PUASA RAMADHAN ADALAH SAKRAMEN
Gereja tua di Singapura |
Pendahuluan
Secara spontan pastilah
dengan lantang dikatakan bahwa sebagai orang yang beragama, orang Kristen
sangat menghargai bulan Ramadhan dan menghormati sahabat Muslimnya yang
berpuasa. Tidak jarang bahkan ditambahkan dengan istilah mengasihi penuh
pengertian dan melakukan aksi-aksi yang bersifat mendukung dan menolong
terselenggaranya Puasa. Namun, apa maksudnya, dan bagaimana tingkat pemaknaan
terhadap sikap menghargai dan menghormati itu, adalah perkara lain.
Melalui tulisan ini saya sama
sekali tidak hendak mengupas pemahaman dan pemaknaan Puasa yang dilakukan oleh
sahabat Muslim. Saya ingin sedikit berefleksi, sebagai orang Kristen, bagaimana
pemahaman dan pemaknaan saya dan kebanyakan orang Kristen terhadap praktek
Puasa yang dijalani oleh sahabat Muslim saya. Tujuannya adalah untuk lebih
memperkaya wawasan penghargaan dan penghormatan pribadi tidak hanya pada apa
dan bagaimana sahabat Muslim saya menjalani Puasa, melainkan juga sampai pada
pemahaman dan pemaknaan keimanannya.
Spontanitas
basa-basi
Seringkali respon spontan
diatas disusul dengan penjelasan yang juga singkat yaitu dengan menggunakan
alasan bahwa memahami Puasa adalah memahami perjumpaan lintas tradisi. Dari
sejarah tradisi yang sama-sama dimiliki, praktek Puasa merupakan tradisi yang
juga dikenal oleh orang Kristen. Kadang juga dijabarkan latar belakang historis
dengan dasar pemahaman kesamaan tradisi agama-agama Abrahamic. Bahwa Puasa
adalah ritual penting sejak dari dulu, yang kemudian menemukan penyempurnaan
praktek ritual dan pemaknaannya pada masing-masing agama.
Pendekatan dengan Model
penyamaan, mencari persamaan, dengan beragam perspektif yang bisa dikembangkan
memang nampak menguntungkan bagi pemahaman yang lebih menawarkan saling
pengertian. Selain perspektif historis, pendekatan persamaan ini menawarkan
agar setidaknya agama lain melihat tradisi yang dipraktekkan sahabat Muslimnya
dengan perasaan yang sama, atau mungkin juga pengalaman yang sama. Yaitu
melakukan ritual Puasa persis sebagaimana dipraktekkan oleh sahabat Muslim.
Namun kadang model penyamaan
seperti ini mudah terjebak hanya dalam kuantitas Puasa dan praktek
"sengaja menderita" yang sama. Tak urung, sekalipun kelihatan sangat
alim, tradisi Kristen sering menyebut angka jumlah hari Puasa sebanyak 40 hari
menjelang Paskah (10 hari lebih banyak dari sahabat Muslim). Nah, nampak sudah
kesombongan yang tak tersadari. Dan karena tradisi itu diangkat dari apa yang
pernah dilakukan Yesus (Puasa 40 hari 40 malam), maka negosiasi terhadap
disiplin "sengaja menderita" bagi tradisi Kristen bentuknya cenderung
menjadi pemakluman-pemakluman yang sangat bebas - bahkan untuk sama sekali
tidak melakukan apa yang disebut sahabat Muslim sebagai berpuasa. Namanya saja
yang sama yaitu Masa Puasa, namun jelas, praktek dan tingkat disiplin yang
dilakukannya sangat jauh berbeda. Maka, apakah sepadan jika model pendekatan
penyamaan seperti ini dijadikan landasan untuk memahami pemaknaan Puasa?
Model penyamaan tradisi
dengan begitu mudah sekali menjadi bentuk persaingan tradisi, yang
ujung-ujungnya tetap terjebak dalam diskusi bahwa dialog itu proses
mencari-cari yang sama, proses membanding-bandingkan, proses menghargai - namun
hanya dalam tataran praktek dan disiplin saja. Sehingga tidak dapat masuk
kedalam refleksi bersama tentang keberagaman pemaknaan yang memperkaya
spiritualitas masing-masing agama.
Prapaham
atau Standart Ganda?
Ada beberapa hal yang perlu
disinggung sebelum masuk ke dalam pemahaman dan pemaknaan tentang puasa yang
dijalani sahabat Muslim yang menjadi prapaham Kristen.
