Diskusi tentang Kemiskinan Urban bersama Dial Foundation
Analisis Kemiskinan
Dalam Tinjauan Livelihood
(Studi Kemiskinan Pada Masyarakat
Urban di Indonesian dan Penanggulangannya)
Kristanto
Budiprabowo
Pendahuluan
Dengan tinjauan Livelihood, analisis kemiskinan sampai pada titik paling
dilematisnya. Titik dilematis pertama, adanya kenyataan bahwa sumber-sumber
pendapatan dan bagaimana cara pendapatan itu diperoleh oleh masyarakat urban
tidak sejajar dengan kenyataan intrinsik yang dijadikan indikasi kemiskinan. Masyarakat
metropolis yang berkubang dengan berbagai alternatif sumber pendapatan baik
formal maupun informal, barang dan jasa, pada kenyataannya justru yang paling
banyak memiliki komunitas-komunitas yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Celakanya peta kemiskinan yang digambar dalam situasi seperti inilah yang
dijadikan rujukan dan model analisis untuk memetakan kemiskinan di kota-kota
lainnya.[1]
Hal ini pada akhirnya menimbulkan perdebatan yang tidak mudah untuk dicari
jalan keluarnya. karena tiap konteks urban memiliki karakteristiknya
tersendiri, dan penyamarataan pada tingkat pendapatan dan kebutuhan hidup
sesuai dengan garis kemiskinan yang ditetapkan tidak pernah bisa dijadikan
argumen dasar.
Titik dilematis yang kedua adalah tentang gaya hidup yang sama sekali tidak
pernah bisa diukur secara akurat apa dan bagaimana masyarakat membangunnya.
Kohesifitas sosial dalam agama, budaya, etnis, dan tradisi, simpang siur dengan
semangat hedonis, materialis, dan semangat gaya “sinetron”. Diperhadapkan
dengan kenyataan ini, kemapanan livelihood selalu menjadi pertanyaan apakah itu
cukup memiliki ketahanan atau selalu berada dalam hitungan skala resiko yang
tidak aman. Sekarang ini siapa yang bisa menjamin bahwa sebuah perusahaan yang
menghidupi sebuah kelompok kelas menangah bisa terus menjadi andalan? Siapa yang
bisa yakin jika kurs rupiah stabil, siapa yang bisa menjamin tidak ada bencana
alam, siapa bisa yakin jika konstelasi politik tetap membuat masyarakat nyaman?
Menurut Chambers, perubahan metodologis yang perlu dilakukan harus bersifat
menyeluruh tidak hanya dalam level sosio-politik melainkan juga level
profesional dan personal.[2]
Tanpa kesadaran tranformasi yang bersifat holistik seperti itu maka, menurut
saya, pertanyaan-pertanyaan diatas hanya akan semakin membuat frustasi para
peneliti sosial terutama saat menghubungkan antara livelihood dan kemiskinan.
Berdasarkan kenyataan itu dalam diskusi ini saya ingin menjelaskan
pentingnya tindakan kritis sejak dari dasar berpikir metodologis terhadap
kemiskinan. Kemiskinan adalah kenyataan sosial dimana-mana, di negara yang
paling kaya sekalipun. Pendekatan developmentalism, partisipatoris, dan
pemenuhan baik basic need maupun basic right, pada akhirnya
mempertanyakan seberapa jauh keterlibatan komunitas untuk membangun sendiri
model analisisnya terhadap kemiskinan. Salah satu upayanya adalah dengan
langkah yang disebut sebagai analisis kemiskinan oleh orang miskin itu sendiri[3].
Dalam konteks diskusi kita, analisis kemiskinan dalam konteks masyarakat urban
yang dilakukan secara partisipatoris oleh masyarakat urban itu sendiri. Dengan
cara inilah komunitas bisa melihat dirinya sendiri dan menemukan sendiri
langkah-langkah positif mengantisipasinya.
