstitusi yang disusun berdasarkan nilai kerukunan akhirnya diperdebatkan tanpa ujung yang memberi harapan. Kerukunan yang semula adalah semangat hidup yang menghidupi kebersamaan dalam keragaman, yang semula diagungkan dan dihayati, kini menjadi masalah besar dan berat.
Dengan asumsi itu jugalah kekuasaan mengelola perbedaan. Kerukunan sebagai masalah dijadikan konsumsi politik yang sangat efektif untuk menggerakkan naluri permusuhan, kebencian, dan penolakan terhadap perbedaan. Sejarah panjang nilai kerukunan yang mendasari berdirinya kebesaran negri justru dijadikan alasan untuk memanipulasi perbedaan menjadi ancaman. Perbedaan yang biasanya dirayakan dalam perjumpaan-perjumpaan kearifan tradisi budaya, dijadikan agenda kelompok-kelompok tertentu untuk memperkuat posisi politiknya. Kerukunan yang memberi warna khas nasionalisme dan demokrasi kerakyatan Indonesia, dinistakan seolah berupa barang asing yang tidak lagi ada di bumi pertiwi dan hanya bisa dihadirkan melalui tekanan dan ancaman hukuman dari kekuasaan. Benarkah nilai kerukunan itu sudah hilang dari jati diri kita sebagai bangsa dan tinggal dalam gapaian angan-angan kelompok-kelompok yang berbeda agama, aliran kepercayaan, dan suku-suku yang terus berusaha memperjuangkannya?
Beberapa peristiwa akhir-akhir ini semoga sedikit memberi gambaran tentang hal itu. Di satu sisi, pemerintah menjadi sibuk untuk melakukan managemen perbedaan khususnya perbedaan agama sehingga harus dikerjakan oleh satu kementrian tersendiri. Harus berlelah dengan pembuatan-pembuatan peraturan perundangan yang negosiasinya tidak pernah benar-benar memuaskan semua pihak. Bahkan Negaralah yang menjadi lebih kuasa dari Tuhan karena memiliki hak untuk menentukan manakah yang boleh disebut agama mana yang bukan, mana yang sah dan boleh ada dan mana yang tidak dan harus ditiadakan. Belum lagi urusan KTP, urusan halal-haram, membentuk badan-badan dan lembaga-lembaga kerukunan, dan lain-lain, harus berada di bawah kontrol pemerintah.
Di sisi yang lain, pernyataan diri sebagai bangsa yang berKetuhanan dipersempit menjadi pernyataan bahwa di Indonesia agama haruslah berada di bawah kontrol pemerintah, dan menghadirkan kerukunan agama adalah tugas pemerintah. Dengan begitu agama selalu menjadi isu sensitif dalam segala agenda dan urusan politik berbangsa.
Kerukunan yang dipolitisasi akhirnya menjadi sebuah paradoks. Karena pada prakteknya, politisasi nilai kerukunan itu justru berupa tindakan membangun kerukunan dengan menekankan dan memaksakan asumsi ketidak rukunan. Demikian juga politisasi agama adalah tindakan memastikan keberagamaan setiap warga negara dengan cara memaksa agar semua orang memilih agama yang ditentukan oleh pemerintah. Paradoks inilah yang pada gilirannya memberi ruang pada kelompok-kelompok agama tertentu untuk melakukan manipulasi terhadap nilai kerukunan.
Sekedar sebuah contoh, toleransi dihitung kuantitatif dengan jumlah sehingga persoalan mayoritas minoritas menjadi alat mengukur hak, pluralisme dijadikan alasan untuk menebar kebencian dan permusuhan, dan celakanya Pancasila diolok-olok sebagai produk yang tidak bersumber pada agama, yang pada akhirnya nilai ketidakrukunanlah yang justru dimaklumi. Sampai disini nampaklah bahwa kita perlu melihat bagaimana agama-agama sendiri bersikap terhadap nilai kerukunan itu.