1. Sikap dan pendirian iman.
Lazim dijadikan alasan oleh orang Kristen bahwa praktek keagamaan yang bersifat
ritualistik adalah sarana, alat, media, dan kesempatan yang dimiliki oleh
tradisi kekristenannya untuk memperlihatkan sikap dan pendirian iman. Dan
karena kebanyakan gereja di Indonesia bersifat organisatoris berpusat pada
gereja (gedung atau bangunan milik gereja), maka ukuran sikap dan pendirian
iman itu pertama-tama dilihat dengan sistem keanggotaan. Maksudnya, seseorang
adalah Kristen legalitasnya ditentukan oleh organisasi gereja tertentu.
Legalitas sikap dan pendirian
iman ini tidak hanya bersifat formal berpengaruh pada keanggotaan seseorang,
kadang juga bisa dijadikan tanda aliran atau pandangan teologis yang
dipilihnya. Setidaknya ada 5 golongan besar dalam kekristenan di Indonesia yang
bisa dilihat dalam pola seperti ini. Katolik-Orthodox, Kristen
Protestan-etnis-tradisionalis, Injili-Pantekosta-Kharismatik, Adventis, dan
kelompok non-denominasional, yang rajin menghubungkan keanggotaan dalam
organisasi gereja sebagai ukuran dari sikap dan pendirian iman.
Dalam situasi begini, sikap
dan pendirian iman seringkali tergantung sepenuhnya pada para klerus (pimpinan
gereja) baik yang bersifat tunggal-monolitik maupun yang bersifat kolegial.
Maka bagaimana umat memahami dan memaknai praktek ritual agama lain juga
biasanya dikontrol dan ditentukan oleh para klerus tersebut. Sekalipun selalu
ada pengecualian, sering terdengar bahwa praktek Puasa sahabat muslim dihormati
sebagaimana praktek mereka melakukan aktivitas berorganisasi sebagaimana orang
Kristen yang “baik” adalah yang rajin mengunjungi gereja, atau setidaknya yang
keanggotaan bergerejanya jelas.
Beberapa gereja juga sudah
mulai meningkatkan penghargaannya dengan berdasar pada aktifitas ritual mengikuti
kalender tahunan keagamaan Kristen. Penanggalan aktivitas jemaat yang dikaitkan
dengan sikap dan pendirian iman ini telah lama lazim dipraktekan dalam gereja
Katolik, dan ketika juga menjadi populer di kalangan kekristenan yang lain,
praktek Puasa Kristen juga menjadi aktifitas penting. Demikianlah kemudian
praktek Puasa sahabat muslim dapat lebih dipahami dengan baik. Namun terbatas
pada pemahaman dan pemaknaan ritual tahunan. Dengan kata lain orang Kristen
memandang puasa sahabat Muslimnya sebagai salah satu ritual yang perlu dijalani
sebatas sebagai sebuah upacara yang sesuai dengan kalender ritual tahunan yang
dimilikinya. Bagaimana dalam ritual tahunan itu sebuah upacara dimaknai; sejauh
mana tingkat kesakralan, kedisiplinan, kerapian detail pelaksanaannya, belum
menjadi perhatian dalam kejujuran semangat dialog yang dibangun untuk memahami
praktek Puasa sahabat Muslimnya.
2. Sikap tentang
praktek keagamaan. Persoalan kedua adalah tetang menafsirkan praktek
puasa. Dalam banyak kesempatan, saya melihat penekanan yang dilakukan oleh
orang Kristen adalah pada ketidakharusan berpuasa. Prinsip dasarnya mungkin
hampir serupa dengan apa yang dimiliki oleh sahabat muslim, yaitu bahwa Puasa
adalah praktek yang dijalani sebagai relasi personal dengan Tuhan. Sejauh yang
saya tahu, bagi sahabat Muslim, justru karena itu bentuk relasi personal maka
menjadi sangat penting - sangat sakral, sehingga perlu selalu diingatkan
sebagai kewajiban dalam tingkat keharusan. Namun bagi orang Kristen, sesuatu
yang bersifat personal itu menjadi tidak perlu diharuskan, tergantung pada
kemauan dan niat tiap-tiap orangnya. Karena yang lebih memiliki tingkat
keharusan adalah yang bersifat komunal, dipraktekkan secara bersama-sama dalam
waktu dan ruang yang sama.
