MODEL-MODEL SIKAP PLURALIS
TIGA ATAU EMPAT MODEL SIKAP PLURALIS
Tahun 2017 adalah
harapan baru bagi warga bangsa Indonesia untuk semakin meneguhkan diri dan
meyakini dengan tulus bahwa hidup dalam keragaman kebhinekaan masyarakat adalah
anugerah illahi yang paling besar yang telah terbukti menjadi pondasi paling
kokoh untuk membangun sebuah peradaban manusiawi.
Toleransi, kebhinekaan,
keragaman, multikultural, pluralisme, dan semangat perjumpaan inter dan bahkan
intra kultural semakin menjadi cara berada dan gaya hidup populer bagi setiap
orang di dalam segala segi kehidupannya. Fokus pada isu-isu sosial tertentu
menjadi semakin bermakna manakala dilengkapi dengan usaha perjuangan dan
kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap yang berbeda, yang dilihat
sebagai “sang liyan” yang tak terpisahkan dalam keutuhan hidup bersama dan
dalam penghormatan khusuk pada alam dan semesta.
Ada tiga atau bahkan
empat fenomena sosial yang menjadi pertanda bagi menguatknya kesadaran itu yang
tentunya layak kita renungi dan refleksikan bersama satu persatu. Karena bisa
jadi yang satu lebih efektif dari yang lain, dan yang lain lebih relevan dari
yang satunya, atau yang satunya lah yang memberi peluang kedewasaan kemanusiaan
lebih dari yang lain. Satu hal yang bisa dijadikan benang merah adalah realitas
adanya usaha keras dari berbagai pihak memahami kebhinekaan dan hidup bermakna
dalam keseharian hidup yang tercermin dalam kata, karsa, dan karya tiap-tiap
individunya.
Model Pancasilais
Model Pancasilais
adalah yang paling umum dan paling tegas menjadi semangat formal relasi antar
pihak di masyarakat. Perbedaan dan keragaman dalam kondisi yang paling kritis
konfliktual sekalipun dicegah, dijawab dan diredakan dengan jurus dan
pengobatan yang sama yaitu: Pancasila. Maka dari itu konsepsi tentang Pancasila
menjadi sedemikian rupa urgen dan tak tergantikan. Seolah bangsa bhineka ini
hanya bisa terselamatkan oleh Pancasila. Hanya bisa menempuh jalan Pancasila.
Dan hanya bisa hidup menjadi bangsa dengan Pancasila.
Tak jarang konsepsi
Pancasila sebagai penyelamat seperti ini tidak hanya dijadikan alasan personal
dan kelompok, tetapi juga digunakan sebagai alat penekan dan pemasung refleksi
lebih lanjut tentang kehidupan berbangsa dan menjadi manusia. Istilah menjadi
pancasilais, manusia pancasilais, sikap pancasilais, seolah menjadi mantra
sakti bahwa segala bentuk kebhinekaan itu sudah dan harus menemukan jawaban dan
penghiburannya sesakit dan seberdarah-darah apapun kenyataannya.
Model pancasilais ini
jugalah yang sering menjadi legitimasi dan semangat (entah tulus entah
pura-pura) dalam membangun dialog lintas agama, tradisi, budaya, dan keragaman
kemanusiaan lainnya. Dengan berbekal pancasilalah semua pihak membangun
keberanian untuk saling berjumpa dan membuka dialog, seolah tanpa pancasila,
kita sebagai manusia beragama dan berbudaya tidak memiliki alasan cukup kuat
untuk membangun perjumpaan dengan perbedaan agama dan budaya.
Pertanyaan sederhanya
adalah: “Apakah sebelum memiliki Pancasila sebagai dasar rumusan idiologi
bernegara, bangsa ini begitu bengis dan tidak toleran dalam menyikapi
kebhinekaan yang sejak dari dulunya – sebagai kepulauan perjumpaan persilangan
dua benua – pada kenyataannya terdiri dan secara dinamis bertransformasi dalam
perubahan dan pembangunan agama, tradisi, dan budaya?” Atau, “Apakah tanpa
Pancasila, agama-agama, tradisi budaya, dan juga gaya hidup kontemporer yang
ada dalam masyarakat tidak memiliki modal semangat untuk bernegosiasi dengan
keragaman secara arif dan bijak?”