Kedua, masalah muncul justru ketika nilai kerukunan itu direligiusisasi, diagamakan, dijadikan nilai dibawah ajaran agama. Kita perlu mengingat, bahwa dalam sejarahnya, nilai kerukunan itu melampaui tumbuh dan surutnya agama-agama di Indonesia. Nilai kerukunan itu juga bertahan ketika muncul persaingan antar agama dan sekte-sektenya di tengah masyarakat. Nilai kerukunan itu riil nyata sebagai kebutuhan dasar hidup bersama manusia. Itulah kodratnya, jalan terpenting tiap orang untuk survive.
Karena kerukunan sekarang menjadi isu agama, maka muncul asumsi bahwa kerukunan haruslah bersumber pada religiusitas seseorang. Bahwa menjadi tugas agama menyusun konsep tentang kerukunan, bahwa masing-masing agama harus bernegosiasi kembali tentang nilai kerukunan dan bagaimana hal itu dipraktekkan dalam hubungannya dengan agama lain.
Oleh karena itulah, akhir-akhir ini kerukunan justru menjadi pergumulan hebat masing-masing agama. Semua berusaha menyusun konsep religius dan menawarkan konsep kerukunannya dalam upaya berkoeksistensi dengan pihak lain. Beberapa tingkatan religiusisasi kerukunan muncul dipermukaan:
1. Pandangan tentang toleransi. Bayangkan sebuah bangsa yang terbangun dan eksis menjadi bangsa dalam semangat nilai kerukunan, ternyata gagap menjelaskan toleransi? Itulah yang sekarang terjadi pada bangsa kita. Toleransi dipertanyakan terutama dalam hal siapa harus toleran terhadap siapa, seberapa jauh mentoleransi (menerima) perbedaan, dan dalam situasi apa toleransi itu diperlukan. Pertanyaan menjadi semakin runyam ketika masing-masing agama mengeluarkan jurus tafsir teks nya untuk membahas hal yang seharusnya sangat humanistis dan universal ini.
2. Pandangan tentang dialog. Dalam banyak pertemuan anak muda sekarang, muncul kegamangan untuk berkomunikasi dan berinteraksi natural dengan teman dan sahabat dari agama lain. Mempertanyakan sesuatu yang tidak dimengerti tentang apa yang ada pada diri teman beragama lain menjadi penuh basa-basi dan kadang menjadi beban kecanggungan. Umumnya diskusi verbal tentang pengalaman yang memperluas kesadaran pada penghargaan terhadap perbedaan terbangun baik secara formal maupun informal. Pada titik tertentu yang sudah menyangkut simbolisasi agama, perjumpaan menjadi semakin mengerucut pada orang-orang yang sudah berani membuka diri untuk melampaui keterikatannya pada pandangan tunggal terhadap simbolisasi agama tertentu. Hanya orang-orang yang hidup sangat wajar, ada dalam komunitas penuh kerukunan, perjumpaan antar iman bisa dihayati bersama. Dialog antar agama, seolah memposisikan bahwa manusia harus beragama dengan serius terlebih dahulu. Padahal senyatanya dialog antar agama, bahkan dialog antar iman bisa terjadi kalau masing-masing menjadi manusia terlebih dahulu.
3. Simbolisasi religius terhadap kerukunan. Saya masih teringat ide Gus Dur saat menawarkan agar salam-salam perjumpaan itu di kontekstualisasi dengan realitas keragaman yang ada di Indonesia. Menjadi selamat pagi, siang, malam, dsb., sebagai ganti salam bernuansa keagamaan. Namun, trend nya sekarang jadi ribet, semua salam dari masing-masing agama disebutkan (sebagai penanda kerukunan) dan ... apakah sudah semua? Belum lagi kalau ada yang mempertanyakan kebenaran dan ketepatan pengucapannya. Dengan trend ini, nilai kerukunan justru terpola formalistis dan tidak memberi ruang pada penghargaan yang otentik.