Diskusi yang produktif di Toko Buku Togamas Malang |
Tentang metode analisis dan alternatifnya
Metode analisis terhadap kemiskinan kebanyakan menggunakan: pertama jasa pakar,
yaitu ekonom, planer, sosiolog dan politikus yaitu kelompok orang yang hidupnya
berjarak dari konteks kemiskinan. Kedua, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kebutuhan, kekurangan, kelemahan, ketidakmampuan, yang pada
gilirannya menggunakan asumsi pada kemelaratan/ketidakcukupan basic need,
kebodohan/tingkat pendidikan, ketidaksehatan, kemalasan, dan berujung pada
usulan pengentasan kemiskinan dengan cara-cara yang sama sekali berbeda dengan
apa yang sudah dianalisis. Contoh sederhananya demikian, peneliti menggunakan
banyak sekali indikator angka-angka (yang selalu perlu dipertanyakan) untuk
mengukur seberada banyak kekurangan sebuah komunitas sehingga layak disebut
miskin. Ketika hasilnya muncul, maka analisis diteruskan pada langkah kedua yaitu
mengukur asumsi (yang juga selalu perlu dipertanyakan). Setelah asumsi
terdukung kebenarannya dengan data, maka dirancang sebuah program
penanggulangan yaitu peningkatan pendapatan. Jadi kekurangan pendapatan diatasi
dengan program income generating, peningkatan pendapatan, alternatif sumber
lain pendapatan.
Apa yang terlewat dari metode analisis ini? Terjadi lompatan dari
kekurangan pendapatan yang seringkali juga didramatisir sebagai biangkerok dari
segala persoalan kemiskinan menuju pada langkah meningkatkan, menambah,
memperbanyak pendapatan. Ada satu kenyataan paling berharga dan sangat penting
yang tidak muncul sebagai energi pada proses analisis yaitu kenyataan bahwa ADA
pendapatan, ADA pekerjaan, ADA usaha, ADA kerjasama dan seterusnya. Padahal, pada
prakteknya program-program pengentasan kemiskinan bergantung pada kenyataan ini[4].
Namun justru hal-hal ini tidak menjadi fokus dari analisis atau sekedar
dijadikan data komparatif. Maka bisa ditebak bahwa program-program pengentasan
kemiskinanpun akhirnya menemui banyak sekali drama antara pemeran-pemeran yang
bermain Tuhan dan masyarakat sebagai pemeran-pemeran ketidakberdayaan dan
kesialan[5].
Ini terjadi, sekali lagi, karena fokus analisis dan energi yang digunakan
ditujukan pada sesuatu yang tidak bisa digunakan sebagai modal untuk
mengembangkan diri dan komunitas selanjutnya.
Para praktisi pemberdayaan komunitas, terutama komunitas miskin kebanyakan
tidak asing lagi dengan metode analisis holistik. Beberapa metode yang sudah
cukup berkembang dan dalam prakteknya memberikan hasil yang positif diantaranya
adalah pendekatan partisipatoris. Hal ini setidaknya ditandai dengan kesadaran
pentingnya melihat sebuah situasi sosial secara seimbang baik dari data
kuantitatif maupun kuantitatifnya. Menurut Ravi Kanbhur (2001), metode analisis
yang mempertemukan kuantitas dan kualitas terhadap kemiskinan terdapat diantara
5 dimensi yang tarik menarik yaitu: “1. Type of Information on Population:
Non-Numerical to Numerical. 2. Type of Population Coverage: Specific to
General. 3. Type of Population Involvement: Active to Passive. 4. Type of
Inference Methodology: Inductive to Deductive. 5. Type of Disciplinary
Framework: Broad Social Sciences to Neo-Classical Economics”[6].
Maka, melakukan analisis terhadap kemiskinan urban terutama pada kondisi
livelihood komunitas perlu melibatkan masyarakat sejak dari awal assesment,
kemudian juga melibatkan secara partisipatif masyarakat untuk menentukan alat
analisis bahkan termasuk alat ukur yang perlu digunakan untuk menjalankan
analisis tersebut. Namun yang terjadi, inilah yang saya sebutkan sebagai
lompatan di atas, mumnya, dalam langkah paling awal yang paling menentukan ini,
melulu jasa pakar yang dibutuhkan, data sensus, angka-angka statistik yang
akurat dan ukuran-ukuran yang idealistis. Dengan data jadi inilah baru
komunitas diajak untuk secara partisipatoris menemukan alternatif
penanggulangannya, yang pada prakteknya sudah juga disodorkan sebagai usulan
jadi. Disinilah ketegangan antara analisis kuantitatif dan kualitatif berada
dalam fase yang paling membingungkan.