Jelas Pancasila patut
dihormati dan dihargai sebagai pondasi bernegara yang perlu diimplementasikan
dengan penafsiran bijak dan intelektual oleh para penyelenggara negara dan
seluruh warganegara. Namun dalam keseharian hidup bermasyarakat, apakah sebagai
manusia kita hanya tergantung pada Pancasila agar kita merasa aman menjalani
agama, tradisi, adat, budaya yang beragam ini? Atau dengan kata lain, tidak
mampukah kita sebagai manusia seutuhnya membangun semangat penerimaan dan
penghargaan terhadap perbedaan tanpa harus bergantung pada legitimasi idiologi
yang mengikat kita semua itu?
Disinilah kesadaran
sikap toleran, pluralis, dan multikulturalis mendapatkan tantangan
terpentingnya tidak hanya secara regional dan nasional. Secara global,
penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan juga masih menjumpai dan
terkendala oleh banyaknya sistem yang sebenarnya dibuat justru untuk
menciptakan situasi itu. Ironis bukan? Seironis seorang kawan yang bergaul
gembira dengan orang yang berbeda karena panggilan berbangsanya yang sekaligus
menderita sengsara karena perintah agamanya.
Model Populis
Gerakan penebaran
semangat toleransi dan penerimaan terhadap perbedaan juga dengan sangat masif
terjadi di ranah budaya populer masyarakat yang ditopang oleh media sebagai
“nabi” nya. Ulasan-ulasan terbuka, kontroversial, baik dengan cerdas maupun
asal-asalan dimuntahkan sedemikian rupa dengan asumsi masyarakat dapat
mengunyahnya dengan nyaman sembari menjalankan bisnis dan mengubah diri
mengikuti gaya hidup konsumtif tertentu.
Maka bergaya toleran
adalah aset, menghargai keragaman adalah harga jual, melakukan
perjumpaan-perjumpaan adalah industri wisata kreatif. Semata untuk menunjukkan
bahwa kemoderenan adalah langkah paling benar mengatasi sifat primitif
eksklusif-egois-menang sendiri. Model populis inilah yang paling mudah
menghasilkan artis-artis, penulis-penulis, bahkan banyak publik figur yang
nampak sangat toleran dalam ranah profesional kepentingan bisnis politik nama
baiknya sekaligus – tak jarang – garang, sinis, apatis, dan penuh kebencian
dalam ranah personal dan komunitas basisnya. Seperti sebuah potret indah
deretan para pembenci tersenyum bersama bergandengan tangan agar para penonton
melihat ada toleransi dan saling penerimaan. Pesannya jelas. Kebencian
dimaklumkan, toleransi dijual.
Dalam ranah media
sosial dan dunia maya, tak ayal terjadilah perang. Saling berusaha mengalahkan
antara semangat membangun toleransi sebagai fungsi bernegara dan semangat
membangun kemenangan komunitas dalam bernegara sebagai alternatifnya. Membenci
kebencian dengan kebencian terdengar nyaris sama dengan usaha membangun
toleransi dengan cara tidak toleran terhadap yang tidak toleran. Dilema-dilema
dan kontroversi-kontroversi – sebagaiman yang laris dan bahkan menjadi sumber
penghidupan media – diumbar diobral dicekokkan dalam kesadaran tiap orang.
Membangun toleransi itu penting karena ada intoleransi. Menerima perbedaan itu
penting karena perbedaan dianggap selalu merupakan ancaman. Semakin orang
tertarik dan tergiur tergerak ikut berkomentar asal bunyi tanpa rasionalitas
apalagi intelektualitas – sejauh itu menjadi berita, menjadi aset media, - maka
semakin baik.
Dalam dunia nyata,
generasi populis yang kadang bersemangat universalis ini berada disemua lini
kehidupan masyarakat. Dia sangat toleran di pasar dan sekaligus menjadi anti
perbedaan dalam pilihan. Karena begitulah yang ditawarkan pasar. Orang bisa
memilih apa saja sesuai selera yang berasal dari suka dan benci, asal semangat
konsumerisnya terpuaskan. Apakah dalam pilihan itu mengandung konsekuensi
intoleransi dan bahkan kebencian, tidaklah menjadi urusan moral pasar. Apakah
sebuah produk yang paling baik dari segi politik, ekonomi dan agama itu
menghancurkan lingkungan dan selanjutnya mengancam kemanusiaan, juga bukanlah
menjadi perhatian pembangunan nilai-nilai pasar.
