Belajar bahasa adalah belajar Budaya

PENGANTAR 

"Belajar bahasa adalah belajar budaya" Inilah pepatah yang sering diucapkan untuk meyakinkan orang bahwa mempelajari sebuah bahasa baru juga secara langsung maupun tidak langsung mempelajari budaya dimana bahasa itu dibentuk, digunakan, dilafalkan, di"pleset"kan, dicari alternatif terbaiknya, kadang dibakukan, namun juga terus dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari penggunanya.

Belajar bahasa baru adalah mengenal budaya baru yang berbeda. 

Dan tiap kali merenungi tentang belajar bahasa baru, pasti mula-mula saya teringat peristiwa Menara Babel. Sebuah peristiwa yang mengisahkan usaha sebuah kerajaan menyatukan seluruh umat manusia membangun sebuah tanda yang bisa menggapai langit, dan itu nyaris terwujud kalau saja bahasa mereka tetap satu. Kalau saja mereka masih dalam satu simbolisasi alat komunikasi yang bisa dipahami bersama.

The Tower of Babel Painting by Pieter Bruegel the Elder
Mungkinkah pernah ada satu bahasa yang digunakan seluruh umat manusia? Jika bahasa juga sekaligus kehadiran budaya, mungkinkah pernah ada satu budaya yang dihidupi seluruh umat manusia? Menurut hemat saya, inilah impian yang terbangun dibalik mitologi menara Babel. Sebuah impian indah tentang kemungkinan adanya saling pengertian luar biasa hingga pada detail-detail teknis dan tingkat presisi yang tinggi yang mampu digunakan untuk membangun sebuah tanda hingga menggapai surga tempat kekuasaan illahi berada. Sebuah impian yang hingga saat ini masih terus menghantui dan juga menceriakan hidup manusia.

Impian itu menjadi menghantui justru ketika kita fokus pada bagaimana bahasa harus dipahami. Bagaimana bahasa harus dibahasakan kembali dengan benar tak bercacat dan tak bercela. Dalam dunia tafsir menafsir, orang masih sibuk saling menuduh mana yang meng"eksegesis" dan mana yang meng"eisegesis" terhadap sebuah teks bahasa tertentu. Sekalipun sadar bahwa tiap kalimat yang seseorang ucapkan, apalagi tuliskan sebagai sebuah naskah, ketika sampai kepada publik, itu bukan lagi "milik" dari orang yang mengatakan dan menciptanya lagi, orang tetap bergelut membuat batas-batas mana yang disebut "asli" dan mana yang disebut "meniru". Memahami dan menjelaskan apa yang dipahami menjadi tindakan yang sarat beban dihantui oleh dominasi penemu, pemilik, dan pemegang hak cipta. Inilah tanda-tanda paling nyata kapitalisasi bahasa, yang merupakan bagian paling menghantui dari usaha membangun Menara Babel entah lewat tiap pelajaran bahasa "asing", sekolah tafsir-menafsir (terhadap sejarah, naskah kuno, kondisi masyarakat), maupun percakapan harian yang menghasilkan stereotipe terhadap pengguna bahasa tertentu atau sikap superior yang menghasilkan kesombongan.

Namun impian itu juga bisa menjadi keceriaan karena mampu menghubungkan tiap orang yang berbeda (Bangsa, ras, etnis, agama, tradisi, kebiasaan, letak geografis, dsb). Betapa mudahnya sekarang orang bercengkerama lintas bahasa atas pertolongan "Google translator".  Bahkan secara teknis bahasa mesin komputer menghubungkan tiap-tiap teknisi di seluruh dunia dalam satu bahasa mesin yang sama dalam membangun, memperbaiki, dan mencipta program aplikasi baru. Dengan begitu, belajar tentang ilmu apapun dipermudah, mengetahui tentang berita apapun disediakan, dan berbagi tentang ide-ide apapun terlayani dengan tanpa batas. Kita berbahagia karena tiap saat bisa "update" bahkan "upgrade" apa yang menjadi kesenangan dan minat dalam hidup kita. 

Otoritas yang mengontrol orang untuk tahu dan membagikan pengetahuan tidak pernah seterbatas ini sepanjang sejarah manusia.

Impian keceriaan dan sekaligus menakutkan inilah yang menjadi bahasa manusia sehari-hari saat ini. Ide-ide brilian paling kontemporer seperti demokrasi, pluralisme, etika global dibangun dalam bayang-bayang impian Menara Babel. Mempelajari bahasa baru yang adalah mempelajari budaya baru sekarang tidak lagi berhubungan dengan semata-mata menata struktur bahasa dan menggunakan dialek yang seharusnya. Mempelajari bahasa baru adalah benar-benar menyadari dan menghargai diri apa adanya yang sedang berusaha memasuki dunia impian keceriaan yang sekaligus menakutkan itu juga dengan kejujuran dan keterbukaan.

Bahasaku

Pernah dipertanyakan bagaimana mungkin menyatukan berpuluh perbedaan bahasa dan keragaman budaya Nusantara dalam satu visi bersama. Jawaban atas diluncurkannya bahasa minor melayu menjadi sebuah bahasa baku dan formal dengan proses penyempurnaan panjang adalah proses sejarah terpendek bagaimana orang bisa memahami sebuah konsensus untuk mengakui inilah bahasaku. Setiap orang yang berlatarbelakang beragam budaya dan tentu bahasa itu serta-merta berada dalam ephoria akan saling memahami dan saling mengerti perbedaan mereka karena kini mereka memiliki "alat pemersatu bangsa" yang akan sehari-hari tidak hanya digunakan sebagai sarana komunikasi, melainkan sebagai model membangun budaya baru. Sebuah impian ala Menara Babel yang manjur dan terlanjur menciptakan bahasa baru, modern, bahasa Indonesia. Padahal bahasa melayu asalnya, ditimbuni dengan istilah-istilah luhur comotan bahasa jawa, kawi, arab, bahkan sansekerta, di sok modernkan dengan "indonesianisasi" istilah-istilah bahasa Inggris yang sulit diterjemahkan atau terlalu panjang penjelasannya. Demikianlah bahasaku.

Sekalipun dengan dialek lugas gaya Jawa Timuran atau Sumatera Utara, atau mungkin dialek medok lembut ala Yogyakarta atau Banyumas, ketika kita menggunakan Bahasa Indonesia, kita semua mengerti dan saling menghargai kekayaannya. Bahasa yang satu bagi Indonesia itu menjadi milik tiap orang tanpa harus kehilangan dialek dan gaya berbahasa. Maka ketika seseorang dengan dialek tertentu mencemooh dialek yang berbeda dengan menggunakan bahasa yang sama, kembali mengingat kisah Menara Babel, adalah bentuk nyata bahwa menara impian menggapai langit itu berada di pundak tiap orang pondasinya. Stereotiping pada dialek adalah awal mula naluri penolakan terhadap pengenalan terhadap budaya yang berbeda. Dan tentu saja ini berbahaya.

Belajar bahasa adalah belajar budaya, mengingatkan kita tentang visi kehidupan bersama umat manusia. Bahasa adalah alat penting dalam visi itu. Alat itu tak akan bermanfaat maksimal manakala kita tidak berhati-hati melihat dinamika budaya di belakangnya. Maka benarlah, bahwa belajar bahasa adalah belajar budaya. Kenali bahasamu, dalam hal apapun yang sedang kamu lakukan, dengan begitu kita mulai membangun kesadaran budaya.

Gambar: 
The Tower of Babel Painting by Pieter Bruegel the Elder

Komentar

Postingan Populer