mendewasakan sikap politik

Yang paling sibuk menjelang pemilihan umum (termasuk pilkada) yang tunduk pada sistem elektoral kepartaian seperti yang lazim dimaklumi, jelas adalah orang-orang yang ingin mendapatkan kedudukan dan para broker-kroninya yang berharap kelak akan mendapatkan keuntungan atas dukungan yang diberikan.


Selayaknya orang berkompetisi liar tanpa batasan aturan, peraturan itu sendiri adalah material yang perlu disiasati semata demi kemenangan kejayaan. Sebagaimana layaknya orang berperang, untuk mendapatkan kemenangan adalah dengan mengalahkan. Selayaknya persaingan dagang, modal kapital dan jaringan ketergantungan adalah kunci utama untuk membuka kesadaran kebutuhan rakyat pemilih agar masuk kelompok pendukungnya dengan segala resiko yang biasanya (belakangan disadari) mendegradasi kemanusiaan. Karena modal yang ludes pun tak punya perasaan, modal yang dimanipulasi seculas apapun tak punya hati. Dalam pilkada manusia-manusia pemilih hanyalah modal-modal itu. Dimanfaatkan sepenuhnya bagi sang calon pemimpin memperoleh kedudukannya.

Dengan bantuan media massa dan media sosial, kesibukan dalam rangka mensejahterakan para calon yang nantinya terpilih itu, secara sosial dan psikologis bebannya sepenuhnya ditaruh dipundak masyarakat para pemilih. Para calon itu bisa bersama-sama dengan sesamanya dari berbagai partai berdiskusi bagaimana cara paling bijak membuat rakyat yakin pada mereka, bahwa merekalah pilihan dewata yang akan mengatur dan menentukan nasibnya di masa depan, dengan penuh kebijakan kepandaian berbasa-basi ha ha ha hi hi hi bersama di hotel-hotel dan tempat karaoke. 

Media memanfaatkan kecerdasannya untuk memberi pengaruh pada masyarakat bahwa mekanisme demokrasi ini adalah yang terbaik bagi rakyat sembari juga mengumbar ancaman bahayanya, dengan satu tekad: uang mengalir.

Mempertanyakan hal-hal itu dan memilih untuk tidak terlibat didalamnya, sebagai salah satu alasan dari sikap golput, dengan mudah akan dicibiri sebagai yang tidak bersyukur dengan sistem yang sudah adil. 

Bahwa para calon penjual topeng itu toh nantinya sibuk menenteramkan rakyat bersamaan dengan persetujuannya pada kebijakan yang menggusur tanah rakyat adalah tindakan heroik. Bahwa para pemimpin itu nantinya memperkaya diri sembari terus beretorika menentang ketidakadilan, adalah manusiawi dan perlu dimaklumi. Semua orang diharapkan punya hati dan dapat merasakan bahwa pemimpin adalah orang yang kehilangan hati, atau terpaksa tak mampu menggunakan hatinya lagi. Mereka terpilih untuk menanggung beban yang begitu berat, menyelesaikan urusan ini itu sembari meratapi nasib sistem pendidikan yang tak mampu merubahnya sedikitpun, mencibiri sistem politik oligarkis yang menjamin kebahagian bahkan keluarga dan anak cucunya.

Lingkaran setan demokrasi yang sedang bergentayangan di negeri ini adalah bukti ketidakpercayaan diri pada jatidiri warisan leluhur para pemberani nusantara. Ada banyak lorong-lorong gelap yang tak mampu bahkan ditangkap oleh kecanggihan teknologi pelacakan yang didalamnya terjadi kesepakatan-kesepakatan, permusyawaratan, persengkongkolan, yang baru terasa ada ketika ada dampaknya nyata membuat rakyat tak hanya ketakutan tetapi juga kebingungan dan menaruh harapan. 

Lorong gelap pertama paling nyata lorongnya tapi paling gelap bertema ekonomi. Jangan pernah menyangka bahwa dalam lorong ekonomi itu ada agenda kesejahteraan bagi rakyat banyak, berkeadilan pada para pesaing saja merupakan kelemahan. Jangan pernah percaya ada pertimbangan sosial dan lingkungan apalagi tradisi budaya, lorong ekonomi hanya berorientasi pada siapa punya apa yang bisa mendapat apa. Jangankan hingga di tingkat bupati-walikota, gubernur hingga presiden, kalau anda bisa mengetahui dimana para camat dan kepala desa memasuki lorong ini, anda bisa frustasi dibuatnya. 

Lorong gelap kedua, yang lebih menjijikkan celakanya adalah lorong yang paling dihormati dikagumi ditaati - kadang dengan membabi buta - oleh kita semua rakyat jelata polos yang hanya ingin hidup damai tentram nyaman sejahtera. Inilah lorong moralitas, lorong agama, lorong keagungan budaya bangsa. Jangan pernah terlena kalau ada suara-suara kemanusiaan, belas kasihan, keadilan, apalagi cinta kasih. Jangan terkecoh jika figur-figur yang disorotkan keluar lorong adalah kesucian dan keagungan. Tidak ada agenda itu disana selain kekuasaan, nama baik dan besar, serta tentu saja seberapa banyak jatah yang diterima tiap-tiap pihak yang telah berjasa mendongkrak sebuah nama. 

Selama masyarakat terpecah belah dalam kebingungan pilihan semakin memperlihatkan keberhasilan demokrasi. Agar mereka rakyat itu sibuk berkelahi sendiri, saling mengkritisi pada hal-hal yang tidak hakiki, saling mencibiri bahkan menghina trah para ningrat berdarah politis yang toh nantinya dipilih dijadikannya kelompok terhormat gerombolan orang pemilik dan penghuni tetap lorong-lorong gelap itu. Semakin terang benderang yang mereka bicarakan dan alami konsekuensinya semakin baik, karena dengan begitu masyarakat akan semakin rabun bahkan untuk berani mempertanyakan untuk apa lorong-lorong itu ada dan bagaimana cara kerjanya.

Tak sulit sebenarnya. Lorong-lorong gelap itu ada disekitar kita, bahkan bisa jadi kita pernah melewatinya. Dia berciri ketidakjujuran, nir integritas, dan non konsistensi pada nilai-nilai dasar keutamaan kehidupan bersama sebagai bangsa.

Kedewasaan politik hanya dapat terwujud jika ada budaya kejujuran, jika ada etos integritas diri, jika ada konsistensi pada nilai-nilai dasar keutamaan kehidupan berbangsa itu. Itulah ujian terbesar jika musim pemilihan tiba.

Komentar

Postingan Populer