Pribadi ganda yang
tidak hanya dua identitas maupun lebih model gaya hidup itu, menjadi cara mudah
yang paling gampang dimaklumi. Sehari-hari berada dalam perjuangan toleransi
sambil terus berelasi dan terlibat dalam gerakan intoleransi. Hidup sosial dan
hidup beragama adalah dua hal yang terpisah jauh. Menghasilkan kesadaran bahwa
dalam hidup sosial populis tiap pribadi berada dalam jatidiri toleran dan
menghargai perbedaan, sekaligus bersamaan dengan itu hidup beragama adalah
komunalis kelompok yang menghalalkan wacana bahkan ritual intoleransi menguasai
dirinya. Tiap pribadi terpecah dalam kesadaran yang berbeda namun menjadi
nyaman sejauh gaya hidup populisnya dapat diterima baik oleh masyarakat maupun
oleh komunitas kecil agamanya. Pemakluman pribadi ganda semakin menjadi kentara
dan menguat sebagaimana dipamerkan media tentang kehidupan nyata para public
figur yang kita miliki.
Di satu sisi harus kita
hargai bahwa semangat populis itu semakin menjadi gaya hidup dan bahkan idola
anak muda. Di sisi yang lain kenyataan ini menghasilkan kekhawatiran.
Kekhawatiran besar bukan pada dampak yang ditimbulkannya, melainkan pada
potensinya yang mudah untuk dimobilisasi bergerak dengan mudah dari satu sisi
ke sisi yang bertentangan. Model populis ini tidak hanya menjadi potensi
penting bagi aset media, melainkan juga merupakan masa mengambang yang
menyenangkan para politikus, pemilik modal, dan beragam kepentingan, bahkan
kepentingan tulus perjuangan toleransi sekalipun. Karena yang terutama adalah
nampak seolah menjadi modern universalis dan tidak ketinggalan trend, kelompok
populis ini memanfaatkan apapun kecenderungan isunya sejauh itu mengisi sensasi
jati diri populernya.
Secara lokal, model
populis inilah yang paling tahu bagaimana memanfaatkan Pancasila sebagai
tameng, dan demokrasi sebagai pedangnya. Berteriak tentang perdamaian dan
berteriak tentang kebencian dipaksakan untuk diakui memiliki hak yang sama dan
harus disikapi dengan kebijakan yang sama. Dan sebagaimana kebanyakan model
Pancasilais, model populis ini juga memanfaatkan kebencian yang dimiliki oleh
model pancasilais untuk melegitimasi tindakannya. Kebencian disuarakan demi
Pancasila, intoleransi diteriakkan demi demokrasi. Butuh kepekaan dan
penelitian lebih lanjut bagaimana psikologi massa seperti ini terbangun. Namun
satu hal paling nampak kuat adalah bahwa model populis ini bentuknya
melanjutkan kegamangan sikap tiap penguasa tentang agama dan negara.
Model Agamis
Para agamawan juga
tidak kalah lantang dalam bergerak dan menyuarakan semangat toleransi,
pluralisme, dan penerimaan terhadap perbedaan. Ada agamawan pancasilais, ada
yang populis, namun ada juga yang progresif meletakkan agama sebagai sumber
penting gerakan dan kesadarannya. Keindahan dogma, ritual, dan etika yang
relevan dan selalu dalam proses transformasi bijak sarat makna dan nilai
sebagai keutuhan ekspresi keagamaan, dihayati sungguh-sungguh untuk selanjutnya
dijadikan petunjuk dan pencerah agar kehidupan penuh penghargaan dan penerimaan
pada “sang liyan” itu bisa terwujud. Bahkan tidak jarang, kegiatan itu
menghasilkan refleksi mendalam yang mendewasakan diri dan komunitas untuk
berani masuk dalam dialog intra religius yang memberi harapan pada peradaban
kemanusiaan masa depan dan kelangsungan hidup nilai-nilai dasar agama itu
sendiri.
Model agamis
memperlihatkan prinsip bahwa agama berguna, bermanfaat, dan praksis dalam
bersikap terhadap keragaman. Namun model ini justru yang paling mendapat
tantangan terbesarnya dari dalam dirinya sendiri. Dibutuhkan intelektualitas
yang memadahi, kelapangan hati yang mumpuni dan kebesaran jiwa yang rendah hati
untuk berani kritis terhadap apa saja asumsi keagamaan yang dimilikinya termasuk
hal-hal paling sakral yang umumnya dianggap tidak layak untuk dipertanyakan.