Participatory Poverty Assessment (PPA) sebagai
sebuah alat memetakan kemiskinan juga tidak membedakan individu dan profesi
yang ditekuninya. Semua individu dihargai identitasnya dan pilihan profesi apapun
dihormati. Dalam konteks masyarakat kita, praktek penggunaan metode ini
seringkali menjumpai kendala terbesarnya yaitu budaya komunitas. Manipulasi
data, penggunaan asumsi-asumsi yang dikelirukan, dan pada akhirnya pembuatan
program yang sangat bersifat politis sangat kentara didikte oleh konglomerasi
adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Selain itu, stratifikasi sosial
(yang tidak formal), rasialisme berbasis nasionalisme absolut, dan diskriminasi
berbasis agama juga merupakan kendala-kendala besar bagi masyarakat untuk
memahami kemiskinannya sendiri. Yang terakhir konsep kohesi sosial yang berasas
harmonisasi seringkali juga menyuburkan kedua realitas itu. Jadi selama
partisipasi masyarakat tidak dilibatkan sepenuhnya dan apa yang sudah ada ditengah
masyarakat tidak dihargai dan diakui secara jujur, program pengurangan
kemiskinan hanya akan terus membangun budaya masyarakat seperti itu. karena
tiap komunitas membangun sendiri budayanya.
Pendekatan Livelihood dan ABCD
Pendekatan livelihod atau yang secara teoretis berorientasi pada
sustainability komunitas[7]
berbasis pada metode appreciative inquiry
yang dikembangkan menjadi sebuah metode komprehensip analisis hingga evaluasi
program pemberdayaan dan pengorganisasian komunitas termasuk poverty reduction di banyak wilayah
dalam bentuk Asset-Bassed Community
Development (ABCD). Menggunakan pendekatan livelihood dengan demikian
melibatkan segala aspek yang ada di komunitas. Ini berarti menggunakan
pertanyaan dasar penuh penghargaan (sebagaimana prinsip appreciative inquiry)
“apa yang sudah ada dan berjalan baik?”.
Relawan Dial Foundation Malang |
Berdasarkan pendekatan appreciative inquiry masyarakat adalah the agent of change; subyek dari segala
bentuk perubahan yang terjadi pada dirinya. Karena merekalah subyek maka
merekalah yang bisa secara obyektif dan akurat melihat apa yang ada pada diri
dan komunitasnya, dan bagaimana cara merubahnya seperti yang mereka idealkan. Demikianlah
pendekatan ABCD dimulai dan dikembangkan.
John McKnight, salah seorang pendiri ABCD Institute melihat bahwa
diperlukan perubahan paradigma untuk memahami mekanisme sosial yang terjadi di
komunitas. McKnight menyatakan bahwa yang disebut komunitas adalah ketika
setiap anggotanya secara bersama menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu yang
menghidupi komunitasnya, yang kemudian merangsang adanya peluang-peluang untuk
dikembangkan, dan semangat untuk mengembangkan inilah yang membentuk assosiasi
dan institusi[8]. Dengan
paradigma ini, melakukan analisis terhadap konteks kemiskinan adalah membuat
peta sistem bagaimana sebuah komunitas eksis dan mengembangkan dirinya.
Menganalisis sebuah komunitas merupakan tindakan menggali aset-aset yang ada
baik yang kelihatan maupun tidak, baik yang formal maupun tidak. Tindakan
analisis adalah langkah awal membentuk budaya berpikir dan bertindak di dalam
masyarakat.
Berdasarkan pendekatan tersebut, beberapa pakar seperti Stephen Morse, Moser
(1998); Narayan (1997); Portes (1998); Putnam (1993), menyepakati bahwa ada
lima kapital aset yang perlu dipetakan untuk melihat realitas sebuah komunitas
yaitu:
1.
Natural capital: natural resource stocks (soil, water,
air, genetic resources etc.) and environmental services (hydrological cycle,
pollution sinks etc).
2.
Human capital: skills, knowledge, labour (includes good
health and physical capability).
3.
Economic or financial capital: capital base (cash,
credit/debt, savings, and other economic assets)
4.
Physical capital: Infrastructure (buildings, roads),
production equipment and technologies)
5.
Social capital: social resources (networks, social
claims, social relations, affiliations, associations)[9]
Lebih jauh Caroline O. N. Moser [10] juga
memperlihatkan bagaimana kelima hal ini merupakan peta yang signifikan bagi
setiap metode analisis kemiskinan. Dengan peta aset ini pendekatan livelihod
terhadap kemiskinan urban adalah melihat bagaimana setiap orang dan setiap
komunitas mengenali, menyadari, dan memanfaatkan aset-asetnya. Peta ini juga
dapat mengukur sejauh mana ketahanan livelihod jika menghadapi situasi-situasi
tertentu yang bersifat darurat.
