TRADISI DALAM TRANSISI

TRADISI DALAM TRANSISI

Tradisi yang mana?

Jelas tidak relevan lagi berbicara pemisahan antara tradisional dan modern untuk memulai pembahasan tentang karya cipta lokal yang kandungan makna dan nilainya terbukti telah menciptakan peradaban komunal masyarakat. Tradisi juga bukan sekedar kebiasaan, sesuatu yang diwariskan trun temurun, dan dipraktekan sebagai alat memori. Yang ditengarai sebagai tradisi itu nyatanya sebuah karya cipta kreatif dan inovatif - yang tentu tak terelakkan dari perubahan dinamika jaman - yang dipercaya, dijalani, dan dikhabarkan entah sebagai pewartaan nilai-nilai keluhuran, entah sekedar sebagai sarana mencipta bahagia secara komunal.
Sebuah peristiwa besar sekalipun, jika dikaitkan menjadi sebuah tradisi, maka konotasinya akan bermuara pada usaha melanjutkan yang sudah berjalan baik atau menjaganya agar terus berjalan sesuai dengan yang dikehendakinya semula. Dalam konteks sebuah peristiwa yang dihayati komunal sebagai bagian dari daur kehidupan masyarakat, apa yang disebut tradisi itu sesungguhnya adalah sebuah peristiwa merayakan apa yang terbaik yang dimiliki oleh masyarakat.
Banyak hasil karya cipta terbaik yang bisa diapresiasi dalam sebuah dinamika hidup bermasyarakat. Ada ekspresi seni lengkap dengan tingkat pemaknaannya. Ada yang secara material diwujudkan dalam bentuk-bentuk khas yang langsung bisa dikonsumsi yang ditawarkan dalam kemasan kuliner, barang hiasan sovenir pernak-pernik penanda, hingga jasa hiburan yang memuaskan dahaga manusia akan bentuk-bentuk kebahagiaan.
Karya terbaik yang dievaluasi, dihayati dan dirayakan bersama dalam segala ragam bentuknya itulah yang layak untuk menjadi arti baru dengan apa yang selama ini kita sebut sebagai tradisi. Karena begitulah perjalanan hidup manusia. Begitulah karya cipta terus memberi makna. Begitulah, agar hadirnya, tiap saat itu dibutuhkan, memperkuat kembali artinya menjadi sebuah kelompok masyarakat, menjadi manusia itu sendiri.
Maka dimanapun, kapanpun, dalam bentuk apapun karya cipta komunal itu dirayakan bersama dia adalah bentuk tradisi. Tak peduli semodern apapun, seklasik apapun, seunik apapun. Begitulah tiap kelompok masyarakat berhak merayakan-menjalani-menikmati dengan merdeka tanpa campur tangan kepentingan apapun karya cipta tradisinya.
Kepentingan kekuasaan politik adalah yang paling gencar memiliki kepentingan untuk memanfaatkan sebuah tradisi komunal. Dengan memberikan pemaknaan dengan penekanan terhadap idiologi tertentu, kekuasaan politis seringkali nampak paling agresif mengintervensi tradisi komunal sebagai alat untuk mempengaruhi cara pikir dan cara bertindak masyarakat.
Agama, terutama yang tidak tumbuh natural dan cultural dalam pergumulan kontekstual dinamika sejarah hidup komunitas adalah kepentingan kedua yang paling rajin memanfaatkan dan atau mendiskreditkan tradisi karya cipta lokal. Realitas transformatif tradisi seringkali dinisbikan saat berjumpa dengan agama. Seolah agama memiliki netralitas kepentingan. Nyatanya agresifitas agama dalam memperdaya tradisi sebagai alat kebenaran dan dosa, semakin disadari banyak orang menjadi kemunafikan - kalau tidak mau disebut sebagai kealpaan - agama itu sendiri pada hakikat terdalamnya.
Yang ketiga dan yang paling krusial adalah kepentingan ekonomis. Di satu sisi, karya cipta terbaik lokal dalam tradisi tak bisa dipungkiri menawarkan penghasilan profit besar yang menjanjikan kemakmuran komunitas, namun disisi yang lain pelaksanaannya, prakteknya, dan bahkan konsekuensi marerial yang ditimbulkannya juga menghabiskan energi yang tidak sedikit. 
Kombinasi kreatif antara ketiga kepentingan inilah yang memaksa tiap praktek tradisi harus berpikir panjang, bersiap diri ekstra hati-hati, dan merencanakan dampak yang hendak dipengaruhi sebijak mungkin. Demikianlah tiap tradisi menemukan dilema transisionalnya. Demikianlah tiap tradisi harus selalu bernegosiasi untuk tidak sekedar akomodatif terhadap kepentingan itu namun juga bersifat transformatif.

