NATAL TANPA AYAT

Gak ayat-ayatan lah, bikin masalah aja!


Biasanya, entah siapa yang membiasakan, sebuah renungan atau refleksi berkaitan dengan hari besar keagamaan Kristen di "dasari" atau menggunakan ayat sebagai alat legitimasi bahwa yang disampaikan adalah akurat Alkitabiah dan dengan begitu sesuai dengan kehendak Allah. Sekalipun sejujurnya, anggapan "sesuai dengan kehendak Allah" itu selalu multi makna, tafsir dan penghayatan. Maka sebuah renungan tanpa ayat dengan mudah dicurigai keabsahannya kerohaniannya. Lha wong pakai ayat saja bisa jadi alasan untuk berkelahi, apalagi kalau pakai imaginasi sendiri. Begitulah pembaca bebas-sebebasnya untuk membangun pikirannya masing-masing.

Terlebih lagi, mengapa saya memilih tanpa ayat adalah karena yang saya baca untuk direfleksikan terserak dengan sangat kasat mata sebagai realitas tahunan selama masa perayaan keagamaan itu berlangsung. Atau bahkan harian dan tiap saat ketika kita menjumpai diri kita sebagai manusia yang secara relatif beragam merasakan juga sebagai makhluk beragama.

[Tanpa ayat: Tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari Natal dan libur Nasional, Sinterklas dijadikan sales resmi, pohon Natal dihiasi untuk bermain cahaya dan api lilin, saling memberikan ucapan Selamat Natal sampai-sampai diperlukan fatwa, mengadakan selebrasi luar biasa, dll.]

Ini kucing, namanya Hebatwati.
Begini:

Pertama, dalam konteks pluralitas di Indonesia ini praktek keagamaan yang nampak di publik kalaupun dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat tertentu, hanya menghasilkan perdebatan semu ayatiah yang dengan mudah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Ayat menjadi alat legitimasi untuk melakukan provokasi tertentu entah baik entah buruk tergantung pada perspektifnya masing-masing. Dan bagi saya, "perang ayat" justru memperlihatkan niatan asli kita untuk memahami ayat.

Kedua, praktek keagamaan yang mudah menyulut sensitifitas orang adalah ketika masa perayaan hari besar keagamaan tertentu itu dirayakan. Bukan pada efektifitas peran dan fungsi agama pada transformasi masyarakat untuk menjadi lebih manusiawi. Perayaan hari besar keagamaan menjadi tolol ukur kehidupan beragama sehingga ayat dipaksa sedemikian rupa untuk memenuhi harapan agar perayaan semakin meriah dan canggih dan lebih sesuai dengan apa kata ayat-ayat dan kepentingan-kepentingan tertentu. Bagi saya labelisasi peristiwa tertentu dengan ayat tertentu juga semakin memperlihatkan niatan kita menghormati dan menghargai ayat suci.

Ketiga, sejak awal bulan Desember, semua memaklumi kalau segala bentuk hiasan - terutama - di tempat-tempat belanja berubah menjadi seperti film-film Hollywood. Mendadak Sinterklas ada dimana-mana, mulai dari tukang angkat barang sampai kasir, berkostum imut dengan warna khas bendera kebangsaan kita. Dan serta merta orang tahu ini adalah Natal, perayaan hari besar umat Kristen. Nggak pakai ayat sekalipun, tanda dan suara-suara, bahkan lagu-lagu "rohani" dilantunkan dimana-mana, sudah sangat memberi aba-aba: ada sebuah peristiwa yang dirayakan. Jadi penggunaan ayat seindah apapun tidak ada pengaruhnya terhadap kelaparan konsumtif yang dipasarkan dengan iming-iming seolah-olah beragama itu.

Keempat, ayat selalu berhubungan dengan inti pesan yang mau disampaikan. Terlalu banyak bermain ayat juga mudah membuat orang bingung untuk fokus pada inti pesan yang mau disampaikan. Dan pesan Natal cukuplah jelas: kehadiran Allah di dunia ini untuk menebarkan cinta dan damai melalui sosok manusia. Manusialah dalam konteks alam semestanya adalah sasaran utamanya. Bagaimana selanjutnya itu diprovokasikan, dan dipromosikan sebagai alat paling efektif ideologi kapitalisme, adalah permainan lain yang perlu selalu harus dibuka untuk dikritisi oleh siapa saja. Bagaimana inti pesan itu didogmatisasi sehingga menghasilkan friksi juga adalah persoalan lain yang senang dijalani para praktisi debat kusir, pakai alasan akademis maupun tidak. Penempatan ayat secara definitif hanya membatasi orang untuk berani memaknai, mereinterpretasi, bahkan mengkritisi pesan yang sedang disampaikan.

