PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BERBASIS SENI TRADISI DAN PESTA RITUAL
Rembug Kampung (Kampung Cempluk) |
Pemberdayaan komunitas
berbasis asset-asset terpenting dan pengalaman terbaik dalam komunitas adalah
bentuk pemberdayaan yang paling sustainable dan berkeadilan. Di dalamnya juga terdapat
peningkatan kesadaran pada nilai-nilai utama yang melekatkan kohesi komunitas
sebagai modal terpenting dalam menuju masa depannya. Bahkan kemerdekaan
partisipasi yang secara alamiah disediakannya menyuburkan bentuk demokrasi yang
sehat. Desa, Dusun, atau Kampung adalah bentuk komunitas yang paling
membuktikan adanya akar-akar ketahanan dan berdayanya sebuah masyarakat bangsa.
Intervensi dari luar
komunitas yang tidak proporsional dan apalagi terjadi karena adanya tekanan
politik dan ekonomi, merupakan hambatan terbesar bagi komunitas untuk bertahan
dan bersaing dalam komunikasinya dengan komunitas yang lain. Mekanisme pasar yang sejatinya merupakan
pemicu terjadinya gerak dinamis yang menghubungkan antar komunitas telah
kehilangan prinsip dasarnya yaitu pertukaran nilai-nilai utama kehidupan.
APAKAH ASET KOMUNITAS
YANG PALING SUSTAINABLE?
Konteks Desa, Dusun,
dan Kampung dalam konsepsi Nusantara sebenarnya terbangun dengan kesadaran
sebagai entitas kultural. Sebuah komunitas yang ketahanan dirinya secara
kolektif berpusat pada kegiatan ritual tradisi yang bentuk kongkretnya adalah
ekspresi seni yang tak terpisah dari teologi dan etika.
Ketika berada dalam
jaringan gerakan menemukan sikap politik bersama secara masal dalam teritori
kebangsaan, komunitas-komunitas basic kultural ini bernegosiasi dengan
komunitas lainnya dalam transformasinya dengan ide-ide besar, kadang terlalu
besar untuk diaplikasikan dalam ranah sosial kampung. Dan itulah yang menjadi
penyebab awal munculnya ancaman ketahanan kampung sebagai kekuatan budaya.
Pasar Seni Kampung |
Ketika menemukan
dirinya sebagai obyek sasaran penting bagi roda perekonomian berskala regional,
nasional bahkan internasional, komunitas-komunitas basic ini berhadapan dengan sebuah dinamika sistem yang seringkali bertentangan dengan apa yang mereka
miliki. Menghadapi intervensi ini, kampung menjadi tidak berdaya dan kehilangan
ketahanannya.
Yang paling masif
melemahkan ketahanan kampung sebagai entitas kultural adalah gerakan
musiumisasi, kerakusan tourisme, dan kapitalisasi sistematis terhadap ekspresi
seni melampaui nilai ketahanan yang dibangun oleh komunitas itu sendiri.
Ritual-seni-tradisi kampung dengan menyakitkan dicerabut dari habitat paling
suburnya menjadi barang yang dijajakan dalam etalase politik bertajuk tourisme
internasional.
Apakah pergeseran
fungsi kampung itu menguntungkan orang kampung? Setidaknya apakah penghancuran
sistematis entitas kampung itu menghadirkan entitas baru yang lebih sustainable
dari yang ada sebelumnya? Apakah mekanisme pertukaran barang dan jasa yang
diformalisasi oleh kepentingan orang-orang diluar Kampung masih mampu
mempertahankan etika dasar pasar?
Kenyataan yang
dibarengi dengan kesadaran baru memperlihatkan bahwa: Gated-community yang ditawarkan oleh paradigma kesejahteraan masyarakat
modern, kapitalisasi yang konsumeris terhadap segala bentuk transaksi
kemanusiaan, dan bangunan kekerabatan klise dalam klub-klub kesejahteraan
(termasuk yang berbasis pada agama dan tradisi budaya instant-populer),
ternyata makin memperlihatkan pada banyak orang bahwa entitas paling
sustainable adalah kampung yang berbasis pada kohesi kulturalnya.
Dalam kampung yang
berbasis pada kohesi kultural, nilai-nilai keutamaan dihidupi bersama dalam
proses dinamis identitas kampung itu sendiri yang terus berusaha dikonstruksi.