Dengan kata lain, berbicara mengenai toleransi, pluralisme, dan penerimaan
terhadap “sang liyan” harus atau dapat dimulai dari prinsip-prinsip mendasar
agama-agama. Tentu saja tiap orang dapat dengan mudah menemukan sumber-sumber
otoritas agama dalam hal itu, semudah menemukan dari sumber yang sama namun
yang menyatakan dan bisa ditafsirkan mendorong untuk melakukan sebaliknya.
Namun, model agamais juga
dengan segera dapat menghasilkan polarisasi yang pada akhirnya bersifat
dikotomis. Beragama secara gampangan dan beragama serius. Gampangan karena memilih
hanya apa saja yang disukai dan menolak apa saja yang tidak disukai. Ukurannya
gampangan juga, selera pribadi dan keuntungan pribadi. Melakukan apa yang
memuaskan hasrat diri dan menolak apa yang dibenci. Sumber-sumber otoritas
agama ditekankan sebagai dasar dan pusat dari polemiknya. Makanya dengan mudah
menghasilkan gambaran tentang sikap baik jika bisa menjelekkan pihak lain. Di
keping mata uang yang lain, sikap serius juga ditekankan pada kebaikan semangat
keagamaan. Sikap serius itu jika ada ketundukan mutlak, ada orasi penuh
kemarahan, dan ada tindakan-tindakan anti sosial yang dipraktekkan di tengah
masyarakat. Dikotomis karena yang gampangan ini bisa menjadi serius dan yang
serius itu menjadi gampangan.
Semangat progresive
yang menyertai munculnya dan tumbuh berkembangnya agama dalam sejarahnya
seringkali masih harus mengajak orang beragama untuk berani melampaui
konsep-konsep mendasar agama itu sendiri. Agama yang theistik menjumpai
tantangannya untuk melampaui theisme menjadi post-theistik dalam upayanya untuk
menyadari dengan tulus keberagaman konsep dan bentuk theisme dan isme lainnya.
Praktek ritualistik mendapatkan tantangannya dalam wujud yang lebih praksis di
tengah dinamika pergumulan keseharian manusia dan alam semesta ini. Dasar-dasar
etis yang bermuara pada aturan dogmatis dan anjuran moral personal dalam kebersamaan
kelompok mendapatkan tantangannya dalam bentuk prinsip cinta.
Apakah agama adalah
jalan keluar dari semangat intoleransi dan anti perbedaan yang kini semakin
menguat, ataukah sebaliknya, nampaknya polemik berkepanjangan itu sama sekali tidaklah
produktif bagi usaha membangun kesadaran pada penerimaan terhadap perbedaan dan
konstruksinya menjadi konfliktual jika diperhadapkan dalam diri agama-agama itu
sendiri.
Model Kultural
Para seniman, sosiolog,
penggerak budaya, budayawan, serta tiap orang yang berani melihat bahwa agama
adalah budaya, atau setidaknya menyadari bahwa ekspresi terbaik dari agama
adalah dalam kemampuannya mentransformasi budaya manusia bagi kehidupan kini
dan masa depan yang lebih baik menggunakan pendekatan kultural ini sebagai cara
untuk membangun toleransi dan penerimaan terhadap perbedaan. Dalam hal tertentu
pendekatan ini sangat menolong karena kuatnya prinsip dalam budaya tentang
keindahan dan harmoni yang dihasilkan oleh perbedaan. Bahkan kesadaran bahwa
proses perkembangan kebudayaan itu terjadi ketika muncul hal-hal baru yang
melengkapi dan bahkan merombak apa yang sudah dianggap mapan dapat dinikmati.
Model kultural tidak
dipusingkan oleh idiologi karena pendekatan kultural melampaui keterbatasan
geografis sebuah idiologi. Model kultural juga tidak dibatasi oleh model
populer karena selalu berusaha menempatkannya sebagai bagian dari dinamika
perkembangan budaya. Bahkan model kultural tidak terlalu terikat oleh agama.
