PETA DAMAI YANG BERJAMUR

Sekitar empat tahun lalu saya berusaha mempromosikan dan memulai usaha untuk membuat Peta Damai mulai dari lingkungan terdekat dimana saya hidup. Bersama beberapa kawan kami sempat menginisiasi gerakan menyuarakan damai dan bahkan membuat kelompok pendamai yang kami namai Lumbung Damai Bhumi Arema.

Sebuah usaha kecil sederhana yang berbasis pada partisipasi merdeka bagi siapa saja yang tergerak menyuarakan damai. Kami percaya bahwa kebencian, permusuhan, potensi konflik itu selalu ada disekitar kita. Bukan karena agama, pokitik, atau gejolak sosial tertentu. Namun karena memang begitulah potensi alamiah manusia. Sebuah anugerah kebebasan yang diberikan pada manusia untuk memilih kesejatian diri. Menjadi bagian dari gelora semangat hidup damai, menjadi bagian dari semangat kebencian, atau berada diantaranya bermain aman memanfaatkan situasi untuk sebesar-besarnya hanya bagi keuntungan diri atau kelompoknya sendiri.

Kelompok tengah yang seolah arif netral, namun yang sesungguhnya merepresentasikan kemunafikan dua muka sekaligus. Tidak menyuarakan damai tidak bicara kebencian karena keduanya hanya kutub-kutub yang justru menghasilkan konflik berkepanjangan. Kelompok tengah yang kadang mengatakan bahwa damai itu mengalah bahkan kalau perlu menurut saja ketika ada kehendak besar kebencian sedang melanda. Kelompok tengah yang memposisikan diri dekat dengan para pejuang perdamaian dan juga para penebar teror agar kalau konflik terjadi bisa cuci tangan berdalih sana sini dengan pembelaan dan penolakan yang disesuaikan dengan keuntungan diri sendiri. Ujungnya kelompok apatis namun pragmatis demikian inilah yang merasa diri paling bisa mengendalikan situasi.

Kala para pembenci berkehendak merekalah corong penting pada para pendamai agar memaklumi. Ketika para pendamai resah merekalah juru bicara yang akan menyindir dan kadang sinis pada para pembenci dengan senjata andalannya hahahahihihi nya itu. Semua orang lantas menjadi maklum adanya.

Peta perdamaian tergambar sejak dari kecenderungan polarisasi seperti itu. Peta damai berusaha menjadi terus kering tak terbasahi oleh sentimen-sentimen penghasil kebencian yang bisa dengan mudah merembes dan menghancurkannya.

Sekalipun peta damai selalu mengalami ancaman kelapukan dan pembusukan namun dia terus menemukan jalan dan kesempatan untuk diperbaharui, dikeringkan dari segala godaan politis dan manipulasi ekonomis, karena tetap disinari oleh matahari roh cinta kasih ilahi dalam hati nurani manusia dan budaya sejati berbasis nilai-nilai keutamaan kehidupan penuh makna. Kaum tengah di atas adalah laksana jamur.

Dia hidup dengan memanfaatkan keduanya. Hidup dengan asupan kebencian dan terproses oleh sinar damai. Begitulah makanya mereka ini menggantungkan diri pada keduanya sekaligus memanfaatkan keduanya untuk keselamatan dirinya sendiri. Inilah yang celakanya nampak dalam "silent majority", dengan pemakluman kuat pada kebiasaan dan norma-norma sosial yang disadari korup dan tidak adil sekalipun.

Silent Majority adalah laksana jamur. Mereka tak terpengaruh sekalipun ada ancaman pelapukan pada tempat hidupnya dihancurkan oleh kejahatan, teror kebencian, bahkan permusuhan.

Bukan urusan mereka adalah alasan utamanya. Ketika suara para pendamai serak tak terdengar kehabisan energipun mereka tak akan peduli, karena seperti jamur, jika lahan hidupnya benar-benar bersih maka hal itu akan jistru mengancam hidupnya sendiri. Ancaman teror yang saat ini menjadi berita harian dunia sudah bener-benar diwujudkan dengan suara tegas anti kemanusiaan dan anti akal sehat, yang telah menjatuhkan begitu banyak korban, memperlihatkan pentingnya bagi kita semua untuk kembali menengok ketahanan peta damai yang masing-masing kita miliki dan kenali.

Para pendamai bukanlah musuh para penebar kebencian, pendamai tidak memusuhi, ia menciptakan ruang hidup. Dan sesungguhnyalah kita patut optimis bahwa para pendamai tidak pernah sedikit. Sebaliknya, para penebar semangat kebencian itu agresif menyerang, melapukkan nalar, melumpuhkan budi, karena memang begitu cara kerja dan tujuannya. Sekalipun seringkali hanya sedikit saja, kelompok ini memiliki kemampuan merembes kesemua arah, menghasilkan jamur-jamur para pihak pragmatis maunya cari hidup untuk dirinya sendiri, yang sadar ketersediaannya adalah karena adanya peta damai itu.

Maka peluangnya makin sempit ketika peta damai itu semakin tertumbuhi subur oleh jamur-jamur. Para parasit yang tak terlalu suka kering dan selalu perlu dibahasi. Peta damai itu tetap ada selama masih ada orang-orang yang menjaga, menyuarakan dan bekerja keras untuk itu. Ketika konflik terjadi, peta damai bukannya terbakar. Sesungguhnya peta damai itu sedang terkoyak oleh semangat para pembenci yang sedikit saja jumlahnya namun yang lantas dijadikan peluang bagi banyak orang yang sekedar hidup memburu keselamatan dan keuntungannya sendiri saja.

Maka apa yang paling mungkin dilakukan adalah terus meyakinkan setiap pihak yang dapat tergambar dalam peta damai. Menyadarkannya bahwa situasi damai adalah semakin tersedianya ruang hidup bagi bentuk baru cara menjadi manusia yang tidak hidup sekedar memanfaatkan situasi yang sedang terjadi. Bahwa ruang baru itu cukup luas dan subur bagi segala bentuk eksiatensi manusiawi. Hanya satu hal yang perlu dilupakan, yaitu kebebasannya untuk memanipulasi, sambil menghisap energi, hanya untuk dirinya sendiri. Jamur tak harus jadi parasit bukan?

Komentar

Postingan Populer