Selain itu pendekatan seperti ini juga membuat transisi terhadap situasi
yang baru lebih bisa dibayangkan oleh komunitas itu sendiri. Karena tiap aset
yang dimiliki oleh sebuah komunitas tentu terikat dengan kisah dan cerita yang
juga menghidupi komunitas, maka memperlihatkan tiap-tiap asset dalam rangkaian
perencanaan program pengurangan kemiskinan juga adalah membangun sebuah kisah
hidup yang baru, dengan kata lain menciptakan budaya baru.
Dengan pendekatan livelihood hasil analisis terhadap sebuah situasi
kemiskinan menjadi lebih komprehensip. Data yang paling sederhanapun merupakan
hasil kesepakatan partisipatoris tiap anggota masyarakat. Oleh karenanya yang
muncul bukan hanya tabel tapi bisa sebuah cerita. Bukan hanya statistik tapi
juga sebuah kajian budaya relasional. Bukan hanya peta umum situasi sebuah
konteks sosial namun lengkap dengan koleksi semangat yang dimiliki dan
menghidupi masyarakat.
Implementasi dan kesimpulan
Model-model analisis seperti Livelihood
Sustainability Analisys (LSA), Participatory
Poverty Assessment (PPA), yang berbasis pada paradigma appreciative inquiry dan dikembangkan melalui metode Asset-Based Community Develpment (ABCD)
sebenarnya sudah dikenal oleh banyak pakar dan praktisi kependudukan dan
kesejahteraan sosial. Beberapa lembaga donor dunia yang mensponsori upaya-upaya
pengurangan kemiskinan juga sering merekomendasikan hal ini sebagai alat untuk
menyusun program pengurangan kemiskinan di tingkat lokal. Namun kemauan
politik, tekanan para pemilik korporasi internasional, dan dalam konteks
indonesia perlu ditambahkan kuatnya budaya individualisasi aset komunal
seringkali menjadi halangan terbesar.
Pendekatan livelihood juga sering dianggap rumit karena membutuhkan proses
yang panjang dan melibatkan semua anggota masyarakat. Hasil analisis dari
pendekatan ini tidak mudah dieksekusi dalam kebijakan publik karena tiap
komunitas memiliki karakteristik yang khas. Namun, ketika pendekatan ini
dimulai, sebuah kisah hidup komunitas dibangun, sebuah budaya dikembangkan dan
dijadikan nafas hidup menuju perubahan.
Memahami kemiskinan adalah memahami sebuah komunitas. Dan tidak ada sumber
informasi paling akurat selain yang diakui, dinyatakan, dan dihidupi oleh
komunitas itu sendiri. Pilihan cara hidup tiap orang perlu dihargai. Karena
tiap profesi yang dibangun dari pilihan cara hidup adalah profesi yang paling
lestari. Dengan demikian tinjauan livelihood adalah membangun kebanggaan
terhadap pilihan cara hidup untuk melihat bukan kemiskinan urban, melainkan
sebuah kisah perjuangan membangun budaya kehidupan.
Kristanto
Budiprabowo biasa dipanggil Tatok tinggal di Malang, adalah seorang
Pendeta dan trainer Appreciative Inquiry, Asset-Based Community Development,
Reframing Peace, dan Pastoral Konseling. Lulus sarjana dan mendapat gelar
Master Theologi di UKDW-Yogya, dan sekarang tercatat sebagai mahasiswa ICRS-UGM
Yogyakarta. Pernah menjadi ketua Yayasan Bimbingan Mandiri di Metro lampung dan
masih menjadi koordinator dan senior trainer pada Kawan Training Centre dan
Direktur Makonga Consulting.
Email: pdt.tatok@gmail.com
[2] Robert Chambers, Poverty
and Livelihoods: Whose
Reality Counts?, Institute of
Development Studies
University of Sussex, Brighton, 1994
[3] A rough guide to PPAs, Participatory Poverty
Assessment An
introduction to theory and practice: lihat: http://info.worldbank.org/etools/docs/library/238411/ppa.pdf
[5] Lih, Bryant L.
Myers, Walking with the Poor,
Principles and Practices of Transformational Development, Orbis Book,
NY, 2011.
[7] Stephen Morse, Sustainable Livelihood Approach: A critical analysis of
theory and practice, Lih: www.reading.ac.uk/web/FILES/geographyandenvironmentalscience/GP189.pdf
[10] Caroline O. N. Moser, Asset-based Approaches to Poverty Reduction in a Globalized
Context: An
introduction to asset accumulation policy and summary of workshop findings, The Brookings Institution, Washington DC, 2006.
Komentar