Nilai-nilai tidak sekedar menjadi pertimbangan etis, melainkan menjadi ekspresi
paling logis. Dan dengan begitu penghargaan atau apresiasi pada keragaman dan
kreatifitas inovasi lokal dirayakan terus menerus sebagai bentuk ekspresi yang
keindahannya mendalam sampai kepada jiwa tiap-tiap anggotanya. Karena, tindakan
apakah yang paling logis saat terlibat sebagai bagian dari ekspresi seni selain
menghargainya? Bukankah transaksi ekonomi sebenarnya adalah konsekuensi dari
transaksi, negosiasi, dan transformasi kultural?
BAGAIMANA MEMULAINYA?
Dalam persaingan yang
sering tidak seimbang antar komunitas, apalagi yang telah terkontaminasi oleh
kepentingan institusi (kekuasaan, keagamaan, dan ekonomi), pemberdayaan
komunitas berbasis seni dan tradisi dimulai dengan mengumpulkan kesadaran dasar
atau asumsi-asumsi komunitas terhadap pemaknaannya mengenai seni dan budaya
komunal itu sendiri. Ekspresi tradisi dan seni seperti apakah yang masih mampu
menjamin dan menopang kohesi masyarakat? Apakah kebiasaan pesta-ritual yang
berspirit seni tradisi masih menjadi kekuatan komunitas dalam membangun
kesadaran kolektifnya? Bangunan asumsi dapat dibangun melalui
pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang jawabannya hanya dapat ditemukan dalam
dialog intensif dan keterlibatan langsung dalam aktifitas kultural komunitas.
Di kebanyakan kampung
Nusantara, pesta spiritual baik yang berhubungan dengan daur hidup,
penghormatan pada keagungan berkah alam, syukur pada peristiwa-peristiwa
penting komunal adalah pusat transaksi sosio-kultural terjadi. Kalaupun muncul
transaksi ekonomi, itu hanyalah konsekuensi dan pelengkap saja dari pemaknaan
transaksi sosio-kultural. Dan begitulah yang terjadi hingga menarik perhatian
banyak komunitas dari konteks sosio-kultural yang berbeda di sekitarnya
berinteraksi natural dengan mereka.
Dalam sejarahnya,
kehadiran bangsa-bangsa lain sebenarnya adalah kehadiran komunitas-komunitas
yang melakukan transaksi sosio-kultural. Baik dari Asia Tenggara, India, Arab,
Cina dan disusul kemudian dengan kehadiran bangsa-bangsa Eropa yang lantas
menawarkan sistem yang berbeda yaitu sistem transaksi ekonomi saja. Hal ini
nampak dalam melekatnya tradisi dan seni yang masih nampak mempercantik tradisi
dan seni Nusantara. Transaksi sosio-kultural itulah yang bertahan dan terus
terwariskan hingga kini sekalipun diinterupsi oleh kolonialisme dan usaha besar
membangun bangsa yang berbasis pada ketahanan ekonomi belaka.
PETA SENI DAN TRADISI
Agar pengalaman indah
yang masih menghidupi kebanyakan Desa, Dusun, dan Kampung itu dapat menemukan
fungsi pentingnya dalam menentukan arah peradaban masa depan menusia, maka
sangat penting untuk melakukan pemetaan yang berorientasi pada peran-peran
penting seni tradisi atau pesta ritual komunitas.
Tiap-tiap Kampung tentu
memiliki hal itu, disadari atau tidak oleh para anggotanya. Tiap kampung pasti
memiliki semangat bersama yang menghidupi dan melekatkan mereka dalam domain
kehidupan yang khas. Dan semangat apalagi jika itu bukan semangat yang bisa
dirasakan, dinikmati, dan dimaknai oleh seluruh anggotanya. Itulah peta seni
tradisi dan pesta ritual komunitas yang penting untuk ditandai.
Ritual-Seni Kampung |
Dalam sebuah kampung
bisa jadi yang menjadi semangat pelekat mereka adalah satu penghormatan bersama
terhadap seorang nenek moyang, atau mungkin upacara syukur mereka atas sumber
air yang digunakan bersama, atau sebuah bentuk ekspresi seni atau pesta ritual
yang diproduksi dan dikonsumsi oleh mereka sendiri, atau bentuk-bentuk
pemaknaan, kekaguman, kesenangan, dan kegembiraan komunal yang secara khas
diekspresikan dalam beragam bentuk seni tradisi atau pesta ritual komunitas.