Kelima, bersamaan dengan penghayatan saya tentang Natal saya berencana membaca realitas kekinian perkembangan budaya yang menghidupi (nanti akan terlihat bahwa sebenarnya membonsai) masyarakat kita terutama kaitannya dengan peristiwa perayaan Natal. Hal ini didasari dengan kesadaran bahwa agama adalah juga alat budaya paling efektif untuk mempermainkan, memanipulasi, bahkan membodohi masyarakat, selain sebagai alat membangun peradaban. Maka sekali lagi, harapannya, dengan tanpa ayat, siapa saja bisa dengan bebas memberikan kritikan, masukan, bahkan sanggahan tanpa sungkan menyinggung ayat Alkitab tertentu, aliran tertentu atau bahkan agama tertentu. Karena bagi saya, dengan begitulah semakin nyata bagaimana sebuah agama berprinsip pluralis, demokratis, dan theis adalah ketika ia bisa melampaui keterbatasannya memberi jawab atas segala fenomena alami dan manusiawi.

Klasika Natal


Perbedaan antara makna Natal yang dihayati dengan simbolisasi tradisi-budaya yang menyertainya memang seringkali membingungkan. Sebuah kebingungan lazim tiap agama. Tidak hanya munculnya sinterklas, pohon Natal, riuh rendah kemeriahan perayaan beromset tak murah, namun juga nampak pada perilaku orang, baik yang merasa berhak merayakannya, merasa senang ikut-ikutan merayakannya, merasa tidak nyaman merayakannya karena terpaksa demi harmoni sosial, sampai yang jengkel, antipati, dan benci. Pembedaan antara makna dan simbolisasi tradisi itu merupakan alat penting dan permainan menarik untuk dijadikan alasan banyak orang memperlihatkan apa sebenarnya yang terjadi pada Natal itu dan mungkin sekaligus juga apa yang terjadi dalam dirinya.

Sejak dari kisah-kisah yang menyertai peristiwa kelahiran Yesus, perbedaan antara makna dan simbolisasi itu memang sudah nampak. Jadi kita bisa bernafas lega, setidaknya dengan menyadari bahwa apa yang sekarang sedang terjadi bermula dari, sudah pernah terjadi pada sebuah kisah, sebuah peristiwa, satu potongan adegan yang dialami seorang tokoh paling fenomenal dan kontroversial sepanjang masa itu adalah peristiwa biasa yang bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Begini ceritanya:

Pertama, jelas ada yang benar-benar bersukacita ketika seorang bayi lahir, apakah dengan begitu semua orang disekitarnya bergembira? Tentu tidak otomatis begitu. Ada yang was-was memikirkan konsekuensi ekonomis, sosial-budaya, bahkan politis. (Bandingkan antara figur Maria sang bunda Yesus dengan Yusuf sang tunangan yang diminta menikah, menerima dan menjadi bagian dalam peristiwa penting ini). Bayi lahir butuh tempat yang layak, ini saja sudah bisa menggugah seribu satu ide untuk mendramatisir sebuah situasi. Kondisi kegentingan sosial-politik yang sedang memojokkan status politik si Ibu atau si Ayah, bahkan status hubungan mereka, tentang garis kekerabatan dan klan, dan bahkan relasi dengan orang-orang disekitarnya, jelas juga bisa menjadi plot yang menggelitik imaginasi. Nah apalagi kalau dikaitkan dengan kondisi keagamaan yang saling tumpang tindih masing-masing kelompok berjuang mengkritisi, beroposisi, bahkan berkoalisi baik dengan kekuasaan setempat maupun imperialisme global, kisah manusiawi sederhana ini bisa menjadi sebuah cerita besar yang merubah peta dunia terutama kalau dimeriahkan sedikit dengan campur tangan makhluk-makhluk surgawi dari luar angkasa.

Kedua, sekalipun ada pihak asing yang dengan sukacita hadir dan bersukacita, dalam rupa kemeriahan surgawi yang hadir laksana cahaya dan bala tentara bernyanyi, namun tidak juga menjamin bahwa dengan begitu seluruh alam semesta otomatis sempurna bergemerlap memuaskan segala makhluk. Ada yang masih bersusah payah hanya mampu melihat satu cahaya di timur, bertaruh dengan hidupnya untuk mampu mencapainya dengan sukacita. (Bandingkan sukacita malaikat sorga dengan kisah Tiga Orang Majus dari Timur - para petualang ilmu dan sekaligus peziarah iman). Mudah untuk dipahami bahwa peristiwa ini dalam kerangka waktu dan tempat tidak langsung bisa ditaruh dalam satu panggung adegan drama kelahiran, tapi tujuannya jelas. Yaitu menampilkan sebuah peristiwa sederhana dalam keterhubungannya dengan peristiwa yang lain yang menguatkan dan meyakinkan. Sekali lagi, imaginasi orang ditantang untuk mau menyadari bahwa satu peristiwa itu berkaitan, entah sebab akibat, entah ketidaksengajaan, apapun cara melihatnya, keterkaitan itu terjadi, mungkin terjadi lagi dan bisa dibuat terjadi.

