MATAMU ... MATAMU ...


Ini bukan soal sudut 

pandang lagi.


Kronologi :

peristiwanya memang melibatkan banyak kisah-kisah kecil yang tidak bisa diekspose dengan leluasa berdasarkan beragam alasan. Alasan keamanan terutama.

Sebenarnya, semua ceritanya sederhana dan mudah dimengerti oleh semua orang. Ada gerombolan "Preman" (entah istilah ini maknanya apa), karena ini gerombolan pastilah kalau berkelahi tentu dengan gerombolan "lain" (entah dengan pemaknaan istilah apa lagi; pelajar, mahasiswa, RT/RW, polisi, tentara, kopasus) dan biasanya kalau perkelahian menjadi semakin berbahaya, jatuhlah korban. Kalau ada yang luka dibawa kerumah sakit, dan kadang ada yang sampai mati.

Apapun agamanya, sukunya, warna kulitnya, hobinya, latar belakang keluarganya, setiap orang yang terlibat dalam konflik seperti ini berada dalam kesamaan situasi yaitu sama-sama membenci, dan sama-sama saling ingin melukai dan menyakiti.

Cerita berkembang ...

menjadi membingungkan - dan itu memang tujuannya - ketika analisanya ditambahkan dengan predikat-predikat tertentu, apalagi yang bersifat stereotyping, perbedaan budaya, dan urusan politik.  Dan pada saat ceritanya menjadi semakin senssional hal itu akan menjadi lahan basah bagi para awak media yang senang mengajari masyarakat hidup dengan ketakutan, kebancian, dendam, dan kecurigaan yang berlebihan. Semakin membingungkan, semakin banyak orang menikmatinya. Semakin banyak korban, setidaknya rangkaiannya dihubung-hubungkan dengan kejahatan, keburukan, dan masa lalu kelam, maka semakin bersemangat orang mengkonsumsi ceritanya.

Begitulah mekanismenya dibangun. Sehari-hari kita mencernanya. Tiap saat pula kita merasa menjadi penting dan menjadi pemerhati dunia. Itulah yang menyenangkan kita. Memberi makan kelaparan otak kita. Kebutuhan tiap saat kita untuk dibicaran, didiskusikan, dan dicarikan jalan keluarnya. Dengan kesadaran penuh bahwa tindakan kita adalah melanggengkan lingkaran setan kemarahan - kekerasan - dendam - kebencian - kemarahan - kekerasan .... dan seterusnya, dan seterusnya.

Orang jadi tidak tahu lagi, mana aparat, mana penegak hukum, mana penjahat, mana pejabat, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, seapa yang senang dan siapa yang susah. Tak penting lagi. Seperti tulang yang dilemparkan kepada anjing. Sekalipun itu tulang dari seekor anjing, tulang tetap menarik bagi anjing. Seperti laron melihat lampu neon di rintik hujan. Dia tahu dengan begitu sayapnya akan melemah dan tak jarang langsung patah berhamburan. lampu neon tetap menarik bagi para laron.

Ada yang mengatakan ...

bahwa ini soal bagaimana cara kita memandangnya, sejauh mana pengetahuan kita, seberapa dalam sentimen keterlibatan kita. Ada teori khaos yang mengajari kita melihat bahwa seberapapun pasif dan aktif kita hidup, kita semua terkait dalam sebuah gerakan hidup universal yang saling mempengaruhi dan saling memicu gerakan-gerakan radikal revolusioner baru yang bisa jadi sama sekali diluar jangkauan angan-angan manusiawi kita. Benar, memang ada beragam cara pandang terhadap sebuah peristiwa, maka demikian juga dibalik segala cara pandang kita ada energi yang mendorongnya, mendasarinya, serta memberi ruang agar pilihan cara kita tumbuh dengan subur.

Maka ketika ada tanda-tanda lingkaran setan; kemarahan - kekerasan - dendam - kebencian mulai digelar dihadapan mata kita, ini bukan lagi soal sudut pandang lagi. Ini soal kisah dan cerita yang sudah terbangun dalam diri kita. Dalam kesadaran terdalam kita ditimbuni dengan segala rutinitas kesibukan manusiawi kita untuk dapat bertahan hidup. Inilah naluri yang dikuasai lebih banyak oleh semangat menjadi predator daripada mamalia. Hidup untuk mencari mangsa daripada memeliharanya. Inilah pilihan yang kita jubelkan dalam hati kita. Sekali kebencian kita tanamkan, maka apapun agama kita, apapun suku kita, apapun tingkat pendidikan kita, apapun jabatan kita, skenario dalam kesadaran terdalam kita menghendaki munculnya drama-drama memilukan. Dia akan selalu haus dan ingin dipuaskan dengan cerita-cerita kalah-menang, sekutu-musuh, benar-salah, dan dosa-kesucian.

Dengan demikian,

sebaiknya pemilik kekuasaan di bidangnya; aparat, preman, politisi, penghasut, negarawan, tukang iklan, awak media, pembicara, trainer, pengkhotbah, motivator memiliki sensitifitas dan trampil melihat, bahkan sebisanya selalu menyadari bahwa setiap kali muncul tanda-tanda hadirnya "lingkaran setan" naluriah predator semacam perselisihan penuh amarah, pertengkaran penuh dendam, perkelahian brutal dengan kekerasan, dan pertikaian dingin penuh kebencian, dengan segera melihat dengan mata mamalia pemelihara kehidupan.
Menghindari hanyut dalam opini umum yang mudah menyeret pada pusarannya, dan dengan segera membuatnya berhenti. Ya hanya dengan membuatnya berhenti, yaitu tidak melanjutkan garis menggiurkan lingkaran setan itu.

Kata seorang teman: "Mata adalah jendela hati". Maka barangsiapa bermata HATI, hendaklah dia melihat mulai dari dirinya sendiri. Karena pilihan pada apa yang kita lihat dan pandang (pikirkan, renungkan, hayati) adalah cerminan dari (cerita yang ada) dalam hati kita.

Komentar

Postingan Populer