Penandaan yang penting
untuk dilakukan dalam pemetaan ini adalah pada sisi-sisi dimana tiap anggota
masyarakat dapat menemukan kearifan, membangun etika, dan bahkan mengembangkan
spiritualitas mereka. Selanjutnya perlu dipilah untuk fokus pada bentuk
ekspresi seni tradisi atau pesta ritual komunitas yang benar-benar merupakan
produk budaya asli mereka. Yang terakhir untuk memastikan bahwa gambar peta itu
benar-benar menjelaskan tentang seni tradisi adalah pada bentuk-bentuk
transaksi sosio-kultural yang diperlihatkannya.
Penandaan ini adalah
langkah yang paling sensitif. Karena sebagai sebuah aktifitas yang berorientasi
pada transaksi sosio-kultural, godaan untuk mendahulukan kepentingan ekonomi
bisa berasal dari mana saja. Yang paling berbahaya adalah ketika muncul
penekanan bahwa transaksi itu tidak terjadi tanpa stimulus ekonomi. Agen-agen
dari luar, seperti kepentingan bisnis tourisme swasta atau pemerintah dan
penetrasi korporasi yang hanya berlogika membeli dan dibeli adalah tantangan
terberat yang perlu diantisipasi sejak awal partisipasi anggota komunitas
membicarakan asumsi-asumsi dasar kekuatan dan keindahan kampungnya.
MENGABARKAN PESAN
SPIRITUAL-ETIS-KOMUNAL
Peta dan tanda yang
terekspresikan melalui ritual, pesta rakyat, seni tradisi, dan beragam
kebiasaan komunal diatas tentu bisa berupa daftar, berupa
kalender event, berupa kebiasaan alamiah yang melekat dalam ingatan dan praktek
hidup seluruh anggota komunitas Desa, Dusun, atau Kampung. Dari peta seperti
inilah dapat terlihat adanya peran-peran penting pihak-pihak, orang-orang, dan
bahkan hal-hal tertentu yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
baik dalam melestarikannya, mentransformasikannya, mengkontekstualisasi,
merelevansikannya, dan cekalanya jika tidak di-awas-awasi bisa jadi meluruhkan
dan menghancurkannya.
Beberapa langkah
assesment perlu dibuat, untuk memperlihatkan agar peta dan tanda yang sudah
teridentifikasi dapat semakin menemukan ruang ekspresinya secara terbuka dan
memberi makna dan sukacita bagi banyak orang. Diantaranya:
Yang pertama. Seniman dan pelaku ritual komunitas adalah pihak
pertama yang paling memberi nafas pada bertahannya peta tradisi itu. Merekalah invisible leader yang paling operatif
dan sustainable dalam sebuah kampoeng. Karya-karya seni dan praktek-praktek
ritual komunitas menghadirkan kaca
pangilon dan suara-suara prophetis yang tidak sekedar menawarkan dilema
apologetis apalagi dogmatis, melainkan meluaskan wawasan tiap anggota untuk
berani mengekspresikan diri otentik. Mengapa? Karena seniman dan pelaku ritual
dalam komunitas tradisional tertentu menjalaninya berdasarkan nilai-nilai
keutamaan dalam hidup. Jadi hidup berdasar pada nilai-nilai itulah spirit
terbesar keberlangsungan sebuah kampoeng.
Yang kedua, yang memiliki peran penting adalah para appreciator-penghayat-penggembira-pelaku
langsung sebuah tradisi seni dan ritual. Merekalah produsen dan sekaligus
konsumen dari tradisi. Dengan dinamika penerimaan dan kritik yang mereka
lakukan dalam tiap peristiwa tradisi lokal, mereka sebenarnya berperan sebagai komentator,
analis, dan sekaligus agen-agen yang mempromosikan kelangsungan dan tersebarnya
sebuah tradisi seni dan ritual. Dalam sebuah kampoeng dapat ditengarai bahwa
semakin banyak orang-orang seperti ini dalam sebuah komunitas, maka semakin
sebuah tradisi seni dan ritual tertentu lestari. Sekali lagi pertanyaannya
adalah mengapa bisa demikian? Karena kesatuan identitas produsen dan konsumen
tidak terpisahkan dan tidak mudah dipermainkan oleh para perantara
distributor-broker-tengkulak yang kehidupannya tergantung pada kemampuannya
mengkapitalisasi apa saja. Demikianlah nampak bahwa komunitas tradisional
memiliki nilai-nilai keutamaan sekalipun diperhadapkan dengan praktis
transaksional yang harus mereka lakukan.