Ketiga, walau ada kesukarelaan kesederhanaan pihak tertentu untuk mendampingi proses terjadinya peristiwa mengharukan itu, tidak berarti bahwa hal itu secara otomatis meninggalkan dan mengabaikan keseharian keaslian hidup manusia. Ada pihak yang berada dalam posisi kekuasaan yang selalu ingin lebih jauh mengatur upaya agar sekecil apapun peristiwa terjadi di bawah kekuasaannya, hal itu bisa dikontrol dan dikendalikan, bahkan dihentikan terjadi kalau itu mengancam kekuasaannya. (Bandingkan kisah para gembala domba di padang yang melihat kemaha-luarbiasaan sebagai bagian hidup keseharian mereka dengan penguasa Yerusalem yang tergopoh-gopoh hanya karena salah mengerti tentang istilah "raja yang dijanjikan" saat seorang bayi terlahir). Kontras selalu ada dalam dinamika tarik menarik yang kadang menghasilkan kekejian tak terperi namun juga kebahagiaan spiritual yang membuncah tergantung kepiawaian tiap orang untuk bersikap dan memposisikan dirinya. Bagi rakyat kecil, keseharian adalah anugerah terindah, bagi orang yang terbelenggu mentalitas mengontrol dan berkuasa, ancaman adalah logika keseharian mereka.

Selanjutnya, tentu semua sah-sah saja kalau mau melihatnya dari perspektif dualisme surga-bumi, baik-buruk, antagonis-protagonis, hitam-putih, atau dengan cara pandang betapa absurd dan paradoksalnya kehidupan manusia, boleh juga kalau mau merefleksikannya menjadi dogmatis-teologis, moralistis, ideologis, atau sosio-ekonomis. Ada banyak cara tersedia sejak dari bagaimana orang membaca, melihat, menginternalisasi, memprosesnya secara logis manusiawi, bertransformasi, hingga mengaktualisasi diri dalam progres yang baru. Tak ada yang diharamkan, karena begitulah sebuah kisah memiliki intinya, yaitu bertemunya keutuhan diri-pribadi seseorang dengan sesuatu yang lain yang ada di luar dirinya. Kisah bisa membantu, bisa menghambat, bisa memperindah dan bisa mempersuram, sepenuhnya adalah pilihan pribadi orang yang menghadapinya.

Begitulah, kisah itu adalah kisah tentang Yesus yang adalah Kristus, Isa Almasih, sang anak manusia, sang orang biasa dan sekaligus sang 'lain' yang bahkan mempertanyakan nisbah-perjumpaan transenden-imanen. (Bandingkan dengan miskonsepsi yang sudah menjadi tebak-tebakan sejak Yesus sendiri hidup berdiskusi dengan murid-muridnya). Yang memusingkan orang karena keilahian-kemanusiaanya, keberlainan-kesatuannya dengan manusia, dan sepanjang jaman terus menerus membebaskan dirinya dari penjara organisasi yang hendak mengklaim dia sebagai satu-satu properti utama dan memberi trade-mark anti pembajakan hak cipta. Yesus ditawarkan sekaligus dibatasi, dijelaskan sekaligus dimitoskan, dipuja sekaligus dilecehkan, dan diTuhankan untuk dibunuh.

Natal adalah menjumpai manusia dengan keutuhan kesadaran kemanusiaan. Natal adalah cerminan tentang kisah abadi manusia menjumpai dirinya sendiri sekaligus menjumpai orang lain dan sekaligus pula berjumpa dengan yang ilahi sejak dari seseorang itu hadir di bumi. Dalam beragam dinamika sosial, budaya, ekonomi, politik bahkan cuaca dan kondisi alam yang melatarbelakanginya, Natal adalah peristiwa manusia sehari-hari, tak lebih kalau tidak dilebih-lebihkan kesakralannya, namun juga peristiwa ilahi penuh kuasa kalau tidak dikerdilkan pada kedangkalan kemampuan berpikir manusia.

Natalan aja kok repot. Ayo ngopi aja sambil nyanyi Silent Night

Komentar

Postingan Populer