Nampaklah bahwa religiusisasi kerukunan justru tidak berpihak pada kerukunan melainkan berpihak pada agama masing-masing. Religiusisasi kerukunan menekankan pada ajaran-ajaran dan tuntutan-tuntutan agama untuk menjadi rukun. Dengan cara demikian kerukunan sebagai nilai alamiah manusiawi justru terdistorsi maknanya sehingga mudah dimanipulasi.
Masa depan Kerukunan antar Agama
Nasionalisme kita adalah gerakan budaya. Politik adalah alat agar gerakan budaya itu berlangsung secara terkelola dan dapat dipertanggungjawabkan di muka kemanusiaan universal. Dan sekali lagi kita perlu terus menyadari bahwa bangunan Nasionalisme kita itu dimungkinkan karena adanya nilai kerukunan dalam diri tiap anak bangsa. Kerukunanlah yang tetap membuat kita bertahan sebagai satu bangsa sekalipun selalu berusaha dikoyak oleh gerakan anti kerukunan. Gerakan anti kerukunan inilah yang paling perlu kita waspadai dengan bijak. Karena dengan jelas mereka hendak menghancurkan dasar paling hakiki terbangunnya bangsa ini.
Bagaimana memelihara nilai kerukunan itu agar tidak mudah terjerat dalam usaha-usaha anti kerukunan, terutama yang disebabkan oleh politisasi dan religiusisasi nilai kerukunan? Beberapa usulan ini berdasarkan pengalaman personal saya menggeluti bagaimana secara kultural saya menghayati hidup kemanusiaan saya sebagai anak bangsa Indonesia.
1. Semangat kebangkitan nasional dan semangat Sumpah Pemuda adalah sebuah semangat gerakan budaya. Yang menebarkan benih-benih kesadaran nasionalisme kultural. Oleh karena itulah para pendiri bangsa ini memproklamirkan berdirinya bangsa dalam gelora semangat menyuarakan gerakan budaya berbasis nilai kerukunan pada seluruh dunia. Pancasila adalah model dasar yang selalu relevan untuk melihat betapa nilai kerukunan itu sangat kuat menjiwai kesadaran Berketuhanan, berkemanusiaan, membangun persatuan, mengelola kerakyatan, dan menyuarakan keadilan.
2. Kerukunan yang otentik berbasis pada penghargaan dan penghormatan. Toleransi adalah ketika semua pihak dihormati dan dihargai apa adanya. Bukan akomodasi terhadap pembagian proporsi kuantitatif jumlah dan wilayah seperti yang dijadikan isu dalam dikotomi mayoritas minoritas. Dengan semakin maraknya keterikatan orang dengan simbol-simbol keagamaan sebagai representasi diri, perjumpaan lintas iman dalam semangat kerukunan perlu kehadiran dan penerimaan yang otentik yang mampu melampaui bungkus-bungkus simbolisme keagamaan.
3. Mekanisme dialog dalam semangat demokrasi. Langkah-langkah dialog untuk saling menghargai dan menghormati itu adalah awal dari sebuah upaya bersama untuk memberdayakan masyarakat dalam banyak segi kehidupannya. Membebaskan yang tertindas dan diperlakukan tidak adil. Dan merajut impian bersama bagi terciptanya bangsa yang diliputi dengan keadilan dan kemakmuran. Dialog lintas iman adalah sebuah kesadaran berada dalam kesatuan kemanusiaan universal.
4. Peran masyarakat sipil, para aktivis pluralism, pejuang perdamaian, penggerak toleransi, praktisi dan pendidik multikultur. Karena sampai sekarang trend membangun lembaga pendidikan masih bersemangat faith-based, perlu diciptakan langkah-langkah riil agar para peserta didik memiliki pengalaman lintas iman yang kaya.
Nilai kerukunan tercipta sejak seseorang berjumpa dengan orang lain, sebelum ada konstruksi identitas sosial yang ditambahkan padanya. Nilai kerukunan mampu mendirikan sebuah bangsa, mampu menjaga dinamika perjumpaan dalam perbedaan menjadi semangat saling menghargai dan menghormati. Dalam nilai kerukunan inilah masa depan bangsa dipertaruhkan.
Komentar