Yang ketiga, dukungan infrastruktur yang menunjang tetap
terselenggaranya sebuah tradisi seni dan ritual berada pada ruang yang tiap
orang dengan bebas dapat berpartisipasi. Ruang publik komunitas tradisional
seperti Punden, Perempatan Kampoeng, Sumber Air, Hutan Rakyat, Pendopo,
Alun-Alun, Jalan Kampoeng, Lapangan, dan sebagainya tak tergantikan oleh gedung
apapun dan apalagi yang telah terlabeli kepentingan-kepentingan yang
mengkotak-kotakkan anggota masyarakat. Komunitas tradisional memiliki kearifan
tersendiri bagaimana menciptakan dan memanfaatkan ruang komunalnya, sekalipun
kadang harus bersaing dengan kecepatan pertumbuhan gedung-gedung. Dalam hal ini
nampak bahwa nilai ekspresi seni dan ritual itu tidak bisa dipaketkan dalam
sebuah penjara ruang yang bukan menjadi bagian dari ekspresi hidup keseharian
komunitas. Ruang publik tradisional komunitas inilah aset penting komunitas
yang terus akan ditemukan dan dibangun dengan kreatifitas dan inovasi komunitas
itu sendiri.
Yang keempat adalah bentuk-bentuk networking dan support dari
komunitas tradisional yang berada dalam kesetaraan dengan mereka. Bentuk
apresiasi para seniman dan pelaku ritual tradisi sejak dari dulu selalu
mendapatkan apresiasi dan penghormatan terutama oleh sesama seniman, pelaku
ritual, dan appreciator dari kampung-kampung terdekat. Iteraksi timbal balik
lintas kampoeng seperti inilah yang terus menerus menguhkan mereka untuk tetap
menjaga dan melestarikan ekspresi seni dan ritual tradisi kampung
masing-masing. Dalam praktek ini nampak bahwa nilai penghargaan merupakan
semangat dasar bagi mereka untuk terhubung, bekerjasama, dan selanjutnya
membangun kepercayaan diri untuk bisa menciptakannya lebih besar dan dalam
cakupan yang lebih luas lagi.
KOMUNITAS ADALAH
NILAI-NILAI YANG DIPRAKTEKKAN
Dari detail
langkah-langkah assesment yang perlu selalu dilakukan dalam tiap-tiap kampung
seperti diatas nyatalah bahwa nilai-nilai keutamaan merupakan urat nadi paling
aktif yang terus meneguhkan kelangsungan kampoeng. Dengan kata lain, yang
disebut komunitas adalah ketika nilai-nilai keutamaan sedang dipraktekkan oleh
sekelompok orang. Tanpa nilai-nilai keutamaan, maka sebenarnya kampoeng telah
menjadi deretan keterpisahan perumahan yang nampak sangat rapi namun tanpa
jiwa. Dengan demikian, harus jujur diakui bahwa sebenarnya Kampoeng adalah roh
dari kehidupan bermakna sebuah bangsa.
Jika hasil dari
assesment di atas dapat kita teruskan pada perencanaan selanjutnya, maka yang
dibutuhkan adalah menetapkan sebuah management komunitas. Komunitas berbasis
seni dan ritual tradisional pengelolaannya tentu khas dalam rangka tetap
menjaga agar nilai-nilai yang dihidupinya tidak bergeser dan justru manipulatif
memakan pertumbuhan komunitas itu sendiri. Dari tiap langkah assesment di atas
telah jelas bahwa aset-aset komunitas itu terikat dengan nilai-nilai yang
dimiliki oleh komunitas tersebut yang membuat kehidupan komunitas tersebut
menjadi bermakna. Dengan demikian yang perlu dibangun adalah sebuah managemen
komunitas yang berorientasi pada makna hidup yang holistik. Disinilah peran
kawan-kawan managemen yang berjiwa kampoeng diperlukan. [.]
Komentar