Transisi sebagai ruang transformasi

Masa paling penting sekaligus paling rawan dalam sebuah peristiwa tradisi adalah masa transisinya. Sebuah ruang waktu saat tradisi itu menjumpai fungsi-fungsi yang berkembang dengan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Ruang waktu seperti ini tidak terhindarkan, pilihannya hanya menghadapinya atau melampauinya.
Ruang waktu transisi itu misalnya terjadi saat salah satu kepentingan di atas intervensinya tak terelakkan dan atau berupa kombinasi tarikan kebutuhan internal komunitas pelaku tradisi itu sendiri untuk mampu survive dan berkembang lebih baik. 
Sejenak belajar dari sejarah kita diingatkan bahwa transisi tradisi terjadi sangat masif ketika agama datang dari luar dan atau diundang berdasarkan kebutuhan setempat untuk memberdayakan cara hidup masyarakat menghadapi perubahan sosial. Sulit untuk melihat proses seperti ini sebagai pilihan atau konflik kepentingan. Tradisi berada dalam transisi nyatanya ketika dia bernegosiasi dengan kepentingan komunitas itu sendiri yang mau tak mau bersentuhan atau bahkan mengakomodasi secara kreatif sesuatu yang dianggap baru.
Peristiwa transisi yang dialami tradisi dalam sejarah dinamika politik bangsa kita ini juga memperlihatkan dinamika negosiasi yang sama. Tak jarang tradisi itu diperalat untuk memperbaiki citra politik kekuasaan, namun tak jarang pula tradisi berperan sebagai alat untuk melakukan kritik dan sikap oposisi terhadap politik kekuasaan. Apapun yang dialaminya, dalam masa transisi itu tradisi mengalami transformasi yang cukup signifikan.
Demikianlah sekarang masa transisi itu belum terurai cukup gamblang dan tegas bentuk transformasinya ketika berhadapan dengan semangat masif komunitas dalam mengkapitalisasi segala sesuatu, pun termasuk karya cipta terbaik komunal yang dimiliki oleh sebuah komunitas.

Ciptaan Baru

Dalam ruang transisi yang mengharuskan terjadinya transformasi terhadap tiap tradisi, maka sebenarnya tiap tradisi yang sedang dipraktekan adalah ciptaan baru komunal. Dia adalah hasil dari negosiasi pilihan bentuk dan pemaknaan, hasil dari kompromi pemaknaan dan penebaran pesan, dan akomodasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar hidup manusia bahkan yang paling material sekalipun.
Terlibat dalam sebuah peristiwa tradisi adalah terlibat dalam peristiwa penciptaan baru. Karena tiap pihak, dari yang paling aktif hingga yang paling pasif yang terlibat, terpengaruh langsung atau tidak langsung, memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Merayakan peristiwa tradisi adalah ruang manusiawi kita masuk dalam proses penciptaan baru bagi masyarakat yang semakin manusiawi dan hidup dalam makna kebahagiaan sejati.
Rayakan tradisimu.

Komentar

Postingan Populer