Sampai disini, sekedar
sebagai sebuah catatan, tentu harus terus disadari bahwa praktek desakralisasi
dan sakralisasi terhadap sebuah ritual selalu merupakan dinamika tersendiri
dalam tiap-tiap agama. Sementara sahabat Muslim cenderung semakin
mensakralisasi praktek ritual yang bersifat personal; Shalat lima waktu,
membaca al-Quran, dan Puasa, orang Kristen cenderung semakin mensakralisasi
praktek ritual yang bersifat komunal; hadir di Gereja, bakti sosial bersama,
dan yang paling dianggap sakral adalah mengikuti sakramen (Ritual membabtiskan
anak dan Perjamuan Kudus).
Begitu fleksibelnya siap
terhadap praktek keagamaan dalam kekristenan, puasa bahkan sering dipahami
sebagai praktek ritual yang tidak harus berarti tidak makan dan tidak minum.
Puasa tidak langsung berhubungan dengan persoalan pola dan jadwal makan dan
minum. Juga tidak berhubungan dengan kesempatan pengembangan-perayaan istimewa
bagi keimanan seseorang. Sejauh yang saya tahu, bagi sahabat Muslim, praktek
dan disiplin Puasa relatif dijalani dengan cara yang sama. Ada banyak detail
yang perlu diketahui agar sebuah Puasa itu memenuhi syarat pemaknaan atau
tidak. Bahkan ada banyak model penafsiran baik terhadap praktek yang sangat
umum, hingga sampai pada pengecualian-pengecualian yang manusiawi sifatnya.
Peraturannya relatif sama, sehingga memudahkan untuk mempraktekkan secara
disiplin. Sesuatu yang jelas tidak dimiliki oleh tradisi Kekristenan dalam
memandang puasa.
Ada banyak alternatif tindakan-pemaknaan
yang sering ditawarkan oleh kekristenan untuk mempraktekkan puasa. Sederhananya
bisa dicontohkan demikian; dalam makna berbagi maka praktek Puasa adalah
mengurangi atau meniadakan dalam jangka waktu tertentu kebutuhan pribadi untuk
memenuhi kebutuhan orang lain yang lebih memerlukannya. Jadi letak pemaknaan
puasanya lebih pada kerelaan untuk tidak hidup sesuai dengan haknya demi kepentingan
orang lain. Praktek keagamaan (dalam hal ini Puasa) dengan demikian dipandang
sebagai negosiasi etis tentang pemenuhan kebutuhan hidup; sebuah cerminan
kebaikan hati; sebuah tindakan iman melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan
secara sosial.
Dari contoh ini nampaklah
bahwa puasa sebagai praktek keagamaan berada pada pemaknaan terhadap moralitas
sosial, setidaknya dalam hal kesediaan merelakan sesuatu untuk orang lain. Tentu
ini menguntungkan bagi kerja lintas agama untuk melakukan aksi sosial yang
bermanfaat di masyarakat dan tentu meneguhkan tujuan dari praktek Puasa.
Pemaknaan kesakralan Puasa yang dimiliki oleh sahabat Muslim sebenarnya mudah
dilihat dari cara mereka menghayati dan melihat begitu berharganya bulan
Ramadhan. Bahkan disebut sebagai bulan Suci, waktu segala kebaikan kemanusiaan
dipraktekkan, dan ruang khusus bagi relasi vertikal umat dan Tuhan ditegaskan.
Namun entah mengapa pemaknaan kesakralan ini tidak terlalu sering menjadi
perhatian orang Kristen. Padahal dengan pemaknaan kesakralan seperti itu saja,
Ibadah Puasa sahabat Muslim dapat dikatagorikan sebagai Ibadah Sakramen dalam
Kekristenan.
3. Mitos keunikan agama
Kristen dalam hal kesakralan. Dalam Kekristenan harus diakui adanya mitos-mitos
tentang keunikan kekristenan yang dipercaya banyak orang Kristen yang kemudian
mempengaruhi cara berpikirnya terhadap dunianya, termasuk terhadap agama lain
dan secara lebih spesifik termasuk kepada praktek sakral agama lain. Pada
dasarnya mitos keunikan ini berasal dari tradisi konsepsional sejarah
kekristenan itu sendiri. Jadi bukan berarti bahwa mitos-mitos itu adalah
pendirian resmi atau kalimat sepakat bagi keseluruhan orang Kristen.
Dalam konteks tertentu
mitos-mitos keunikan agama kristen itu diperlemah atau diperkuat oleh tradisi,
budaya, dan model interaksinya dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam konteks
Indonesia beberapa mitos keunikan yang diperkuat adalah berkembangnya tradisi
dalam kekristenan yang “sangat hati-hati”, selektif, dan bisa dikatakan
digunakan untuk meningkatkan “nama” agama Kristen dalam persaingannya dengan
praktek tradisi, budaya, dan agama lain. Sumber bertumbuhnya mitos keunikan ini
sebenarnya lazim dalam agama apapun yaitu tentang kebenaran, keselamatan, dan
kemurnian yang diasumsikan telah menemukan bentuk dan praktek terbaiknya seperti
yang dipraktekkan oleh “pada umumnya” gereja-gereja yang ada.