Sekalipun seringkali agama memberikan kekuatan dan inspirasi yang penting,
model kultural sibuk dengan pemaknaan melampaui penetapan. Sibuk dengan
ekspresi estetis yang reflektif daripada ritualistik yang kaku. Posisi
terpenting model kultural terletak pada kemampuannya melihat pentingnya toleransi
dan penghargaan terhadap perbedaan itu sebagai sesuatu yang patut dirayakan,
diperjumpakan, diapresiasi, dan selanjutnya dijadikan ruang bersama untuk
berbahagia.
Tantangan-tantangan
baru yang dihadapi oleh model kultural secara siklis dihadapi dengan cara yang
unik, kontekstual dan diupayakan terus menjadi relevan. Dinamika pengaruh yang
menantang identitas kultural seringkali tidak hanya berasal dari luar sistem
kultural sebuah komunitas melainkan perubahan pemahaman dalam diri komunitas
itu sendiri. Pendek kata, jika ingin membangun sikap toleran, pendekatan ini
menawarkan kepada kita agar kita berani kembali kepada akar-akar budaya dan
tradisi prima yang utama. Konsepsi ini bukan tanpa konsekuensi. Kembali kepada
akar dan terus-menerus melihat proses transformasi budaya bagi operasional
budaya masa kini amatlah melelahkan. Dibutuhkan sensitifitas terhadap kemampuan
sebuah budaya dalam hal menghegemoni, dan bisa jadi menghasilkan romantisme
berlebihan seolah hidup manusia yang terbaik telah ada jauh sebelum agama
sebagai identitas itu ditetapkan, atau akan ada manakala budaya dan tradisi
setempat memiliki kredibilitas tertinggi dalam masyarakatnya.
Refleksi
Sekilas opini yang
telah saya paparkan di atas bagi saya adalah pergumulan pribadi yang selalu menghadang
kesadaran saya untuk memulai sikap toleran dan kesediaan menerima yang berbeda.
Tak jarang saya berjumpa dengan Model Pancasilais yang begitu dominan hingga
serasa membangun logika bahwa berada di bawah ancaman perpecahan akibat
perbedaan dan ketakutan pada kebencian yang makin merajalela dan makin nyata
hendak masuk dalam ranah penghancuran itu Pancasila lah sang messias
penyelamatnya. Logika yang sudah ditanamkan sejak dari puluhan tahun lalu oleh
penguasa yang pada akhirnya mengajak semua orang melakukan kebiadaban dan
kebencian berkepanjangan atas nama pancasila. Maka saya berusaha untuk segera
meletakkan model Pancasilais sebagai model yang perlu disikapi dengan paling
kritis. Tidak bisakah agama menjadi sarana pencerahnya?
Semangat gaya hidup
yang makin tertransformasi secara global memperlihatkan bahwa gaya hidup saya,
selera dan pilihan produk pada konsumsi saya, dinamika hidup saya dalam relasi
terbuka dengan setiap orang dimuka bumi ini, juga nampaknya belumlah bisa
menjadi jaminan otomatis akan terjadinya pembaharuan budi dalam diri saya.
Berpegang pada yang nampak populer, pun termasuk pada bagaimana kita
memperlakukan orang lain justru membuat saya semakin menjadi sadar betapa
sempit dan miskinnya diri saya dalam upaya besar perjuangan kemanusiaan ini.
Demikianlah agama juga bergelindan dengan segala beban manusiawi ini untuk
terus menunjukkan eksistensinya. Model populer dan model agama sebenarnya satu
keping mata uang karena perkembangan yang terjadi sangat dekat saling
mempengaruhi dan juga saling memberi legitimasi. Karena bagaimanapun, agama di
era post-modern ini adalah tentang sensus, tentang jumlah, tentang bagaimana
menggunakan statistik kekuatan masa. Sama persis seperti aset-aset produksi
hanya saja dalam sisi yang berbeda.
Semangat kultural
akhirnya adalah pilihan yang paling masuk akal untuk membangun diri secara
otentik, ekspresif, dan religius sekaligus menghargai keragaman ekspresi
estetiknya. Budaya bagaimanapun adalah bagaimana manusia itu sendiri, tiap-tiap
pribadi itu memandang dan hidup pada jamannya. Maka pertanyaan terakhirnya
terletak pada keberanian kita menjumpai diri kita sendiri dan tanpa harus
menggunakan apapun juga sebagai benteng atau meriam penyerang, hanya diri kita
sendiri secara utuh apa adanya, apakah kita ini manusia sebagaimana manusia
lainnya?
Komentar