Pengaruh berkembangnya mitos
keunikan (dan dibanyak kesempatan dijadikan satu-satunya identitas kekristenan)
ini terhadap sikap orang Kristen pada praktek Puasa sahabat muslimnya adalah:
bahwa Praktek puasa bukanlah sebuah tradisi yang “menegakkan” iman, tidak
berhubungan dengan keselamatan, dan merupakan variasi dari praktek yang secara
murni/asli tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa. Penghargaan orang Kristen
terhadap praktek Puasa sahabat muslimnya berada dalam tataran toleransi;
penerimaan pada perbedaan “rasa” terhadap sebuah praktek beragama. Penghargaan
itu belum banyak menyentuh pada pemaknaan kesakralan yang didalamnya terdapat
nilai kebenaran, keselamatan dan kemurnian sebagaimana orang Kristen melihatnya
terdapat pada praktek ritual mereka yang paling penting yaitu sakramen (bagi
orang Protestan hanya ada dua sakramen yaitu Babtis Kudus dan Perjamuan Kudus).
Memandang
praktek Puasa sebagai Sakramen
Berdasarkan apa yang telah
disebutkan diatas, nampaklah bahwa perbedaan pemahaman terhadap praktek
beragama sendiri, itu sangatlah
berpengaruh besar terhadap pemaknaan, sikap menghargai, dan penghormatan
terhadap praktek keagamaan yang lain. Dibutuhkan keterbukaan dan keberanian
untuk menyadari tingkat pemaknaan pada tradisi agama sendiri, agar kemudian
dapat berhasil dengan keterbukaan dan keberanian juga menerima dan menghargai
praktek ritual agama lain. Dengan kata lain, orang Kristen tidak bisa memahami
praktek ritual Puasa sahabat Muslimnya berdasarkan pemahaman dan pemaknaannya
terhadap Puasa seperti yang ada dalam kekristenan.
Sakaramen adalah praktek
ritual paling sakral dalam agama Kristen sebagai bentuk paling nyata misteri
terdalam hubungan langsung antara manusia dengan Tuhan, dan tindakan langsung
dari Tuhan terhadap umatnya. Dua kehendak misterius dari yang manusiawi dan
yang illahi terwujud dalam tindakan nyata dalam ritual yang menghasilkan
kebenaran, keselamatan, dan kemurnian iman. Dengan kata lain, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa orang yang beriman Kristen menemukan kebenaran hidup,
keselamatan surgawi, dan kemurnian sebagai makhluk ciptaan, adalah ketika
mereka berada dalam dan menghayati praktek ritual sakramen.
Jika kita lihat dasar pikir
seperti tersirat di atas, apa yang terjadi dalam praktek ritual Puasa Ramadhan
sahabat muslim sebenarnya berada dalam tingkat pemaknaan dan penghayatan yang
setara dengan praktek ritual Sakramen dalam kekristenan. Puasa tidak bisa
dilihat seperti orang Kristen melihat praktek ritual tahunannya yang secara
“normal” dijalani sebagai kebiasaan seperti ibadah yang berhubungan dengan masa
atau hari perayaan tertentu. Jadi sedikit kurang sepadan dengan masa Puasa
menjelang perayaan Paskah seperti yang dimaknai orang Kristen.
Puasa Ramadhan merupakan
peristiwa istimewa sekaligus perayaan sangat sakral yang mengungkap misteri
relasi manusia sebagai makhluk personal dengan Tuhan. Kedatangannya pada tiap
masa tertentu tidak sekedar menandai rutinitas, tapi menandai kesempatan paling
istimewa dalam hidup sahabat Muslim sepanjang hidupnya sebagai umat Tuhan.
Begitu istimewanya hingga selalu disikapi seolah sebagai kesempatan terakhir,
namun begitu indahnya sehingga selalu disambut sebagaimana kesempatan yang
pertama. Puasa Ramadhan semakna dengan Sakramen karena ia juga menjadi penanda
bahwa kebenaran, keselamatan, dan kemurnian iman tetap disediakan sebagai
kesempatan bagi seluruh umat manusia.
Selamat Berpuasa semua sahabat
Muslim di Indonesia.
Pdt. Kristanto Budiprabowo,
M.Th.
Komentar